UNPAR.AC.ID, Bandung – Implementasi Kurikulum Merdeka melalui pembentukan kompetensi Profil Pelajar Pancasila diharapkan mampu membangun generasi muda yang jujur, adil, dan terbuka. Dalam hal ini, sekolah diharapkan mampu mengembangkan dan mengimplementasikan modul program kepemimpinan siswa.
Hal tersebut menjadi fokus bersama Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) dan SMA Strada Bhakti Wiyata Bekasi, dalam seminar bertajuk “Demokrasi: Berpikir, Bersuara, dan Bertindak Kritis” bagi para siswa kelas X, pada Jumat (4/11/2022) lalu. Melalui Profil Pelajar Pancasila diharapkan dapat membentuk karakter siswa yang mencakup 6 aspek, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri.
Konteks demokrasi bagi para siswa SMA adalah soal mengetahui, ikut memikirkan, memusyawarahkan, memutuskan, dan ikut melaksanakannya. Oleh karena itu, penekanannya terletak pada bagaimana demokrasi itu dijalankan dengan jujur, adil, dan terbuka.
Dosen UNPAR Willfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd. dalam pemaparannya mengatakan bahwa pengalaman berdemokrasi bagi para siswa SMA tidak hanya soal pemilihan ketua OSIS atau pemilihan ketua kelas namun dituntut tanggung jawab lebih sebagai generasi muda. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila wajib menjunjung tinggi kekeluargaan, gotong royong, dan persatuan.
“Maka sebagai generasi muda, menyuarakan demokrasi bukan dibatasi hanya pada pesta demokrasi (pemilu) semata, melainkan perlu peduli dengan persoalan hidup berbangsa yang ada di dalamnya. Wajah buruk demokrasi kita memperlihatkan berbagai praktik politik identitas, hoaks, korupsi, politik uang, intoleransi, dan radikalisme,” ujarnya, dalam keterangan tertulisnya sebagaimana dikutip pada Senin (7/11/2022).
Dia juga menyebut bahwa dampak dari wajah demokrasi yang buruk di atas menyebabkan sebagian generasi muda memilih menjadi antipati terhadap perubahan, empati sosial menjadi tumpul, relasi sosial sejauh mana bermanfaat, dan berpikir kritis berubah menjadi tukang kritik. Singkatnya, demokrasi menjadi lumpuh.
“Menghadapi persoalan tersebut, maka sebagai generasi muda perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis bagi seorang siswa SMA dapat ditunjukkan melalui dua sikap. Pertama, memberikan pendapat yang beralasan (tidak asal bunyi), bermanfaat dan berdasarkan fakta demi kebaikan bersama. Kedua, mampu mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi apa yang dipikirkan, kemudian diterjemahkan keputusan atau kesimpulan yang bijaksana. Berpikir kritis berkaitan dengan nilai yang terus hidup karena menjadi habits,” tuturnya.
Willfridus pun mengajak para siswa untuk mempraktikkan keutamaan berpikir kritis, antara lain;
- Menyadari diri terbatas dan mau belajar dari orang lain
- Memberi penilaian atau menyimpulkan sesuatu berdasarkan fakta (tidak merasa paling benar dan sok tahu)
- Konsisten terhadap kebenaran (tidak jadi orang plin plan)
- Peduli terhadap situasi buruk di sekitar dan berusaha mencari solusi (caring)
- Menolak segala bentuk diskriminasi, selaras antara ucapan dan perbuatan, dan mengutamakan pertimbangan akal sehat (logic).
- Keutamaan berpikir kritis mengedepankan kerendahan hati, keberanian, keyakinan, integritas, dan empati intelektual.

Seminar yang bertempat di aula SMA Strada Bhakti Wiyata dikemas dalam konsep talk show, diikuti oleh 134 siswa Kelas X dan para guru. Narasumber yang ditemani oleh 2 mahasiswa Filsafat Budaya UNPAR, Henrikus Ageng dan Benediktus Hasiholan mampu menciptakan suasana yang menyenangkan melalui diskusi, tanya jawab, games dan doorprize. (JES-Humkoler UNPAR)