UNPAR.AC.ID, Bandung – Di dalam dunia pendidikan, telah terjadi perubahan paradigma yang berawal dari Input-Based Education menjadi Outcome-Based Education (OBE) di mana pendidikan ditinjau dan diganti dengan sesuatu yang lebih dan relevan untuk anak didik khususnya mahasiswa. Dengan kata lain, yang semula ‘apa yang penting menurut dosen untuk diajarkan’ kini berubah menjadi ‘apa yang penting bagi mahasiswa untuk dipelajari dan dikuasai.’ Maka dari itu, diharapkan mahasiswa saat lulus nanti bisa bertahan dan berkembang menjadi warga negara yang produktif mengembangkan keilmuan serta dapat berkarya sebagai anak bangsa.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Tjokorde Walmiki Samadhi, S.T., M.T. selaku Guru Besar Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam forum akademik “Akreditasi Internasional IABEE dalam Penjaminan Mutu Pendidikan Teknik di Indonesia” pada Jumat (14/4/2023) di Lecture Theater Gedung Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Forum tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara “Akreditasi IABEE: Membangun Budaya mutu Pendidikan Tinggi Teknik Bertaraf Internasional” yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari jadi Program Studi Teknik Kimia UNPAR ke-30 serta wujud syukur perolehan akreditasi internasional IABEE.
Tjokorde Walmiki Samadhi menyatakan bahwa kata kunci dari OBE adalah capaian/luaran pembelajaran. Capaian pembelajaran sendiri memiliki pengertian pengetahuan, kecakapan dan sikap yang dikuasai atau mampu diperagakan oleh pembelajar setelah menyelesaikan suatu satuan pembelajaran yang lingkupnya bisa berupa mata kuliah atau prodi. Di sisi lain, OBE menyelaraskan berbagai elemen untuk memfasilitasi capaian pembelajaran oleh pembelajar. Elemen yang disebutkan mencakup capaian pembelajaran itu sendiri, kurikulum, metode belajar, asesmen pembelajaran, perbaikan mutu berkelanjutan, dan segenap sumber daya seperti dosen, fasilitas fisik, sistem informasi dan tata kelola, serta institusi pengelola.
Sementara itu, ia mengungkap bahwa akreditasi nasional yang bersifat wajib memiliki perbedaan dengan akreditasi internasional yang fokus pada OBE. Akreditasi nasional memiliki parameter pengukuran tersendiri yang berbeda dengan OBE dan fokusnya lebih rata sesuai dengan tri dharma. Ia berharap agar akreditasi internasional bisa saling melengkapi ke depannya.
“Akreditasi nasional tidak melulu fokus pada OBE. Dia juga melihat sumber-sumber daya ini dengan parameter pengukuran atau viewpoint yang berbeda dengan OBE,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menceritakan bahwa ada 3 orang di Amerika yakni Froyd, Wankat, dan Smith yang pada tahun 2012 mencatat lima perubahan besar dalam pendidikan keteknikan selama 100 tahun terakhir. Salah satu perubahan yang ditulis oleh mereka adalah pergeseran ke pendidikan dan akreditasi berdasar luaran. Landasan pergeseran ini pun sudah seharusnya dipandang positif oleh pendidikan tinggi untuk menjadi motivasi pergeseran.
“Tidak hanya pendidikan saja, tetapi juga akreditasi yang berdasar luaran,” tuturnya.
Dirinya pun memberikan beberapa kelebihan OBE jika diterapkan di dunia pendidikan tinggi, antara lain:
- Capaian pembelajaran ditentukan tidak langsung oleh pemangku kepentingan/masyarakat profesional sehingga lulusan mendapatkan pendidikan yang lebih relevan.
- Akuntabilitas penyelenggara pendidikan lebih terjamin karena outcome based CQI lebih akurat dan handal.
- Lebih mudah mengikuti perkembangan terbaru seperti paradigma industri dan education 4.0 serta perkembangan kebijakan pendidikan nasional seperti SNDIKTI, KKNI, MBKM, dan lainnya.
- Dasar bagi akreditasi dan sertifikasi prodi.
“Kalau kita sudah menjalankan OBE, kami bisa bicara dari pengalaman kami di ITB lebih mudah mengikuti dinamika kebijakan tadi terutama yang berhubungan dengan pembelajaran,” ucapnya.
Tjokorde Walmiki Samadhi berpendapat bahwa masih banyak orang saat mendengar kata OBE langsung fokus kepada kurikulum. Nyatanya, kurikulum sebenarnya hanya salah satu bagian dari OBE. OBE sendiri merupakan sistem yang terintegrasi dan berjalan secara kontinu. Meskipun kurikulum sudah menggunakan outcome, proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan pun harus mendukung.
“Ya, kurikulumnya sudah menggunakan outcome. Bagaimana pengajarannya? Jangan-jangan kurikulumnya menggunakan outcome tapi dosen mengajar seingatnya atau ujiannya tidak ada hubungannya dengan outcome,” tuturnya.
Dirinya menjelaskan bahwa OBE berawal dari tujuan pendidikan prodi yang merupakan cita-cita yang diinginkan untuk terbangun pada diri lulusan beberapa saat setelah lulus. Tujuan pendidikan prodi sendiri merupakan hasil masukan seperti visi-misi institusi, pemangku kepentingan eksternal, serta pemangku kepentingan internal. Tujuan pendidikan prodi kemudian diturunkan menjadi capaian pembelajaran lulusan/program studi yang kemudian diturunkan kurikulum. Kurikulum berdasar luaran akan dijalankan sebagai proses belajar mengajar yang menghasilkan data asesmen untuk dievaluasi.
“Apapun itu, saya yakin pasti bisa dirumuskan sebagai capaian pembelajaran. Hanya saja indikator kerjanya harus dirumuskan dengan baik oleh dosen yang berkompeten di bidang masing-masing,” ucapnya.
Dirinya juga mengungkap empat pilar OBE, antara lain:
- Clarity of focus: perumusan profil lulusan dan capaian pembelajaran secara spesifik oleh pemangku kepentingan dan dosen terfokus membantu mahasiswa mengembangkan pengetahuan dan sikap menunjang penguasaan capaian pembelajaran.
- Designing down: perencanaan kurikulum secara top-down dengan struktur hirarki capaian pembelajaran yang jelas dan kuat serta menentukan instrumen asesmen.
- High expectations: menetapkan ekspektasi yang menantang untuk memacu mahasiswa mendalami pembelajaran dan menghindari paradigma OBE sebagai ‘checklist learning’.
- Expanded opportunities: menyediakan kesempatan yang luas bagi mahasiswa.
Sementara itu, Tjokorde Walmiki Samadhi menjelaskan konsep mutu pendidikan tinggi. Empat golongan pemangku kepentingan bagi pendidikan tinggi yakni: penyedia layanan(penyandang dana); pengguna proses pendidikan (mahasiswa); pengguna keluaran proses pendidikan (dunia usaha/industri); dan pekerja pendidikan tinggi (dosen, tendik, manajemen kampus). Golongan tersebut kemudian akan menghasilkan sejumlah konseptualisasi dari mutu pendidikan. Ada 4 cara untuk mengkonseptualisasi mutu, antara lain:
- Purposeful: kesesuaian terhadap visi-misi, spesifikasi, persyaratan,serta standar yang ditetapkan sendiri maupun oleh akreditor.
- Exceptional: keunggulan dan eksklusivitas di antara sejawatnya karena memenuhi standar/kriteria yang ketat.
- Transformative: menghasilkan perubahan yang positif dan mewujudkan potensi pribadi serta profesional para pembelajar.
- Accountable: bertanggungjawab kepada pemangku kepentingan atas pemanfaatan sumber daya dan penyediaan layanan yang optimal. (KTH-Humkoler UNPAR)