Sebagai bagian dari Festival Arsitektur Parahyangan (FAP) 2018 yang bertajuk ‘Ruang Arkais’, Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (HMPSArs Unpar) menggelar Seminar Nasional Arsitektur pada Sabtu (26/5). Bertempat di salah satu bangunan bersejarah di Kota Bandung, Hotel Savoy Homann, seminar ini mengusung tema “Ruang Lingkup dan Peran Spasial Urban Heritage.”
Kegiatan ini mengundang narasumber yang telah memiliki pengalaman dalam bidang pelestarian bangunan cagar budaya, diantaranya Aji Bimarsono (Bandung Heritage) selaku moderator, serta Arya Abieta (Pusat Dokumentasi Arsitektur), Harastoeti Dibjo (Tim Ahli Cagar Budaya Bandung dan Dosen Unpar), David Bambang S. (Arsitek Cagar Budaya), Setiyadi Ongkowidjaya (Atelier East AWP, Singapura) dan Mark Southcombe (Victoria University, Selandia Baru). Kegiatan dihadiri pula oleh Dekan Fakultas Teknik Unpar Dr. Yohanes Basuki Dwisusanto dan Kepala Program Studi Arsitektur Dr. Rahadhian Prajudi Herwindo.
Membuka kegiatan seminar, Kenny Dewi Kaniasari selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mengapresiasi kegiatan seminar sebagai bagian dari pencarian solusi atas permasalahan pelestarian cagar budaya di Kota Bandung. Padahal, bangunan bersejarah menjadi salah satu daya tarik pariwisata. “Kami juga ingin mengajak serta para mahasiswa dalam rangka membantu kami (Disbudpar) untuk melestarikan bangunan dan kawasan cagar budaya di Kota Bandung,” jelas alumnus Unpar ini.
Ia juga menyoroti pentingnya sosialisasi sebagai solusi mengatasi information gap antara masyarakat. “Sosialisasi yang lebih fun tersebut akan terus kami lakukan,” tuturnya. Hal ini diharapkan mampu menumbuhkan kepedulian masyarakat juga melindungi kawasan cagar budaya yang semakin terancam. Terakhir, ia berharap forum seperti seminar ini mampu menghasilkan suatu kontribusi bagi permasalahan pelestarian cagar budaya. “Diharapkan ada solusi bagi pemerintah Kota Bandung,” katanya.
Felix Santoso selaku penanggung jawab seminar menjelaskan bahwa seminar ini merupakan refleksi dari keberadaan arsitektur kolonial sebagai identitas Kota Bandung. Hal ini, sebutnya, “Berangkat dari fakta historis bahwa Kota Bandung adalah kota kolonial.” Seiring berjalannya waktu, bangunan cagar budaya tetap bisa dipertahankan meski fungsinya dapat berubah. “Selain fisiknya, setiap bangunan memiliki sifat intangible atau ‘roh’” jelasnya, yang bisa memberikan suasana terhadap kawasan tertentu dalam sebuah kota, misalnya Kawasan Jalan Braga.
Melalui seminar ini, diharapkan mahasiswa selaku calon arsitek masa depan mampu merancang karya dengan menghargai nilai-nilai kebudayaan dalam bangunan cagar budaya. “Yang kita ingin dapatkan di sini adalah untuk memicu mahasiswa perancangan untuk mengapresiasi objek heritage,” ujarnya. Di sisi lain, pertukaran dan perbandingan informasi antarpeserta dan narasumber diharapkan mampu meningkatkan regulasi pelestarian bangunan cagar budaya, khususnya di Kota Bandung.