UNPAR.AC.ID, Bandung—Riset yang dilakukan Dr. Elvy Maria Manurung dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan dan Prof. Dr. Daniel Daud Kameo dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), bisa jadi telah menemukan rumus tokcer meramu produk kreatif yang sekaligus mampu menembus pasar. Rumus tersebut ditemukannya dalam industri film Indonesia.
Elvy & Daniel menghabiskan tiga tahun (2015-2017) untuk menuntaskan penelitian yang hasilnya terbit dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis pada April 2021 dengan judul “Creativity and Its Paradoxes: How the Indonesia Movie Industry Can Survive.” Riset tersebut mengeksplorasi industri film Indonesia untuk mencari benang merah antara film dengan kualitas jempolan yang sekaligus sukses meraup penonton lewat sudut pandang paradoks dan manajemen kreativitas.
Elvy dan Daniel sengaja meneliti industri film. Sebagai produk budaya, film memiliki kandungan kreativitas yang tinggi, juga bisa memberi dampak yang sangat besar-luas. Hal tersebut ditunjukkan oleh trilogi film Lord of The Ring yang tak hanya sukses mencatatkan penjualan tiket yang luar biasa tapi juga berimbas pada banyak hal. Proses produksi film tersebut misalnya menyebabkan loncatan indeks inovasi industri film kreatif Selandia Baru dari peringkat rendah menjadi peringat teratas di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Di Indonesia situasinya seperti jalan di tempat. Memang industri film Indonesia berkembang pesat pasca reformasi. Produksi film Indonesia pada tahun 1999 yang bisa dihitung dengan jari selama setahun, meloncat menjadi lebih dari 120 film dalam setahun pada 2015. Genre film yang diproduksi pun makin beragam.
Namun ironisnya film Indonesia yang memiliki kualitas sinematografi jempolan, meskipun bisa dihitung dengan jari, dan yang memenangkan penghargaan festival film di dalam negeri dan luar negeri/manca negara; justru jeblok dalam penjualan tiketnya di dalam negeri. Bagi Elvy & Daniel situasi tersebut menunjukkan film Indonesia selalu mengalami ketegangan khas antara kreativitas dengan komersialitas.
Wacana Film Indonesia
Elvy & Daniel memulai penelitiannya dengan menelaah Film Siti yang memenangkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2015. Film tersebut juga meraih Arte Award di Busan Film Festival, serta mendapat nominasi di festival Telluride di Amerika Serikat. Namun film tersebut gagal di pasar domestik.
Film Siti adalah film independen yang diproduksi Ifa Isfansya pada tahun 2014. Dalam satu kesempatan wawancara Elvy & Daniel mengetahui dari sutradara tersebut, film Siti diproduksi dengan anggaran rendah. Pengambilan gambar sengaja hitam-putih. Film bergenre kehidupan sehari-hari (slice of life) tersebut bercerita tentang seorang wanita yang terpinggirkan bernama Siti yang berusaha menyelamatkan kehidupan keluarganya.
Elvy & Daniel menggunakan metode grounded research dalam penelitiannya. Metodologi yang pertama kali digagas oleh Glaser dan Strauss (Khan, 2014; Noble & Mitchell, 2016) yang biasanya dipergunakan sosiolog. Dalam perkembangannya metodologi ini dipergunakan berbagai ilmu sosial lainnya seperti ilmu politik, kesehatan masyarakat, perencanaan kota, bahkan bisnis dan administrasi.
“Secara umum, grounded sebagai metode yang bertujuan untuk mengkonstruksi atau menemukan teori dari data yang diperoleh secara sistematis dari penelitian sosial,” tulis Elvy & Daniel (2021).
Dalam prosesnya, Elvy & Daniel juga menggunakan analisis wacana (discourse analysis). Film Siti dipergunakan sebagai wacana/discourse dalam meneliti tegangan-tegangan yang terjadi antara kreativitas dan komersialitas dalam industri film Indonesia.
Tiga tahun Elvy & Daniel mengerjakan penelitiannya dengan studi dokumen menganalisa 1.468 film Indonesia, melakukan wawancara pada 253 penonton film di 8 kota, dan menemui serta melakukan wawancara terhadap 20 pembuat film (produser, penulis naskah, sutradara, serta art desginer), dua pengelola bioskop (XXI dan CGV), serta perwakilan pemerintah. Tak cukup dengan itu, kedua peneliti tersebut juga melakukan focus group discussion dengan dua pakar budaya dan film, dan selanjutnya mewawancarai ulang beberapa narasumber terkait untuk melakukan validitas triangulasi.
Wawancara juga dilakukan terhadap para penonton film mengenai film Siti, film Indonesia yang lain, dan film asing. Pertanyaan seputar proses kreatif dalam produksi film diajukan kepada para pekerja seni dan movie-maker untuk mengurai proses kreatif dan mendapatkan gambaran/makna yang lebih utuh dalam industri kreatif perfilman. Sementara kepada pengelola bioskop ditanyakan dan digali tentang persepsi mereka atas film Indonesia yang memenangkan penghargaan festival film tingkat nasional hingga internasional, serta aturan dan kebijakan yang mereka lakukan atas pemutaran film-film Indonesia di bioskop.
Paradoks Kreativitas pada Film Indonesia
Di tengah-tengah proses penelitian tersebut Elvy & Daniel menemukan kesesuaian dengan konsep paradoks dan manajemen kreativitas. “Penelitian ini memang sangat luas karena menggunakan grounded research sebagai metode penelitian. Tidak ada hipotesis awal atau beberapa teori yang dipilih sebagai kerangka teoritis. Konsep paradoks kreativitas muncul setelah mewawancarai para pembuat film, demikian juga hal tentang bagaimana mengelolanya” tulisnya.
Elvy & Daniel menggambarkan situasi paradoks kreativitas seperti seorang manajer yang dihadapkan pada tantangan untuk merangsang inovasi dalam organisasi. Beberapa memilih memberikan kebebasan tak terbatas pada organisasi yang malah berujung kekacauan, bukan kinerja luar biasa. Yang lain mencoba merangsang kreativitas karyawan melalui program dan kegiatan yang telah ditentukan sebelumnya dan bisa juga memberikan hasil yang luar biasa.
“Menciptakan ide atau inisiatif baru dan berguna mengharuskan para pemimpin untuk terus-menerus mendefinisikan kembali kebutuhan organisasi mereka, memodifikasinya, dan menyesuaikan perilaku karyawan mereka. Situasi paradoks ini tidak akan pernah hilang, dan inilah inti dari proses inovasi. Oleh karena itu, paradoks hanya dapat dikelola tetapi tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik. Memahami paradoks dan penyebabnya mungkin membantu tetapi tidak membuatnya mudah untuk ditangani,” tulis Elvy & Daniel.
Situasi paradoks kreativitas tersebut yang menjadi keseharian yang dihadapi pegiat film pada sejak dari awal memproduksi karyanya. Pembuat film harus mengenal situasi paradoks dalam mengelola kreativitasnya saat menggarap sinematografi dan story telling dalam proses bisnis produksi film yang dijalani seperti pengenalan konsumen, strategi dan inovasi pemasaran, perilaku dan strategi pembiayaan.
Film Siti sebagai discourse sengaja dipilih karena merepresentasikan dilema kreativitas. Sineas yang memperkenalkan ide kreatif yang baru dan segar lewat karyanya tersebut harus berhadapan dengan situasi industri perfilman yang justru tidak mendukung perfilman dari segi penonton maupun regulasi pembuatan film. Pengelola bioskop misalnya bisa menghentikan penayangan satu film bila dalam tiga hari pertama gagal mencapai target minimal penonton.
Kreativitas dan Pasar
Dengan para pegiat film, Elvy & Daniel mendiskusikan 20 film Indonesia. Diantaranya dengan Sheila Timothy, Joko Anwar, Chand Parwez, Ifa Ifansyah, Garin Nugroho, Atid Sammaria, Key Simangunsong, dan Motulz. Film yang dipilih tersebut berasal dari beragam genre dengan jumlah penonton mulai dari 9 ribu orang hingga yang ditonton sampai 1,7 juta orang.
Pertanyaan yang diajukan menggunakan teori kreativitas dan inovasi Drucker dalam kerwirausahaan untuk mengurai proses kreativitas dalam produksi film. Di antaranya mengenai unsur kebaruan, orisinalitas, hingga makna film.
Hasilnya menjadi bahan diskusi kembali dengan beberapa pembuat film ternama seperti Riri Riza, Slamet Raharjo, Chand Parwez, Key Mangunsong, Motulz, Ifa Ifansyah, Sheila Timothy, Joko Anwar, Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, dan Garin Nugroho. Diskusi yang sama juga dilakukan bersama perwakilan pemilik dan pengelola bioskop di Jakarta, Ibu Catherine Keng dari XXI dan Ibu Dian Soenardi dari CGV.
Mengelola Kreativitas di Industri Film
Elvy & Daniel mencatat beberapa hal dalam penelitiannya. Diantaranya pegiat film menyepakati industri film memerlukan strategi pemasaran yang lebih inovatif agar bisa bersaing dengan film asing.
Sheila Timothy percaya ide baru dengan penelitian dan pendanaan yang memadai menjadi syarat menghasilkan film Indonesia yang baik. Pendapatnya ditegaskan oleh Joko Anwar, Riri Riza, Garin Nugroho, dan Chand Parwez. Lalu Ifa Ifansyah menyebutkan keterbatasan anggaran jangan menyurutkan semangat menghasilkan karya kreatif. Chand Parwez menekankan pentingnya mempekerjakan aktor/aktris terkenal untuk menarik penonton.
Joko Anwar, Riri Riza, dan Ifa Ifansyah sepakat bahwa mendongeng (story telling) yang menarik itu penting dalam industri kreatif. Sheila Timothy saat memproduksi Wiro Sableng pada tahun 2017 mencatat bahwa sinematografi berkualitas tinggi menjadi faktor yang semakin penting untuk menghasilkan film yang bagus. Motulz dan Key Mangunsong (masing-masing adalah desainer seni dan sutradara film) menegaskan pendapatnya.
Elvy & Daniel mendapat kondisi tidak ideal yang dihadapi sejumlah film yang mendapat banyak penghargaan prestisius tapi minim apresiasi penonton (Opera Jakarta /Garin Nugroho, Siti/Ifa Ifansyah, Modus Anomali/Sheila Timothy , Denias: Senandung di Atas Awan/Alenia Production) berasal dari faktor kurangnya literasi dari penonton lokal. Penonton film kita terkesan/lebih suka film ringan dan terkesan “membodohi”. Pengelola bioskop XXI dan CGI membenarkannya. Film Indonesia terkadang terlalu segmented, hanya memenuhi ceruk pasar tertentu.
Elvy & Daniel sependapat dengan Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dalam satu pertemuan perfilman di Jakarta pada November 2015, Triawan menyatakan sineas Indonesia membutuhkan strategi pemasaran yang inovatif. Sayangnya Bekraf tidak memiliki strategi untuk membantu saat itu. Kondisi tersebut menunjukkan industri film di Indonesia masih membutuhkan sokongan pemerintah untuk menembus pasar domestik.
Lewat analisis terhadap 20 film Indonesia pasca reformasi tersebut, Elvy & Daniel membuat rumus sederhana agar sineas Indonesia bisa menghasilkan karya kreatif dan berkualitas, juga sukses di pasar dengan strategi yang tepat. Kuncinya pada pengelolaan paradoks kreativitas.
Ada enam faktor kunci yang harus menjadi perhatian;
- ide alur cerita baru,
- penceritaan atau naskah yang menarik,
- penelitian lapangan yang memadai,
- sinematografi berkualitas tinggi,
- strategi pemasaran yang inovatif, dan
- aktor dan aktris terkenal.
Peran pemerintah Indonesia tetap penting dan diperlukan untuk mendukung industri perfilman Indonesia, khususnya kebijakan yang berpihak pada pemasaran film Indonesia di pasar domestik.
“Memproduksi film tak selalu spekulatif. Pembuat film yang mampu mengelola paradoks kreativitasnya dengan baik, kemungkinan besar akan efektif, berhasil membuat filmnya diterima pasar,” tulis Elvy & Daniel.
Artikel Riset UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UNPAR.