Webinar Fenomenologi Agama, Kemajemukan jadi Alasan Deradikalisasi di Ruang Publik

UNPAR.AC.ID, Bandung – Agama dinilai tak sekadar identitas formal atau instrumen pemisah diri dari yang lain yang terikat dan terkait spirit puritanisme. Peran agama dalam mewujudkan peradaban abad ke-21 yang ditandai oleh kedamaian dan keadilan menjadi tujuan bersama bagi kehidupan umat manusia di masa kini dan mendatang.

Dalam situasi di Indonesia, Pancasila menjadi titik temu bagi keberagaman yang ditandai oleh pluralisme dan menyelesaikan persoalan lintas agama pada ruang publik. Oleh karena itu, dialog antar umat beragama mesti bermuara pada upaya menjawab serangkaian tantangan di masa depan.

Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Nasional Fenomenologi Agama yang diselenggarakan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Jumat (9/7/2021) secara daring. Mengangkat topik “Arah Perjumpaan Antar Agama-Agama Pada Abad ke-21”, secara bernas berbagai aspek mulai dari teologi, filsafat, sejarah, serta tradisi atau kearifan lokal diselisik untuk melihat berbagai hal signifikan yang dapat digamit guna merancang peran agama ke depan.

Dalam praksisnya, agama berperan sebagai jalan yang memungkinkan manusia bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang bermakna positif dan konstruktif bagi yang lainnya. Sebab tak dimungkiri, problem kehidupan manusia modern adalah friksi sosial yang kerap bertaut dengan agama. 

Menghadirkan dua pembicara, Cendekiawan Muslim sekaligus Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya, Dr. Asep Salahudin dan dosen FF UNPAR Sr. Gerardette Philips, RSCJ., Ph.D., webinar tersebut mengajak peserta untuk berdiskusi melihat posisi agama pada abad ke-21. Di mana satu sisi tampak sedang bangkit kembali dan menawarkan harapan baru, namun di sisi lain, justru dipandang paling berpotensi menyebabkan situasi chaos. Lebih lanjut, dibahas pula bagaimana model dan arah perjumpaan agama yang mesti diupayakan agar praksisnya semakin korelasional dan rasional.

Ambiguitas Agama

Dr. Asep Salahudin mengatakan bahwa ihwal arah perjumpaan antar agama merupakan persoalan klasik namun akan selalu memiliki relevansi dan aktualisasi kehidupan dalam konteks Keindonesiaan yang multikultural. Hal lain yang perlu dikhawatirkan, lanjut dia, adanya kebangkitan paham populisme, sebuah paham yang mencoba mengglorifikasi sentimen yang berbasis pada identitas dalam pemaknaan yang sangat sempit. Baik identitas kesukuan maupun keagamaan. 

Dalam konteks Keindonesiaan, seringkali publik dihadapkan pada konflik tak berkesudahan dan berulang, yaitu kekerasan fisik yang diawali dengan kekerasan simbolik. Hal ini dikarenakan adanya penafsiran agama yang dicabut dari akar sejarahnya dan dilakukan secara parsial serta semena-mena.

Menurut dia, agama seringkali ditampilkan dalam ‘paras’ yang penuh dengan ambiguitas antara fakta (historisitas) dan dogma (normativitas). Dogma seringkali digambarkan dengan hal baik dan menjanjikan kehidupan damai dan toleran, namun fakta historisnya justru berbanding terbalik.

“Karena ketegangan ini tidak bisa didamaikan, kemudian ada banyak orang yang meragukan keberadaan agama itu sendiri. Saya kira ini problem laten hari ini, ambiguitas agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman kita sehari-hari. Namun kenyataannya, agama selalu memiliki banyak ‘nyawa’, saat setiap orang menyangsikannya, agama selalu mengalami kebangkitan, mulai dari paling lunak hingga paling ekstrem. Tentu ini menjadi tantangan beragama memasuki awal abad 21 ini,” tutur dia.

Dia mengungkapkan, ada masalah besar tentang kebangkitan agama yang tidak sesuai dengan harapan. Menurut dia, respons terhadap keberagaman ini terbelah menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok bersifat inklusif dan eksklusif.

“Eksklusivisme ini menjadi awal muncul puritanisme, setelah puritan mereka menjadi fundamentalisme, setelahnya tentu selangkah lagi mereka menjadi terorisme. Ideologi kekerasan itu berakar dari fundamentalisme dan mereka memiliki basis legitimasinya dari sikap beragama yang eksklusif,” ujarnya.

Kendati demikian, kemajemukan yang menjadi fakta sosial di Indonesia mestinya menjadi alasan utama bagi setiap agama bisa melakukan deradikalisasi di ruang publik. Tiga langkah yang patut dilakukan, yaitu penalaran rasional, adanya pemahaman bersama melalui riset publik, dan seluruh proses pemahaman keagamaan ini sudah sewajarnya menjadi jalan bagi upaya munculnya kebaikan bersama.

“Saya kira dalam konteks Keindonesiaan, kita sudah sangat memiliki pengalaman tentang itu. Ketika Pancasila dirumuskan dan menjadi satu hal yang hingga kini kita sepakati bersama, itu menjadi bagian ruang publik yang didialogkan untuk kebaikan bersama. Pancasila menyelesaikan persoalan lintas agama pada ruang publik. Pancasila menjadi titik temu, titik tumpu, dan titik tujunya,” katanya.

Dia pun menuturkan, agar agama tersebut produktif, maka ada 3 aspek yang tidak boleh diabaikan, yakni iman, logos (sisi intelektual), dan etos (agama menjadi pandu moral tindakan di ruang publik).

“Agama menjadi produktif ketika tiga lapisan itu kita tarik dalam satu helaan napas,” tutur dia.

Paham Beragama

Sementara itu, Sr. Gerardette melihat nilai dan makna keberagaman agama itu sendiri. Salah satu nilai yang bisa dilakukan adalah membangun budaya harmonis dan religius. Serta sikap perspektif , baik secara implisit dan eksplisit yang dipegang orang tentang spiritualitas dan agama. Serta bagaimana mereka berhubungan dengan praktik kepedulian berdasarkan spiritual.

“Hormati perbedaan yang tidak dapat diprediksi tanpa mencari satu Tuhan. Fokus pada nilai yang dipraktik dan kepercayaan yang dijalani. Serta dialog dengan kesadaran penuh akan bias dan perbedaan yang tidak bisa dimungkiri,” ucapnya.

Agama-agama yang notabene berbeda-beda itu dapat membantu manusia untuk mengalami Tuhan dalam praksis. Praksis agama yang menjanjikan untuk masa kini dan ke depan, antara lain diwarnai dengan kemauan untuk terus menerus mengembangkan sikap terbuka, mengakui, menerima, dan menghormati perbedaan. Serta bertumbuh dalam sikap kritis dan berani berpikir rasional dalam merespon fenomena-fenomena agama.

Dia mengatakan, ada tiga hal yang perlu dipahami dalam beragama, yaitu pengetahuan, kepercayaan dan pengalaman. “kalau ada pengetahuan, kepercayaan, dan pengalaman, pasti cara kita terhadap satu sama lain akan berbeda,” katanya. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)

Berita Terkini

Prodi Doktor Teknik Sipil UNPAR Terakreditasi Baik Sekali LAM Teknik

Prodi Doktor Teknik Sipil UNPAR Terakreditasi Baik Sekali LAM Teknik

UNPAR.AC.ID, Bandung – Program Studi Doktor Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) memperoleh status akreditasi “Baik Sekali” dari Lembaga Akreditasi Mandiri Program Studi Keteknikan (LAM Teknik). Hal itu tertuang dalam Keputusan Lembaga Akreditasi...

UNPAR OPEN DAY 2025 Hadir di Cirebon dan Semarang

UNPAR OPEN DAY 2025 Hadir di Cirebon dan Semarang

UNPAR.AC.ID, Bandung — Dalam upaya memperluas akses informasi pendidikan tinggi yang berkualitas dan mendekatkan diri kepada calon mahasiswa serta orang tua, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) akan menyelenggarakan UNPAR OPEN DAY 2025 di dua kota besar, yaitu...

UNPAR Buka Jalur Ujian Saringan Masuk (USM) Gelombang 2

UNPAR Buka Jalur Ujian Saringan Masuk (USM) Gelombang 2

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) membuka jalur Ujian Saringan Masuk (USM) 2 bagi calon mahasiswa baru 2024 hingga 1 Juni 2025. Melalui jalur ini, UNPAR memberikan kesempatan bagi calon mahasiswa baru untuk bisa mendapatkan benefit berupa...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Jul 12, 2021

X