Fitnah dan Kebencian Mengancam Persatuan Bangsa
BANDUNG. (PR).- Semangat kebangsaan tidak cukup menjadi pengetahuan. la harus diterjemahkan lewat aksi nyata yang kreatif dan inovatif di zaman milenial.
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 mengobarkan semangat kebangsaan yang mengatasi semua sekat primordial, mulai dari suku, bahasa, hingga agama. Para pemuda dari beragam latar belakang menyatakan komitmen mereka untuk memperjuangkan sebuah rumah bersama yang dinamai Indonesia. Semangat kebangsaan seperti ini yang ironisnya justru semakin terkikis di era digital.
“Semangat kebangsaan tidak cukup menjadi pengetahuan, tidak selesai dihafalkan. Kita harus sampai ke aksi nyata. Karena sekarang zamannya digital, ya aksi dan tindakan itu dilakukan secara kreatif dan inovatif agar sampai ke generasi milenial,” kata Benny Soesetyo, penasihat khusus di Badan Pembinaan Ideologi pancasila (BPIP), dalam seminar di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Minggu (28/10/2018).
Selain Benny, hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut Guru Besar Fakultas Hukum Unpar Yohannes Gunawan dan peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam. Seminar yang digelar oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) Unpar itu, diikuti ratusan peserta dari bermacam latar belakang, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga tokoh masyarakat.
Benny menyebutkan, adanya paradoks dalam kondisi bangsa Indonesia hari ini. Semakin maju teknologi, justru semakin banyak orang dan elite yang terjebak dalam permainan politik identitas. Fitnah dan kebencian yang bertebaran di media sosial, salah satu contohnya, semakin nyata mengancam persatuan bangsa yang dirintis dengan susah payah.
Asvi Warman menyatakan, penghargaan pada keberagaman mewarnai berbagai momen menentukan dalam sejarah Indonesia. Tidak terkecuali peristiwa Sumpah Pemuda. Pemuda dari beragam latar belakang terlibat aktif. Sama seperti Benny, Asvi juga menyoroti beragam ancaman yang dihadapi Indonesia kini.
“Persatuan kita mulai digoyang oleh hoaks, oleh fitnah yang mengandung kebencian yang mengangkat isu SARA. Sudah selayaknya kita mengingat terus semangat persatuan itu,” ucapnya.
Sementara itu, Johannes Gunawan mengingatkan peran penting perguruan tinggi dan akademisi dalam penguatan semangat kebangsaan. Mengutip Mohamad Hatta, Johannes menekankan misi suci kampus untuk mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Sayangnya, menurut dia, perguruan tinggi Saat ini justru sibuk dengan laku politik. “Pengangkatan rektor saat ini tidak beda dengan pilkada. Semua didasarkan pada pemungutan suara. Apakah ini yang disebut kebenaran?,” ucapnya.
Jaga budaya
Generasi muda harus berperan menjaga dan melestarikan budaya bangsa yang merupakan jati diri bangsa. Peran generasi muda diharapkan lebih nyata dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Kepemudaan di Dinas Pemuda dan Olah Raga Kota Bandung, Sony Teguh Prastya pada pagelaran seni budaya “Gentra Raga Pasundan” yang digelar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Ujungberung dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, di Alun-alun Ujungberung.
Kegiatan itu menampilkan pegelaran seni budaya tradisi dan modern yang berakar tradisi yang pelakunya generasi muda. Di antaranya kesenian reak, degung. jaipongan, dan karinding. (Retno Heriyanto, Tri Joko Her Riadi)***
Sumber: Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2018