UNPAR.AC.ID, Bandung – Hadirnya Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, memberikan perubahan yang fundamental untuk merekonstruksi perspektif masyarakat terhadap penyandang disabilitas dengan tidak lagi memandang disabilitas sebagai objek atau orang yang memiliki kekurangan fisik maupun mental dan memasukkan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) bagi disabilitas agar mendapatkan aksesibilitas yang setara dengan masyarakat yang lain.
Berdasarkan UU tersebut, disabilitas intelektual disebutkan antara lain adalah orang yang mengalami down syndrome, fragile x syndrome, prader willi syndrome, dan fetal alcohol spectrum disorder.
Sedangkan disabilitas perkembangan adalah sekelompok kondisi karena gangguan dalam bidang fisik, belajar, bahasa, atau perilaku, yang dimulai selama periode perkembangan dengan contohnya adalah orang yang mengalami autism spectrum disorder, cerebral palsy, attention deficit hyperactivity disorder, dan keterlambatan perkembangan lainnya.
Hal tersebut mengemuka pada Webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) bersama Positive Behavior Support (HOME PBS) pada Sabtu (19/3/2022). Acara yang bertajuk “Praktik Pendampingan Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan” tersebut dihadiri oleh; M. Jamal Al-Bakri, S.Psi., M.M. selaku Akademisi Psikolog Klinis Dewasa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) dan praktisi disabilitas; Komisaris Besar Polisi K. Yani Sudarto, S.I.K., M.Si. selaku Dir Reskrimum Polda Jabar; Dra. Yusi Hariyumanti HS, M.Psi, Psi, M.M., selaku bagian Psikologi Polda Jabar; Maria Ulfah, S.H., M.Hum., selaku Dosen FH UNPAR dan peneliti; dan R. Ismadi Santoso Bekti, S.H., M.H., selaku Dosen FH UNPAR dan praktisi hukum.
Yusi mengatakan, dalam tim psikolog kepolisian di bawah unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar, pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas dibagi menjadi dua kelompok yaitu pelaku dan korban.
“Karena rata-rata kalau korban disini kita akan kaitkan dengan masalah down syndrome. Disini keterlambatan perkembangannya, Intelligence Quotient (IQ) rata-rata memang di bawah 91. Kemudian juga keterlambatan untuk berkomunikasi sehingga perlu pendamping,” kata Yusi.
Dia mengatakan jika kasus yang paling banyak dijumpai oleh kaum disabilitas intelektual yaitu dalam bentuk korban dan kebanyakan dialami oleh perempuan.
“Yang mengalami itu tidak mau atau enggan untuk menceritakan kepada keluarganya kalau dia memang dilecehkan atau kalau dia memang mengalami kekerasan seksual,” ujar Yusi.
Sebagai saksi ahli di pengadilan, kata Yusi, hasil dari praktek pendampingan yang dilakukan terkadang harus menjelaskan lebih rinci kepada hakim terkait bagaimana proses kronologis yang terjadi.
“Dari sudut pandang psikologi mungkin mereka butuh dukungan, butuh penjelasan lebih lanjut. Sehingga kami harus menyampaikan latar belakangnya. Jadi anaknya, apa yang dialami di sana, kemudian juga bagaimana dia menjalani hari-harinya sampai terjadi peristiwa itu,” katanya.
Dia juga mengatakan, rata-rata orang tua dari penyandang disabilitas intelektual tidak begitu banyak terlibat dalam kasus yang dihadapi.
“Jadi banyak bibinya ataupun guru yang mendampinginya yang justru lebih intens,” ucap Yusi.
Yusi menuturkan, apabila kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, gelar perkara yang dilakukan pada kejaksaan terkadang dilakukan oleh psikolog kepolisian dan tidak melibatkan penyandang disabilitasnya.
“Internal dulu sehingga pada saat saksi ahli di pengadilan tidak mengalami syok,” tuturnya.
Sementara itu, dalam suatu kasus pemidanaan, Maria mengatakan jika suatu kasus pidana diperlukan adanya syarat-syarat pemidanaan yaitu;, adanya perbuatan bersifat melawan hukum; kemampuan bertanggung jawab; dan tidak adanya alasan pembenaran maupun alasan pemaaf.
“Nah ketika kita berbicara tentang penyandang disabilitas intelektual ini kita membahas mengenai kemampuan bertanggung jawab dalam diri pelaku. Mau tidak mau kita harus melihat apakah memang yang bersangkutan ini adalah orang yang mampu untuk dipertanggungjawabkan secara hukum pidana atau tidak,” kata Maria.
Dengan adanya Permenkes Nomor 77 Tahun 2015, Maria menjelaskan diperlukannya Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) yang akan menjadi kajian oleh majelis hakim.
“Menjadi dasar apakah memang ini jiwanya cacat dalam tubuhnya ataukah terganggu karena penyakit,” tuturnya.
Menggunakan istilah yang digunakan pada Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Maria menjelaskan jika disabilitas mental ataupun disabilitas intelektual termasuk yang dikatakan sebagai kurang mampu bertanggungjawab sehingga dapat dikurangi sanksi pidananya. (RBF-Humkoler UNPAR)