UNPAR.AC.ID, Bandung – Perkosaan bukan satu-satunya bentuk kekerasan seksual. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 15 bentuk kekerasan seksual dengan total 338.496 kasus kekerasan seksual berbasis gender.
Angka tersebut merupakan angka yang mencuat ke permukaan berdasarkan kasus yang dilaporkan. Pada kenyataannya masih banyak korban kasus kekerasan seksual yang enggan untuk melapor karena ketidaktahuan informasi dan takut dicap buruk oleh masyarakat.
Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PEKA) 2022 yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) pada Kamis (28/4/2022). Acara bertajuk “Stop Normalizing Sexual Harassment” tersebut mengundang Anindya Shabrina Prasetiyo, S.H., dari Departemen Advokasi Indonesia Feminis dan Maria Immaculata yang merupakan survivor kekerasan seksual, mentor, dan pejuang perubahan.
Anindya mengatakan jika pelaku kekerasan seksual kerap kali dilakukan pada ranah personal seperti keluarga, pasangan, atau orang terdekat.
“Ada dosen atau guru, pejabat publik, lembaga pemerintahan dan non-pemerintah, aparat penegak hukum, aparat sipil, korporasi, negara yang bahkan bisa jadi pelaku,” kata Anindya.
Dia mengatakan, di lingkungan masyarakat kini kekerasan seksual dinormalisasikan sebagai bentuk untuk menghukum perempuan.
“Jadi kemudian perempuan yang dianggap menyimpang dari norma sosial, ya berarti bisa diganjar dengan kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh seseorang khususnya perempuan, akhirnya sanksi terhadap pelaku itu rendah,” ujarnya.
Lebih lanjut menurutnya kekerasan seksual dapat dicegah di antaranya dengan strategi:
- Membentuk norma sosial yang menolak kekerasan seksual
- Mengajarkan skill untuk mencegah kekerasan seksual
- Menyediakan kesempatan untuk memberdayakan perempuan
- Menciptakan lingkungan yang protektif
- Mendukung korban/penyintas untuk mengurangi dampak kekerasan seksual
Dia juga memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan yaitu:
- Bystander Approach
- Pendidikan seksual yang memadai
- Mengajarkan relasi yang sehat
Sementara itu, dengan bertemu orang-orang yang dapat mendengarkan tanpa menghakimi, Maria berkata jika hal tersebut dapat membantu korban dalam mengeluarkan masalahnya dan kemudian dapat memprosesnya.
“Ternyata itu powerful banget, ketika kita didengarkan apa adanya, enggak ada yang judge, enggak ada yang bilang enggak boleh itu aib,” kata Maria.
Dia juga mengatakan, hal pertama yang bisa dilakukan oleh seorang korban kekerasan seksual adalah melepaskan penghakiman akan diri sendiri dan memilih untuk menceritakan kepada orang yang bisa dipercaya.
“Semakin orang disekitarnya bilang itu memalukan, semakin individu jadi menyembunyikan diri. Nah masalahnya di ruang yang sesak kayak gini, di tempat individu bersembunyi, proses healing atau pemulihan itu tidak akan terjadi. Itu bisa ketika ada ruang aman,” kata Maria.
Selain itu, Maria berkata jika seseorang yang masuk dalam sistem pendukung korban kekerasan seksual diantaranya dapat mendengarkan secara terbuka kepada korban, mendampingi korban dalam proses memenuhi kebutuhannya, mencari informasi untuk memahami respon trauma, dan melihat situasi dan memahami korban. (RBF-Humkoler UNPAR)