UNPAR.AC.ID, Bandung – Di tengah perkembangan abad ke-21 yang membawa perubahan cepat dan mendasar, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) menggelar Kuliah Umum Estetika bertajuk “Seni, Komunitas, dan Penghayatan Pengetahuan” pada Kamis (13/06/2024). Acara ini menghadirkan Ade Darmawan sebagai pembicara dan berlangsung di Ruang Multifungsi PPAG 2 UNPAR, terbuka bagi mahasiswa dan masyarakat umum.
Ade Darmawan, seorang perupa, kurator, pengelola seni, serta bagian dari ruangrupa dan Gudskul, berbagi pandangannya tentang cara ‘mencipta-diri’ dan ‘mencipta-dunia’ melalui seni. Ia menekankan pentingnya ruang seni sebagai tempat belajar dan berkreasi yang berhubungan erat dengan komunitas.
“Daya autopoietik seni memungkinkan kita untuk mencipta dunia kita sendiri,” ujar Ade Darmawan. “Ruang seni atau inisiatif seni harus memiliki hubungan strategis dengan komunitasnya. Praktik seni yang melibatkan warga dapat mengasah kepekaan seniman terhadap lingkungan sekitar.”
Ade juga menyoroti peran penting ruang seni dalam pendidikan. “Pada masa lalu, saya sering mengeluh karena perguruan tinggi di Indonesia sangat sedikit dan terpusat di Jawa. Namun, dalam 10 hingga 15 tahun terakhir, ruang-ruang belajar seni telah memainkan peran penting dalam pendidikan, di mana mereka belajar dengan mempraktikkannya secara langsung bersama warga,” jelasnya.
Dalam pemaparannya, Ade Darmawan menjelaskan ekosistem seni yang terdiri dari tiga peran utama: apresiasi, edukasi, dan kreasi.
“Apresiasi berkaitan dengan distribusi seni melalui ruang pamer dan pameran, edukasi sebagai tempat belajar, dan kreasi adalah proses penciptaan seni itu sendiri,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa banyak ruang seni di Indonesia hanya fokus pada penciptaan seniman tanpa memperhatikan peran seperti pengarsipan, riset, dan festival.
Ade juga menguraikan berbagai sumber pendanaan yang dapat digunakan oleh seniman dan ruang seni, termasuk usaha mandiri, pendanaan pribadi, pendanaan pihak swasta, iuran anggota, pendanaan pemerintah dalam negeri, dan pendanaan lembaga internasional.
“Saya menganggap seniman seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” kata Ade Darmawan. “Bagaimana kita mendefinisikan surplus? Lihat dari batasan diri sendiri; di mana kita berkecukupan?”
Salah satu konsep menarik yang dibahas Ade Darmawan adalah Lumbung Artists Mini-Majelis, yang merupakan bagian dari Lumbung Indonesia, Lumbung Inter-Lokal, dan Lumbung Kassel.
“Ini adalah pertama kalinya seniman secara swakelola dapat mengelola dana produksinya atau bahkan menyumbangkan dana produksinya untuk seniman lain yang lebih membutuhkan,” ujarnya.
“Kata ‘lumbung’ adalah metafora yang lebih luas, bukan hanya tentang keluarga tetapi juga tentang sumber daya.”
Kuliah Umum Estetika ini berhasil memberikan wawasan baru tentang bagaimana seni dapat menjadi alat untuk mencipta-dunia melalui komunitas dan penghayatan pengetahuan. Kehadiran Ade Darmawan sebagai pembicara utama memberikan inspirasi bagi mahasiswa dan masyarakat umum untuk terus mengembangkan ekosistem seni yang lebih inklusif dan berkelanjutan di Indonesia. (NAT-Humas UNPAR)