UNPAR.AC.ID, Bandung – Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) menyelenggarakan Diskusi Publik yang dibuka secara umum, pada Kamis (16/11/2023), Diskusi Publik bertajuk “Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” itu juga bekerja sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu.
Diskusi Publik ini melanjutkan diskursus yang berkembang pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) dan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Majelis Kehormatan MK.
Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UNPAR Adrianus Adityo Vito Ramon, S.H., LL.M. (Adv.) sebelum diskusi dimulai mengatakan, banyak pro dan kontra mengenai putusan ini. Ada yang mendukungnya, ada pula yang masih bertanya-tanya dan seolah-olah kebingungan tentang apa yang terjadi dalam hukum dan demokrasi.
“Semoga teman-teman yang mengikuti diskusi publik ini tercerahkan, dan tentu saja kita semua harus tetap berpartisipasi dalam pemilu 2024 mendatang,” ujarnya.
Diskusi publik ini dihadiri oleh beberapa narasumber yang mumpuni di bidangnya, yaitu Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini; Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti; Direktur LBH Bandung Lasma Natalia; Ketua BPN PBHI Julius Ibrani; Ketua CENTRA Initiative Al Araf; dan Dosen FH UNPAR Valerianus B. Jehanu.
Diskusi dibuka dengan pemaparan Valerianus mengenai konteks Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023. Menurut dia, telah terjadi dramaturgi dalam dunia perpolitikan Indonesia. Yang baru-baru ini terjadi adalah mengenai Batas Usia Capres-Cawapres.
MK, lanjut dia, dilihat tidak memiliki keputusan yang tetap dalam menyatakan atau mewujudkan permohonan para pemohon dan memiliki argumen yang bertolak belakang satu sama lain.
Titi Anggraini, selaku Dewan Pembina Perludem, menanggapi bahwa hal tersebut juga menjadi salah satu tantangan untuk mewujudkan pemilu bermakna atau genuine and periodic elections yang diartikan sebagai penyelenggaraan pemilu yang tulus dan tidak hanya diadakan untuk memenuhi periode saja.
Sampai hari ini, genuine and periodic elections sudah mendapat tantangan sejak awal. Banyaknya aksi manipulasi dari berbagai segi seperti manipulasi aturan, manipulasi pemilih, hingga manipulasi suara, membuat pemilu yang tulus ini semakin sulit diwujudkan.
Bivitri Susanti juga melihat bahwa hukum di Indonesia juga semakin mengalami kemunduran karena para oknum hukum yang berlindung di balik hukum tertulis.
Masih banyak pihak yang berlindung di balik hukum tertulis tanpa memaknai hukum secara lebih jauh dari segi nilai atau value. Bivitri berpendapat bahwa Putusan MK Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dapat merusak MK dan membuat MK tidak independen.
Putusan ini juga dinilai melegalkan nepotisme dan politik dinasti yang akan berakibat pada Indonesia yang tidak akan maju karena pemimpin dipilih tidak berdasarkan kemampuan. Yang paling major dari dihasilkannya keputusan ini adalah keputusan ini dapat membahayakan demokrasi karena putusan ini dilihat sebagai “pintu gerbang” dari cara berpolitik kotor yang mulai dinormalisasi.
Tentunya ada langkah yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan hal ini. Titi menyatakan bahwa kita harus mengoptimalisasi peluang kita dengan media yang relatif dan independen. Kita juga bisa menggunakan media sosial dan alternatif pilihan teknologi digital sebagai medium kita dalam beradvokasi.
Kita juga harus mengoptimalisasikan peran kita sebagai pemilih muda dengan menjadi pemilih muda yang progresif, melakukan gerakan mahasiswa, dan menjadi pemilih muda yang adaptif pada isu kontemporer.
Bivitri menambahkan bahwa dalam menangkis politik yang kotor, kita harus menyimpan kegelisahan dan kemarahan kita agar kita tidak membenarkan cara berpolitik yang kotor.
Kita juga bisa menyuarakan kegelisahan kita dengan gerakan konkrit seperti diskusi dan advokasi kebijakan untuk mendorong politik kita ke arah perubahan yang sistemik. (SYA-Humkoler UNPAR)