UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) menerbitkan Peraturan Rektor (PRT) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan UNPAR per 20 Juni 2022. UNPAR menjamin kepentingan bagi korban hingga pemberian sanksi berat untuk pelaku berupa pemberhentian status bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan UNPAR.
Beleid tersebut dituangkan dalam peraturan Nomor III/PRT/2022-06/049 dan mengatur pula pengenaan sanksi bagi pelaku sesuai dengan aturan yang berlaku. Lebih lanjut, pengenaan sanksi diberikan sesuai dengan rekomendasi Satuan Tugas (Satgas) PPKS yang disampaikan kepada Rektor UNPAR.
Peraturan yang diteken Rektor UNPAR Mangadar Situmorang, Ph.D. itu menjadi pedoman yang dibuat terkait pelaksanaan Tridarma di dalam atau di luar kampus. Adapun prinsip dasar yang dipegang UNPAR yaitu:
- Kepentingan terbaik bagi korban;
- Keadilan dan kesetaraan gender;
- Kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
- Akuntabilitas;
- Independen;
- Kehati-hatian;
- Konsisten; dan
- Jaminan ketidakberulangan.
Dalam peraturan tersebut, terkait persetujuan korban pun diatur lebih lanjut sebagaimana termaktub dalam Pasal 3, maka tidak berlaku dalam hal korban:
- Memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
- Mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
- Mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
- Mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
- Memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
- Mengalami kelumpuhan sementara; dan/atau
- Mengalami kondisi terguncang.
Melalui Satgas PPKS yang telah dibentuk, UNPAR menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual (KS). Penanganan KS dilakukan melalui pendampingan; pelindungan; pengenaan sanksi administratif; dan pemulihan korban. Dalam hal ini, penanganan dilakukan oleh Satgas PPKS UNPAR.
Upaya pendampingan yang diberikan mencakup konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi dan/atau bimbingan sosial serta rohani. Pendampingan dilakukan berdasarkan persetujuan korban atau saksi. Jika korban tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan, maka persetujuan diberikan oleh orang tua atau wali korban.
Sementara pengenaan sanksi administratif bagi pelaku jika terbukti benar melakukan KS akan dikenai sanksi ringan, sedang, hingga berat sesuai dengan rekomendasi Satgas PPKS yang disampaikan kepada Rektor.
Sanksi yang diberikan diantaranya berupa:
- Teguran tertulis; atau
- Pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal Universitas atau media massa;
- Pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh haknya; dan
- Pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen atau tenaga kependidikan, atau pelarangan beraktivitas di kampus bagi warga sekitar kampus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara bagi mahasiswa pemberian sanksi juga meliputi:
- Pemberian skors;
- Pencabutan beasiswa; dan
- Pemberhentian tetap sebagai mahasiswa.
Dalam hal ini, Rektor berhak menjatuhkan sanksi yang lebih berat dari sanksi yang sudah direkomendasikan oleh Satgas PPKS dengan pertimbangan:
- Korban merupakan penyandang disabilitas;
- Dampak KS yang dialami korban; dan/atau
- Pelaku merupakan anggota Satgas PPKS UNPAR atau pejabat struktural.
UNPAR pun memastikan dalam masa pemulihan korban, tidak akan mengurangi hak korban dalam proses pembelajaran, hak kepegawaian, atau hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Korban KS juga berhak atas jaminan kerahasiaan dirinya; meminta pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan dari UNPAR melalui Satgas; hingga memperoleh fasilitas di bidang akademik atau keuangan yang dibutuhkan sesuai rekomendasi Satgas. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)