PADA jaman “now” seperti sekarang ini, penggunaan baterai sekunder (baterai yang dapat di-charge) hampir tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari, kita selalu menggunakan baterai untuk berbagai keperluan yaitu untuk handphone android, laptop dan berbagai alat elektronik Iainnya.
TEKNOLOGI baterai sekunder yang sangat populer pada saat ini adalah Lithium Ion. Sejak penemuannya di tahun 1991 oleh Sony, baterai Lithium Ion dengan cepat masuk ke kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan jenis baterai sekunder lainnya, baterai lithium ion memiliki densitas energi yang lebih tinggi. Paket baterai lithium ion yang kecil dan ringan telah banyak digunakan untuk berbagai alat elektronik portabel di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh kebutuhan yang meningkat untuk teknologi ramah lingkungan/hijau, penggunaan baterai lithium ion telah meluas dari alat-alat elektronik portabel untuk aplikasi skala besar, khususnya untuk kendaraan listrik and unit penyimpan dari sumber energi terbarukan seperti energi bayu maupun surya. Penggunaan baterai lithium ion untuk kendaraan listrik diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan turunannya seperti bensin dan solar yang sampai saat ini masih digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Selain itu, penggunaan kendaraan berbasis baterai diharapkan dapat mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2) yang dihasilkan selama ini oleh kendaraan berbahan bakar minyak. Pengembangan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan juga membutuhkan unit baterai untuk penyimpanan energi pada malam hari karena umumnya energi dari sumber yang terbarukan tidak tersedia setiap saat seperti energi surya yang hanya dapat dimanfaatkan pada siang hari. Jadi dapat diprediksi bahwa penggunaan baterai lithium ion akan meningkat pada beberapa tahun mendatang untuk memenuhi berbagai kebutuhan diatas. Penggunaan baterai lithium ion ini tentunya juga harus diikuti oleh produksi baterai yang juga akan semakin meningkat untuk tahun-tahun mendatang.
Produksi baterai yang meningkat tentunya akan diikuti oleh kebutuhan akan logam Lithium yang juga akan semakin meningkat. Sebagai ilustrasi, untuk mengganti sekitar 50% kendaraan di dunia ini yang berbahan bakar minyak dengan kendaraan berbasis baterai, dibutuhkan sekitar 7,9 juta ton logam Lithium. Di lain pihak, seperti yang telah kita ketahui, cadangan logam lithium di dunia ini sangat terbatas karena lithium tergolong logam jarang (rare earth) dan juga ketersediaan logam lithium juga tidak merata, tambang logam lithium terbesar Saat ini ada di daerah Amerika Selatan/ Latin. Dengan kedua keterbatasan tersebut, dapat diprediksikan bahwa harga unit baterai lithium ion akan meningkat drastis pada masa mendatang akibat peningkatan kebutuhan-kebutuhan diatas.
Sebagai alternatif, maka para peneliti di bidang baterai berusaha mengembangkan sistem baterai alternatif non-lithium. Salah satunya adalah sistem baterai sekunder sodium (Na) ion. Sebenarnya teknologi baterai sodium bukan merupakan teknologi yang baru karena sudah dikenal sejak tahun 1970-an namun pada saat itu pengembangannya masih kalah dengan lithium ion yang memiliki aplikasi lebih luas dan memiliki densitas energi yang lebih tinggi. Namun dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan baterai lithium, maka sistem baterai sodium ini layak untuk diteliti lebih lanjut untuk mendorong komersialisasi dan produksi dalam skala besar.
Terdapat beberapa alasan untuk melanjutkan penelitian terkait sistem baterai Sodium Ion. Alasan yang utama tentunya karena ketersediaan sodium yang sangat melimpah jika dibandingkan dengan lithium selain itu, penyebaran ketersediaan sodium lebih merata. Hampir semua negara memiliki sumber sodium, apalagi untuk Indonesia sebagai negara maritim, memiliki sumber sodium yang hampir tidak terbatas yang terkandung dalam air laut. Densitas energi sistem baterai sodium yang lebih rendah dari lithium tidak menjadi kendala jika digunakan untuk unit penyimpan energi skala besar seperti pada bus listrik maupun untuk unit pelengkap dari unit produksi sumber energi terbarukan. Secara teknis, sodium dan lithium memiliki kemiripan yaitu sama-sama tergolong logam golongan IA pada sistem periodik unsur, sehingga beberapa konfigurasi pada baterai lithium ion dapat diadaptasi pada baterai sodium.
Salah satu kendala dalam pengembangan baterai sodium adalah pada material katoda (elektroda positif) dan material anoda (elektroda negatif). Material katoda berupa material garam yang mengandung sodium, sedangkan untuk material anoda umumnya, material berbasis karbon dapat digunakan. Grafit yang merupakan material anoda pada sistem baterai lithium ion, tidak dapat digunakan pada baterai sodium karena ukuran ion logam sodium yang jauh lebih besar sebagai anoda pada baterai sodium. Material karbon dapat diproduksi dari bahan baku limbah biomassa dengan menggunakan proses yang sederhana seperti proses aktivasi dan pirolisis (pembakaran tanpa oksigen).
Penggunaan limbah biomassa sebagai bahan baku produksi material karbon dapat ditinjau lebih lanjut untuk produksi karbon dalam skala besar karena harga bahan baku yang murah, sifatnya yang terbarukan serta sekaligus dapat menyelesaikan masalah lingkungan terkait penanganan limbah. Berbagai jenis biomassa telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan material karbon untuk material anoda pada baterai sodium seperti kulit jeruk, tongkol jagung, jerami padi, rumput, dll. Salah satu contoh limbah biomassa lokal yang dapat digunakan adalah kulit buah salak pondoh. Penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal internasional “Materials Chemistry and Physics” yang berjudul “Activated Porous Carbons Derived from the Indonesian Snake Fruit Peel as Anode Materials for Sodium Ion Batteries”. Dalam penelitian ini, material karbon berhasil diproduksi dengan proses yang sederhana dan dimungkinkan untuk produksi skala industri. Material karbon yang diperoleh kemudian digunakan sebagai material anoda untuk sistem baterai sodium. Dari tes yang telah dilakukan, dapat ditunjukkan bahwa kulit salak dapat digunakan sebagai bahan baku anoda yang sangat prospektif karena merupakan sumber daya yang terbarukan dan jumlahnya yang sangat melimpah.
Penelitian yang berbasis biomassa lokal seperti diatas sejalan dengan visi dan misi Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung yang bertekad membawa muatan lokal Indonesia untuk dikenal dan diakui oleh komunitas internasional. Untuk penelitian yang merupakan penerapan teknologi seperti baterai sodium, jurusan Teknik Kimia UNPAR telah bekerjasama dengan berbagai universitas dan institusi di luar negeri seperti Korea Institute of Science and Technology (KIST) di Seoul, Gebze Technical University di Turki dan Sophia University di Tokyo, Jepang. Diharapkan dengan menjalin kerjasama dengan institusi luar negeri, diharapkan terjadi transfer teknologi secara dua arah. Pihak luar negeri dapat mengakses sumber daya alam lokal Indonesia yang sangat beragam jenisnya sedangkan pihak UNPAR dapat memperoleh kesempatan untuk menggunakan berbagai instrumentasi penelitian yang tidak dimiliki oleh UNPAR.
(Arenst Andreas, Ph.D, Staff Pengajar Jurusan Teknik Kimia Unpar Bandung)***
Sumber: Pikiran Rakyat (Kamis, 15 November 2018)