Sejatinya, ikhtiar Pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat sudah dimulai sejak 2019 dengan mengeluarkan kebijakan tentang Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Lima tahun sudah berlalu, namun tidak ada tanda-tanda harga tiket pesawat akan turun.
Kebijakan TBA/TBB
Kebijakan TBA/TBB diatur dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Pada intinya aturan ini membatasi harga tiket pesawat penumpang domestik kelas ekonomi tidak lebih dari TBA dan tidak kurang dari TBB. Pembatasan ini bertujuan agar perusahaan airline tidak menetapkan harga yang terlalu tinggi sehingga memberatkan konsumen atau terlalu rendah sehingga mengkompromikan keselamatan. Sekilas, sepertinya kebijakan TBA/TBB selaras dengan tujuan yang ingin dicapai. Sejatinya, apakah demikian?
Karakteristik Bisnis Airline
Bisnis airline memiliki dua karakteristik unik. Pertama, mereka menghadapi konsumen yang memiliki preferensi beragam. Konsumen yang melakukan perjalanan untuk keperluan pekerjaan/bisnis lebih mementingkan kenyamanan dan tidak terlalu peduli dengan harga. Kelompok ini sering disebut business passenger (business disini mengacu ke kelompok konsumen, bukan seating class).
Sementara itu, konsumen yang bepergian untuk keperluan pribadi cenderung mengorbankan kenyamanan demi harga murah. Mereka akan memesan tiket dari jauh-jauh hari sebelumnya, tanpa bagasi, tanpa kemungkinan refund dan reschedule, dan bahkan tanpa kompensasi jika terjadi force majeure, asal harganya murah. Kelompok yang sering disebut sebagai leisure passenger ini proporsinya jauh lebih besar.
Karakteristik unik kedua bisnis airline terkait kapasitas yang akan terbuang jika tidak terpakai. Pesawat dengan kapasitas 300 seat jika hanya mengangkut 200 penumpang akan membuang kapasitas sebesar 100. Dalam hal ini, airline kehilangan potensi pendapatan dari 100 seat yang kosong. Di sisi lain, ini tidak berdampak pada pengurangan biaya operasi karena biaya mengangkut 300 dan 200 penumpang tidak berbeda signifikan. Semakin banyak seat kosong, semakin besar kerugian airline.
Diferensiasi Harga
Bagaimana cara airline memaksimalisasi pendapatan dan meminimalisasi seat kosong? Dalam ekonomi dikenal konsep willingness-to-pay (WTP) yang merepresentasikan harga maksimum yang seorang konsumen bersedia bayar untuk suatu produk/layanan tertentu. Setiap konsumen bisa memiliki tingkat WTP yang berbeda-beda.
WTP dari business passenger pastinya lebih tinggi dari leisure passenger. Airline dapat memaksimalisasi pendapatan dengan menjual tiket dengan harga tinggi kepada business passenger dan meminimalisasi seat kosong dengan menjualnya dengan harga murah ke leisure passenger. Seringkali, tiket untuk leisure passenger ini dijual dengan harga sangat murah, jauh di bawah harga pokok. Bagi airline ini lebih menguntungkan dibanding terbang dengan seat kosong. Praktik Ini disebut diferensiasi harga.
Dalam penerapannya, mekanisme diferensiasi harga terjadi secara sukarela melalui self selection. Airline menerapkan diferensiasi harga dengan mengatur beberapa level harga dan mengalokasikan seat untuk setiap level harga tersebut. Pengaturan ini dilakukan sepanjang timeline menuju tanggal keberangkatan sedemikian sehingga kedua kelompok penumpang tadi akan merespons sesuai dengan preferensinya masing-masing. Leisure passenger akan memesan tiket murah dari jauh-jauh hari sebelumnya atau tiket murah dengan banyak restriksi. Business passenger tidak akan keberatan membeli dengan harga tinggi menjelang hari keberangkatan. Di sepanjang timeline menuju tanggal keberangkatan, harga dan alokasi seat bisa diubah-ubah sesuai dengan dinamika pemesanan. Inisiatif ini dikenal dengan Revenue Management dan telah terbukti efektif diterapkan di industri airline. Dalam implementasinya, ini membutuhkan dukungan infrastruktur komputasi dan perangkat lunak optimasi yang mumpuni.
Kebijakan TBA/TBB mengurangi keleluasaan airline melakukan diferensiasi harga. Mereka tidak lagi bisa memaksimalisasi pendapatan dengan menjual tiket di atas TBA ke business passenger. Mereka juga tidak lagi bisa sepenuhnya meminimalisasi seat kosong dengan menjual tiket di bawah TBB ke leisure passenger. Dari sudut pandang konsumen, TBA menguntungkan business passenger yang memiliki WTP tinggi karena membeli tiket lebih murah dari yang dia bersedia bayarkan. Namun, bagi leisure passenger dengan WTP di bawah TBB ini jelas merugikan karena mereka tidak lagi sanggup membeli tiket.
Sampai di sini, kebijakan TBA/TBB menjadi salah kaprah. TBA/TBB jelas-jelas merugikan airline karena membatasi potensi pendapatan mereka. Namun, jika TBB dihapus, tidak kah akan berpotensi mengkompromikan keselamatan penerbangan?
Paradigma Biaya vs Produktivitas
TBB ada karena kekhawatiran terjadinya praktik predatory pricing yang berpotensi mengkompromikan aspek keselamatan penerbangan. Mengutip Albert Einstein: “The world as we have created it is a process of our thinking. It cannot be changed without changing our thinking.” Kebijakan TBA/TBB jelas memperlihatkan bahwa Pemerintah menggunakan paradigma biaya untuk menyelesaikan masalah tarif pesawat. Diskursus tentang tarif pesawat selama ini lebih banyak fokus pada pengurangan komponen biaya yang membebani harga tiket, seperti pajak dan cukai suku cadang pesawat, Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U), fuel surcharge, dan lain-lain.
Inisiatif pengurangan biaya tetap diperlukan, tapi itu saja tidak cukup. Sudah saatnya Pemerintah melepas kacamata biaya dan menggantinya dengan kacamata produktivitas. Bisnis airline marginnya kecil. Pemain perlu diberi keleluasaan agar lincah bergerak mengupayakan maksimasi pendapatan dan minimasi seat kosong. Untuk itu, kebijakan TBA/TBB sebaiknya dihapus. Biarkan perusahaan airline berikhtiar mengupayakan peningkatan pendapatan dan load factor. Pemerintah tetap berperan sebagai regulator dan pengawas, tapi tidak dengan mengontrol biaya dan tarif.
Alih-alih biaya dan tarif, Pemerintah sebaiknya fokus mengontrol produktivitas. Salah satu ukuran yang umum digunakan adalah Revenue per Available Seat-Km (RASK). RASK adalah total pendapatan operasi dibagi total seat-km yang dihasilkan, dan semakin tinggi semakin baik. Seat-km yang dihasilkan ini termasuk seat yang tidak terjual, sehingga adanya seat kosong akan mengurangi RASK. Pemerintah perlu menetapkan standar perhitungan RASK dan menetapkan tingkat RASK minimal yang menjamin aspek keselamatan. Selanjutnya, airline bisa diminta untuk melaporkan RASK per triwulan.
Penghapusan TBA/TBB dan penggunaan RASK sebagai ukuran kinerja akan mendorong airline untuk semaksimal mungkin meningkatkan pendapatan dan mengurangi seat kosong. Dengan mekanisme ini produktivitas akan terdorong naik tanpa mengorbankan aspek keselamatan. Pada akhirnya, kita akan bisa mengatakan bahwa penerbangan murah masih ada di Indonesia karena leisure passenger dengan WTP rendah tetap bisa menikmati layanan penerbangan yang aman. Semoga.
Tulisan disusun oleh Fransiscus Rian Pratikto (Dosen Teknik Industri pada Fakultas Teknologi Rekayasa UNPAR dan Peneliti Revenue Management). Gagasan tulisan tersebut pun sebelumnya telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat (Kolom Opini) pada 27 Desember 2024 lalu dengan judul “Salah Kaprah Tarif Pesawat”.