UNPAR.AC.ID, Bandung – Bantuan kemanusiaan merupakan bentuk penyelamatan nyawa kepada mereka yang membutuhkan tanpa pembedaan. Pengaruh dari bantuan kemanusiaan sendiri dinilai signifikan dan penting yang menguasai kehidupan manusia.
Hal tersebut terkemuka dalam acara “ECCR: Saat Krisis: Saat Pamer Kepentingan?” dengan tema “Bantuan Kemanusiaan yang Seksis dalam Perspektif Budaya” yang diadakan pada Senin (15/5/2023) lalu secara daring. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF UNPAR) dengan mengundang Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi, S.IP., M.A., Ph.D. selaku dosen Hubungan Internasional (HI) UNPAR.
Dia mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan memiliki nilai yang sangat besar dan dampaknya sangat luas bagi kehidupan manusia. Terdapat setidaknya 3 fakta mengenai bantuan kemanusiaan yaitu sektor ini bernilai miliaran dolar kurang lebih US$ 31,3 miliar pada tahun 2021, melibatkan sekitar 5.000 organisasi kemanusiaan dengan 630.000 pekerja kemanusiaan secara global, dan pihak yang terlibat adalah pemerintah, militer, koperasi, individu, dan pihak lainnya.
“Ini yang menjadi definisi yang menjadi pegangan saya ketika berbicara mengenai bantuan kemanusiaan dan memiliki sektor yang memiliki nilai miliaran. Artinya ketika kita melihat hal ini, bantuan kemanusiaan merupakan hal yang signifikan dan penting yang menguasai kehidupan manusia,” tuturnya.
Akan tetapi, saat ini bantuan kemanusiaan menghadapi beberapa masalah yang cukup krusial yaitu:
- Jangkauan dan ketimpangan: Sistem bantuan kemanusiaan saat ini hanya berhasil menjangkau 36% penerima bantuan yang paling membutuhkan. Padahal, pada Januari 2023 terdapat sekitar 339 juta orang membutuhkan bantuan tersebut.
- Perempuan dan anak perempuan dalam situasi krisis -> setengah dari populasi terdampak krisis merupakan perempuan dan anak perempuan yang mengalami dan menanggung tantangan seperti ketidakamanan dan keterbatasan mobilitas.
- Kelompok minoritas dalam situasi krisis -> Perubahan norma sosial, peran gender, dan relasi sosial yang terjadi secara tiba-tiba pada saat krisis semakin menampakan kesenjangan dan ketidakadilan yang dialami kelompok disabilitas, masyarakat adat, kelompok LGBTQI+, dan kelompok minoritas lainnya.
- Kelompok disabilitas dalam situasi krisis -> Kasus pada kelompok disabilitas di Ukraina pada masa awal perang terjadi, mereka kesulitan dan bahkan ditolak ketika memohon bantuan evakuasi. Beberapa lembaga bantuan beralasan tidak dapat mengakomodasi proses evakuasi bagi kelompok berkebutuhan khusus.
- Pekerja dan organisasi kemanusiaan -> Muncul keangkuhan yang bersifat rasis dan seksis dari para pekerja kemanusiaan asing terhadap pekerja kemanusiaan.
Menurutnya, diperlukan suatu ekosistem dan pendekatan tentang bantuan kemanusiaan yang memiliki perspektif inklusif, kolaboratif, dan lintas sektoral untuk mengatasi ketidaksetaraan dan kerentanan populasi terdampak krisis dan mematahkan kerangka ‘one size fits all’.
“Maka yang harus dilihat dan digunakan adalah bagaimana kita menggunakan perspektif feminisme interseksional. Pendekatan ini menyoroti kompleksitas dalam heterogenitas sosial yang ada dalam bantuan kemanusiaan dan memahami konteks ketidaksetaraan dan marjinalisasi,” ucapnya.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pendekatan interseksional tersebut adalah:
- Refleksivitas
- Martabat, pilihan, dan otonomi
- Aksesibilitas dan desain universal
- Keberagaman pengetahuan
- Identitas yang bersinggungan
- Kekuasaan relasional
- Waktu dan ruang
- Transformatif dan berbasis hak
“Itulah 8 langkah pendekatan interseksional yang saya mau tawarkan untuk mengkritisi bantuan kemanusiaan yang seksis,” ujarnya. (JES-Humkoler UNPAR)