UNPAR.AC.ID, Bandung – Penguasaan hukum ekonomi internasional merupakan langkah yang penting dan strategis untuk negara Indonesia. Dengan menguasai hukum tersebut, kita akan mengetahui dan membela Indonesia dari berbagai isu nasional yang memiliki keterikatan kuat dengan kepentingan negara Indonesia.
Salah satu isu nasional terjadi pada awal tahun 2020 di mana Presiden Jokowi berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 11 tahun 2019 secara resmi menghentikan ekspor nikel, bauksit, dan timah secara bertahap. Latar belakang pemberhentian ini sendiri ialah untuk meningkatkan nilai tambah, mutu, dan menghidupkan hilirisasi industri khususnya baterai mobil listrik yang berbahan bakar dari nikel.
Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. Elly Erawaty, S.H., LL.M selaku Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) dalam orasionya di acara Dies Natalis ke-64 FH UNPAR. Orasio dengan tema “Implementasi Kedaulatan Indonesia atas Hasil Tambang dalam Perspektif Perdagangan Bebas: Hambatan dan Peluang menurut WTO Agreements serta Ancaman Retaliasi” diselenggarakan secara luring pada Kamis (15/9/22) di Ruang Auditorium Gedung Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) UNPAR.
Elly mengungkap bahwa kebijakan tersebut digugat oleh Uni Eropa (UE) setelah gagal melakukan konsultasi dengan Indonesia. Berbagai gugatan yang dilayangkan kini sedang diproses oleh World Trade Organization (WTO). Walaupun masalah yang tampak hanya terlihat sebagai masalah administratif, Indonesia sendiri pernah lalai dalam menepati prosedur administratif dan terkena gugatan.
“Uni Eropa menggugat Indonesia tidak transparan karena Indonesia tidak pernah memberitahu adanya kebijakan Permen ESDM No. 11 tahun 2019 ini ke WTO,” ujarnya.
Lebih lanjut, Elly mengungkap beberapa urgensi/permasalahan lain yang melatarbelakangi tema orasionya, antara lain:
- Pemberhentian ekspor hasil usaha pertambangan nikel oleh Presiden Indonesia berdasarkan Permen ESDM No. 11 tahun 2019.
- Majelis Banding (Appellate Body) dari WTO praktis tidak berfungsi karena berakhirnya masa jabatan semua anggotanya sementara upaya untuk mengangkat anggota baru selalu gagal karena penolakan oleh Amerika Serikat.
- Elly merasa bahwa isu ini dapat dinilai sebagai bentuk implementasi kedaulatan Indonesia atas sumber daya alam sesuai prinsip hukum kebiasaan internasional yaitu Permanent Sovereignty over Natural Resources (PSNRs) namun memiliki beberapa kendala yuridis.
- Munculnya fakta yang mengejutkan karena ternyata prinsip PSNRs pernah diangkat dalam forum DSB oleh Pemerintah China ketika digugat oleh AS, UE, Mexico, dan Jepang dalam 2 kasus yang mirip dengan yang dihadapi Indonesia.
- Penarikan kesimpulan oleh Elly bahwa kebijakan pelarangan ekspor nikel untuk pengutamaan kebutuhan domestik Indonesia dan kewajiban untuk mengolah serta memurnikan bijih nikel di dalam negeri memang potensial melanggar Article XI:1 dan Art X:1 GATT 1994 yang merupakan bagian dari WTO Agreements.

Menurutnya, setiap negara wajib mempublikasikan peraturan-peraturan nasional nya ke WTO agar dapat membantu satu sama lain dalam konteks perdagangan bebas.
“Negara berkembang itu harus dibantu agar ketergantungannya terhadap primary product bisa dikurangi jadi dimungkinkan untuk melakukan diversifikasi ekspor ke negara maju,” tutur Elly.
Sejalan dengan hal tersebut, Elly menjelaskan bahwa memang Indonesia mengalami tantangan berat karena telah melanggar salah satu prinsip perdagangan bebas, yakni Penghapusan Umum Hambatan Kuantitatif Perdagangan Internasional. Meskipun demikian, ia yakin bahwa tetap akan ada peluang dalam mengatasi tantangan tersebut.
Elly kemudian memberikan paparan mengenai peluang dalam mempertahankan kebijakan larangan ekspor nikel dengan merujuk pada prinsip hukum internasional dalam penyelesaian sengketa di WTO diantaranya :
- Indonesia perlu untuk mengangkat prinsip Right to Development sebagai bagian dari International Human Rights untuk mempertahankan kebijakan pertambangan mineral di forum DSB jelas terbuka.
- Prinsip PSNRs atau Right to Development dapat dikualifikasi sebagai jus cogen, maka peluang untuk dapat ‘mengalahkan’ norma hukum dalam WTO Agreements menjadi terbuka.
“Indonesia sebaiknya tetap memanfaatkan sekecil apapun peluang yang tersedia itu sebab dengan begitu kita akan dapat berkontribusi untuk mengembangkan Hukum Ekonomi Internasional dan Hukum Internasional dalam arti yang lebih umum, terlepas dari apapun hasil putusan Panel/Majelis Banding DSB WTO,” ujarnya. (KTH/JES-Humkoler UNPAR)