UNPAR.AC.ID, Bandung – Tujuan hukum sendiri meliputi 3 nilai yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun sayangnya, praktik nyata dunia hukum seringkali tidak menekankan seluruh nilai dan cenderung melupakan satu nilai. Maka dari itu, telah timbul satu pemahaman dimana nilai keadilan adalah nilai yang paling utama dalam dunia hukum.
Hal tersebut mengemuka dalam Kuliah Umum bertajuk “Keadilan Restoratif dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan secara virtual oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) pada Jumat (7/10/22). Kuliah Umum tersebut mengundang Jaksa Agung Republik Indonesia Dr. ST. Burhanuddin, S.H., M.H.,
Dalam praktik peradilan di Indonesia, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan bahwa aparat penegak hukum cenderung berpikir legalistik. Ia menyinggung kasus Nenek Minah di mana pemetikan buah kakao berujung pada proses hukum. Vonis yang diberikan berdasarkan pembuktian formal perkara pidana menyimpulkan bahwa petinggi hanya mengutamakan kepastian hukum.
Menurutnya, aparat penegak hukum jika dilihat dari sisi legalistik tidaklah keliru. Namun, jika dilihat dari sisi mencapai keadilan, tentu hal tersebut telah menimbulkan luka yang besar di hati masyarakat Indonesia. Hukum dianggap tidak sejalan dengan keadilan hukum yang berkembang di masyarakat.
“Tentunya hal tersebut menjadi ironi, seolah-olah hukum dipisahkan dari rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat itu sendiri. Padahal hukum itu diciptakan untuk manusia, bukan manusia yang mengabdikan pada hukum,” tuturnya.
Sejalan dengan hal tersebut, dibutuhkan upaya dalam mewujudkan penegakan hukum Indonesia yang responsif. Maka dari itu, para aparat penegak hukum tidak dapat hanya memperhatikan dan merujuk pada teks Undang-Undang Dasar (UUD). Para aparat harus bisa melihat dan memperhatikan lebih jauh nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat luas. Dengan kata lain, hukum haruslah mengabdi pada masyarakat sendiri.
“Hal tersebut dapat terwujud apabila penegak hukum mampu melakukan penafsiran terhadap makna hukum,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, hukum kini telah berkembang menjadi hukum restoratif yang memiliki prinsip restitusi dan reparasi. Paradigma keadilan restoratif sendiri dipandang sebagai jawaban permasalahan pidana dan dapat diterapkan di Indonesia. Secara garis besar, keadilan restoratif sendiri merupakan kesadaran pelaku atas kesalahannya dan tetap bertanggungjawab atas perilakunya. Kesadaran akan berujung pada pemulihan hubungan antara 2 pihak yakni korban dan pelaku. Untuk itu, digunakan metode musyawarah yang melibatkan korban dan masyarakat.
“Pemulihan akan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban dan pelaku maupun dengan masyarakat lingkungannya. Hal ini merupakan moral etiquette dan restorative justice karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian tidak dapat dipisahkan,” ucapnya.
Pelibatan korban sendiri merupakan pergeseran orientasi hukum pidana. Korban sebagai pihak yang dirugikan dapat turut aktif untuk mencapai keadilan yang diinginkannya.
Pada akhirnya, negara harus memastikan bahwa kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan dengan baik sehingga konflik berkepanjangan bisa dihindari. Perlu upaya perdamaian yang dapat melibatkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mendukung pemecahan masalah.
Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan,penegakan hukum dan HAM tidak dapat dipisahkan. Penegakan hukum akan selalu berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal tersebut tergambarkan dalam sila ke-2 Pancasila yang berbunyi ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan UUD 1945 pasal 28D ayat 1 yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’.
Sementara itu, Rektor UNPAR Mangadar Situmorang Ph.D. dalam kata sambutannya berharap, tugas yang selama ini dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI menegakkan HAM dan menyelesaikan secara tuntas berbagai kasus dapat terus berjalan dengan baik. (KTH-Humkoler UNPAR)