UNPAR.AC.ID, Bandung – Pada seminar publik Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bertajuk “Kebijakan (Internasional) Pemerintahan Prabowo Subianto” yang dilaksanakan pada Rabu (11/09/2024), tiga narasumber terkemuka memberikan pandangan kritis tentang kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan presiden baru. Seminar ini menampilkan Ikrar Nusa Bhakti, Tenaga Profesional di Bidang Politik Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Fatia Maulidiyanti, Vice President dari International Federation for Human Rights (FIDH), dan Zen RS, Pemimpin Redaksi Narasi. Dalam diskusi yang berlangsung selama lebih dari dua jam, mereka menguraikan perspektif tentang tantangan dan harapan untuk masa depan Indonesia, khususnya di bidang politik internasional, hak asasi manusia (HAM), dan ekonomi.
Ikrar Nusa Bhakti membuka pembahasan dengan menekankan pentingnya prinsip “bebas dan aktif” dalam politik luar negeri Indonesia. “Indonesia harus tetap konsisten pada prinsip bebas aktif dan tidak terjebak dalam konflik geopolitik yang bisa merugikan kita,” ujarnya.
Menurut Ikrar, politik luar negeri Indonesia harus mampu beradaptasi dengan dinamika global, seperti konflik di Ukraina, ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang belum stabil.
“Pemerintahan baru harus memperkuat kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, mencerminkan kepentingan nasional Indonesia yang beragam,” tambahnya. Ia juga mengingatkan bahwa pemerintahan Prabowo harus lebih cerdas dalam menghadapi kebijakan luar negeri dari negara-negara besar, terutama dalam menjaga kepentingan Indonesia.
Sementara itu, Fatia Maulidiyanti mengkritisi pendekatan kebijakan luar negeri Indonesia yang seringkali hanya formalitas di berbagai forum internasional. “Kebijakan luar negeri kita sering kali hanya formalitas belaka, sementara isu-isu HAM di dalam negeri tidak pernah benar-benar diangkat,” tegas Fatia.
Ia menyoroti bagaimana Indonesia bisa sangat vokal mengenai isu Palestina tetapi mengambil posisi netral terhadap konflik lain, seperti Myanmar. “Ini standar ganda yang harus diubah. Jika kita ingin dihormati di forum internasional, kita harus konsisten dalam sikap kita terhadap isu HAM,” lanjutnya.
Fatia juga mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah yang terlalu memprioritaskan investasi asing tanpa memperhatikan dampak terhadap HAM dan lingkungan. “Omnibus Law dan perjanjian seperti Belt and Road Initiative (BRI) dengan Tiongkok hanya akan memperburuk keadaan jika tidak diatur dengan ketat. Kita harus lebih kritis terhadap investasi asing yang datang ke Indonesia,” katanya.
Zen RS, yang dikenal sebagai pengamat politik dan jurnalis senior, menyoroti latar belakang dan karakter Prabowo Subianto. “Prabowo ini menarik karena dia tumbuh dengan nilai-nilai Barat tetapi tetap memiliki visi yang sangat nasionalis,” ujarnya.
Zen melihat bahwa Prabowo harus sangat hati-hati dalam mengelola investasi asing, khususnya dari Tiongkok, agar tidak memicu konflik sektarian di dalam negeri.
“Kita sudah melihat bagaimana di beberapa daerah, konflik sektarian mulai muncul akibat masuknya investasi asing yang tidak dikelola dengan baik. Ini bisa menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat,” tambahnya.
Zen juga memperingatkan bahwa meskipun Prabowo memiliki keinginan kuat untuk menjadi presiden sejak lama, ia perlu lebih fleksibel dan realistis dalam pendekatan politiknya. “Perubahannya mungkin tidak akan terlalu drastis dibandingkan Jokowi, tetapi Prabowo pasti akan membawa gaya kepemimpinannya sendiri yang lebih berorientasi pada pertahanan dan keamanan,” jelas Zen.
Dalam diskusi yang intens, Ikrar juga menyoroti pentingnya menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangga, namun tetap kritis terhadap kebijakan luar negeri negara-negara besar.
“Kita harus tetap menjaga hubungan baik dengan tetangga kita seperti Australia dan negara-negara ASEAN lainnya, tetapi juga harus berani mengambil posisi tegas jika kepentingan nasional kita terancam,” ujar Ikrar.
Ia juga mencatat bahwa pemerintahan Prabowo harus lebih aktif dalam memainkan peran di forum-forum multilateral untuk mengamankan posisi Indonesia di kancah internasional.
Fatia menambahkan bahwa kebangkitan populisme global juga harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
“Kita melihat tren populisme meningkat di seluruh dunia, dari Donald Trump di Amerika Serikat hingga Duterte di Filipina. Indonesia harus berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam jebakan populisme yang hanya mengejar popularitas tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia,” jelasnya.
Fatia juga menyerukan perlunya oposisi yang kuat di Indonesia untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah tetap di bawah pengawasan ketat. “Tanpa oposisi yang kuat, kita berisiko menjadi negara yang tidak lagi menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia,” tegasnya.
Mengakhiri seminar, Zen menyoroti kebutuhan Prabowo untuk mengelola modal asing dengan lebih bijak dan tidak hanya bergantung pada dukungan Tiongkok.
“Prabowo perlu mempertimbangkan diversifikasi sumber investasi dan tidak hanya bergantung pada Tiongkok. Jika tidak, kita akan terjebak dalam situasi yang sangat berbahaya,” kata Zen. Ia juga menekankan bahwa meskipun Prabowo akan membawa perubahan dalam beberapa aspek, perubahan tersebut tidak akan menjadi pergeseran besar dari kebijakan pemerintahan sebelumnya.
“Perubahan akan ada, tetapi jangan berharap perubahan yang sangat drastis,” pungkasnya. (NAT-Humas UNPAR)