UNPAR.AC.ID, Bandung – Dalam catatan sejarah selama ini, tokoh pencetus nama Pancasila sebagai lima dasar negara Indonesia yang selama ini diketahui adalah Muhammad Yamin. Namun, ada hal yang tidak tercatat pada sejarah dalam pidato Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno, yang mengatakan Pancasila didapatkan atas usul temannya yang merupakan seorang ahli bahasa.
Hal tersebut disampaikan dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF UNPAR) Sylvester Kanisius Laku, S.S., M.Pd. dalam acara Sekolah Kebangsaan yang bertema bedah buku “Menggali Pemikiran Asmara Hadi tentang Pancasila” pada Rabu (20/4/2022) lalu.
Pada buku karya Asmara Hadi dengan judul “Tentang Pancasila” yang diterbitkan Yayasan Ibu Inggit Garnasih, Kanisius mengatakan banyak yang tidak dibicarakan sebelumnya bahkan di ruang akademik.
“Di buku ini juga ada pengakuan yang mengusulkan nama Pancasila adalah Asmara Hadi. Bahwa ada sosok yang tenggelam dalam sejarah kehadiran Pancasila ini. Orang yang namanya Asmara Hadi Ini,” tutur Kanisius.
Dia menemukan bahwa Asmara Hadi mengatakan jika di benak Soekarno, Pancasila merupakan sebuah filsafat sosial dan politik.
“Ketika Pancasila diletakkan sebagai filsafat sosial politik, itu sesuatu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi. Mengapa saya katakan demikian, karena filsafat itu kan sesuatu yang dinamis, sebuah daya kritis, daya evaluatif, daya rekoleksi,” katanya.
Menurutnya, Pancasila sebagai filsafat sosial dan politik dapat menjadi penggerak yang dinamis.
“Ketika berbicara Pancasila sebagai filsafat itu berarti kita harus mengakui kedudukan Pancasila sebagai sebuah proses dan sebagai ilmu sekaligus,” tutur Kanisius.
Lebih lanjut, dia menjelaskan apabila sebagai proses, filsafat merupakan sebuah nalar. Sedangkan sebagai ilmu, filsafat dapat dibilang sebuah metode.
“Kalau Pancasila kita letakkan dalam konteks itu, berarti Pancasila adalah sebuah perjuangan nalar untuk mencari kebenaran tentang ke-Indonesia-an ini. Sebuah proses nalar yang meletakkan Indonesia dalam konteks yang sesungguh-sungguhnya seperti apa. Demikian juga kalau sebagai ilmu, bahwa kita harus mengakui melalui Pancasila kita bisa mendekati diri kita sebagai manusia Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, Kanisius juga mengatakan jika pada buku tersebut Asmara Hadi menguraikan konsep tentang Pancasila dalam konteks kritik terhadap kapitalisme.
“Bahkan menurut Asmara Hadi, Pancasila itu merupakan sintesis dari sosialisme dan religi,” tuturnya.
Kritis, Bukan Dogmatis
Gaya penulisan yang dipakai oleh Asmara Hadi pada bukunya yang berjudul “Tentang Pancasila” dinilai sangat lentur untuk buku Pancasila yang cenderung berat dan disampaikan dengan kaku.
“Jadi buku ini, buku tentang Pancasila, tapi cara bertuturnya tuh sangat puitis, sangat indah,” tutur dosen Penulisan Kreatif FF UNPAR Tri Joko Her Riadi, S.S., M.A-cum-Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id itu.
Asmara Hadi sendiri merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis yang bergerak pada liputan politik di Fikiran Ra’jat pada era Soekarno dan menerbitkan Pikiran Rakjat pada era Djamal Ali.
“Bukan karena Soekarno yang menjadi pembimbingnya itu jadi presiden lalu kehilangan kritis, justru dengan menerbitkan Pikiran Rakjat itu lalu Asmara Hadi bisa memantau jalannya kekuasaan yang dipimpin oleh gurunya, Soekarno,” kata Joko.
Menurut Joko, Asmara Hadi dan Pancasila sama-sama lahir dari banyaknya singgungan di tengah kemelut.
“Pancasila akan lahir dan terus berkembang justru dalam kemelut. Karena dia lahir dari ketidaknyamanan,” katanya.
Dalam acara yang dilakukan secara Hybrid di ruang Mgr. Geise tersebut, hadir pula Tito Zeni Asmara Hadi selaku anak ke-4 dari Asmara Hadi sekaligus perwakilan Yayasan Ibu Inggit Garnasih. (RBF-Humkoler UNPAR)