UNPAR.AC.ID, Bandung – Peneliti Bandung Kota Cerdas Pangan Dr. Theresia Gunawan, S.Sos., MM., M.Phil. mengungkapkan bahwa Kota Bandung menghasilkan sampah setiap harinya sebanyak 1.500 ton dengan ketinggian 75 sentimeter. Riset juga mengungkapkan bahwa hanya 26% pelaku industri makanan & minuman di Kota Bandung yang memiliki program pengolahan sisa makanan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi IN2FOOD Stakeholder Meeting bertajuk “Fighting Food Waste: A Pentahelix Partnership for Innovation”, yang berlangsung secara daring, Rabu (15/9/2021). Turut hadir dalam diskusi Koordinator Tim Peneliti Bandung Kota Cerdas Pangan Dr. Pius Sugeng Prasetyo, M.Si., Pemimpin Redaksi Harian Pikiran Rakyat Satrya Graha, Ketua GSSI (Gerakan Semangat Selalu Ikhlas) Bandung Tini Martini Sapran, dan sejumlah perwakilan Universitas yang tergabung dalam Program Erasmus+ dari Uni Eropa. Serta perwakilan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dan pelaku industri makanan serta minuman.
IN2FOOD merupakan singkatan dari “Interdisciplinary Approach Towards Fostering Collaborative INnovation in FOOD Waste Management” adalah sebuah proyek peningkatan kapasitas di bidang pendidikan tinggi yang didanai bersama oleh Program Erasmus + dari Uni Eropa. Proyek ini berlangsung selama 3 tahun dari tahun 2021 hingga 2023. Melalui IN2FOOD, diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam penanganan limbah makanan, proyek ini melibatkan lima Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia dan tiga Perguruan Tinggi di Eropa.
Diskusi yang melibatkan akademisi, pelaku industri, pemerintah, komunitas, dan media ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang luas dalam memahami isu limbah makanan di Indonesia.
Fakta penting tentang limbah makanan dinilai memerlukan tindakan kolaboratif untuk mendorong inovasi dalam pengelolaan limbah makanan. Kolaborasi interdisipliner antara mitra akademik dan non akademik diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam penanganan limbah makanan.
Theresia mengatakan bahwa peranan warga sangat diperlukan untuk mengurangi sampah-sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) nantinya. Dia mengungkapkan, pihaknya telah melakukan serangkaian survei. Survei pertama itu kepada 500 masyarakat di Kota Bandung kelas menengah ke atas dari 30 kecamatan. Survei tersebut untuk mengetahui apa alasan membuang makanan dan bagaimana perlakuan terhadap sisa makanan.
“Apa alasan membuang makanan, itu kebanyakan karena memang rusak, tidak suka rasanya, kelebihan produksi atau masak, dan menariknya kita tanyakan apa yang dilakukan dengan makanan sisa, sebesar 33% mengatakan dibuang,” tutur Theresia.
Survei pun dilakukan terhadap 61 pelaku industri untuk melihat bagaimana perlakuan makanan sisa di industri makanan dan minuman. Pihaknya ingin melihat sejauh mana kepedulian dan pemahaman pelaku industri makanan & minuman terhadap sampah sisa makanan. Serta sejauh mana mereka memiliki concern terhadap pengolahan sampah makanan tersebut.
“Kami mengambil sampel dari kafe, restoran, hotel, bakery, dan beberapa pabrik makanan,” katanya.
Dari hasil survei, komponen yang paling banyak dibuang itu adalah sampah organik sebanyak 73%. Kemudian frekuensi serta alasan membuang makanan. Survei menunjukkan, frekuensi membuang makanan itu sebesar 89% terjadi setiap hari dan alasan membuang makanan itu 89% mengatakan rusak dan basi; 11% lainnya mengatakan karena kelebihan produksi.
Survei juga melihat bagaimana perlakuan membuang makanan sisa berdasarkan karakteristik produsen pangan. Kafe/restoran menjadi pihak yang paling banyak berkontribusi dalam makanan sisa dibuang, yaitu 67%; kemudian hotel 15%; dan sisanya tersebar di sektor pabrik makanan, catering, dan bakery.
“Kontribusi paling tinggi untuk membuang makanan itu berasal dari kafe/restoran. Mungkin karena secara jumlah mereka lebih banyak dan konsumennya pun lebih banyak,” ucapnya.
Survei juga melihat perlakuan terhadap makanan sisa layak makan. Menariknya, sebesar 35% responden mengatakan makanan sisa tersebut dibagikan secara gratis, sementara 28% menjawab dibuang, 26% disimpan di kulkas: dan 5% menjadi pakan ternak atau dikompos. Sisanya dijadikan makanan diskon.
Para peneliti pun menanyakan apakah para pelaku industri makanan dan minuman tersebut sudah memiliki program pengolahan makanan sisa. Hanya 26% yang sudah memiliki program tersebut, sisanya belum sama sekali memiliki program tersebut. Kemudian pihaknya juga menanyakan apakah pelaku industri makanan setuju atau tidak apabila aturan denda kepada konsumen diterapkan jika makanannya tidak habis, 64 persen mengatakan tidak setuju.
“Sebab jika aturan itu diterapkan, tetapi tidak merata di Kota Bandung, ini akan mengakibatkan masalah persaingan. Jadi konsumen akan beralih ke tempat-tempat yang tidak menerapkan denda. Jika mau diterapkan, harus menjadi aturan yang betul-betul merata untuk semua pelaku usaha,” ujarnya.
Kendati demikian, sebesar 89% pelaku industri makanan dan minuman setuju adanya aturan untuk sistem dalam pengelolaan sampah makanan. Dalam survei pun, sebanyak 85% persen setuju jika pemerintah menunjuk organisasi untuk menampung makanan layak konsumsi. Sebesar 84% pun setuju jika pemerintah memberi apresiasi terhadap produsen pangan yang punya sistem pengolahan sampah makanan.
Theresia juga menjabarkan sejumlah inovasi kebijakan dari berbagai negeri. Misalnya, terbitnya Undang-Undang di Perancis yang memaksa supermarket untuk pangan kadaluarsa diberikan kepada tunawisma. Anggota parlemen Inggris meminta supermarket memperlakukan sayur dan buah yang berbentuk buruk sebagai produk yang normal. Di Qatar, Maison De Sushi atau rumah sushi mengenakan denda bagi pelanggan yang menyisakan makanan.
China juga telah mengesahkan UU Anti Buang Makanan, dilarang Mukbang. Penyedia jasa mukbang seperti restoran yang mempromosikan pembelian berlebih akan didenda sebesar 1550 dolar AS atau setara dgn Rp 22 juta. Di Seattle, warga dilarang membuang sisa makanan dan harus dikompos sendiri. Dan akan dikenakan denda jika mereka membuang makanan, untuk sampah rumah tangga dikenakan denda 1 dolar AS. Sementara apartemen dan usaha lainnya akan didenda 50 dolar AS.
Sementara di Indonesia, lanjut dia, untuk saat ini memang belum ada aturan yang secara spesifik melarang warga membuang makanan. Tetapi terkait pengolahan sampah sudah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 12-13.
Pasal 12 berbunyi, setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Sementara Pasal 13, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah.
Untuk Kota Bandung sendiri, diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Salah satu terobosan dari Walikota Bandung adanya Surat Edaran yang mengatur pelaksanaan kegiatan Urban Farming Terintegrasi guna mendukung penguatan ketahanan pangan keluarga di setiap RW se-Kota Bandung. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)