UNPAR.AC.ID, Bandung – Menjalankan fungsi Tridarma Perguruan Tinggi demi tercapainya visi dan misi Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) menjadi fokus Center for Theoretical Physics (CTP) atau Pusat Studi Fisika Teori UNPAR. Sebagai pusat studi fisika teori pertama di Indonesia, CTP UNPAR terus berkontribusi mengangkat pamor UNPAR ke tataran internasional sembari mengembangkan keilmuan dan memperkenalkan fisika teori di Indonesia.
Ketua CTP UNPAR Paulus Cahyono Tjiang, Ph.D menuturkan bahwa CTP dibentuk atas dasar yang kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya fisika teori. Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi sebagai fasilitator kegiatan penelitian yang fokus dalam satu bidang ilmu, yaitu fisika teori, CTP berupaya memberikan kontribusi nyata bagi UNPAR khususnya serta menjalankan aktivitas pengabdian masyarakat melalui pendampingan, pemberdayaan, hingga pembinaan.
“Pusat Studi Fisika Teori ini sebetulnya adalah satu wadah untuk menghimpun juga mengarahkan penelitian fisika teori khususnya di UNPAR. Kami punya cita-cita bahwa Pusat Studi ini nanti lebih berkembang lagi hingga ke luar UNPAR,” tutur Paulus, Selasa (18/5/2021).
Dia menuturkan, CTP merupakan pusat studi fisika teori pertama di Indonesia yang berada di bawah naungan Universitas. Area yang menjadi fokus penelitian adalah perihal materi gelap, lubang hitam, dan teori kuantum relativistik.
“Tujuannya memang kami ingin mengarahkan penelitian-penelitian yang ada karena selama ini (penelitian) fisika teori yang ada di UNPAR itu topiknya berpencar-pencar. Jadi sekarang ini ada 3 topik besar yang range-nya dari sangat besar (alam makroskopis) hingga sangat kecil (alam mikroskopis). Kami percaya, bahwa topik-topik di fisika teori itu mestinya satu sama lain bisa berkaitan dan kalau kita pakai untuk memecahkan masalah, maka setiap topik tersebut akan memberikan kontribusinya. Itulah kenapa ada Pusat Studi ini,” ujarnya.
CTP sendiri resmi berdiri pada 29 November 2019 lalu, meskipun sudah diprakarsai sejak 2015 silam. Paulus mengungkapkan, CTP dibentuk atas dasar pemikiran bahwa para peneliti perlu wadah atas sejumlah penelitian yang telah dihasilkan. Apalagi dalam rentang 2015-2018, tiap tahunnya rerata 3 jurnal yang dipublikasikan dalam jurnal bereputasi internasional dengan tingkat Quartile-1 (Q1).
Dalam tempo kurang lebih dua tahun, ada 8 publikasi internasional dengan SJR (Scientific Journal Ranking) Q1 yang membawa nama “Center for Theoretical Physics, Department of Physics, Parahyangan Catholic University, Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141, Indonesia”
Kedelapan publikasi tersebut adalah:
1. H. M. Siahaan, “Hidden conformal symmetry for the accelerating Kerr black holes,” Classical and Quantum Gravity 35, no. 15, 155002 (2018).
2. H. M. Siahaan, “Accelerating black holes in the low energy heterotic string theory,” Physics Letters B 782, 594 (2018).
3. R. Primulando and P. Uttayarat, “Dark Matter-Neutrino Interaction in Light of Collider and Neutrino Telescope Data,” Journal of High Energy Physics 1806, 026 (2018).
4. H. M. Siahaan, “Destroying extremal magnetized black holes,” Physical Review D 96, no. 2, 024016 (2017).
5. R. Primulando and P. Uttayarat, “Probing Lepton Flavor Violation at the 13 TeV LHC,” Journal of High Energy Physics 1705, 055 (2017).
6. C. Bernard, “Analytical Study of a Kerr-Sen Black Hole and a Charged Massive Scalar Field,” Physical Review D 96, no. 10, 105025 (2017).
7. C. Bernard, “Stationary charged scalar clouds around black holes in string theory,” Physical Review D 94, no. 8, 085007 (2016).
8. H. M. Siahaan, “Magnetized Kerr/CFT Correspondence,” Classical and Quantum Gravity 33, no. 15, 155013 (2016).
Dengan delapan hasil penelitian ini, barulah para penggagas berdirinya pusat studi fisika teori UNPAR merasa telah layak untuk mengajukan pendirian pusat studi tersebut. Kurang lebih setahun berselang, pengajuan Pusat Studi Fisika Teori (Center for Theoretical Physics) – UNPAR disetujui melalui SK Rektor dengan ketuai untuk pertama kalinya oleh Dr. Haryanto M.Siahaan,
“Hasilnya adalah publikasi di jurnal yang tidak main-main, jurnal Q1 yang merupakan jurnal dengan kualitas tertinggi di jurnal internasional. Sebanyak 3 artikel per tahun dipublikasikan di jurnal Q1,” ucapnya.
Paulus menceritakan proses publikasi penelitian sebelum resmi diterbitkan di jurnal internasional Q1. Hasil penelitian sebelum dipublikasikan akan disimpan terlebih dahulu di arXiv Cornell University, hal ini dilakukan untuk mencegah plagiarisme. arXIv Cornell University dilansir dari laman resminya https://arxiv.org/ merupakan repository dalam bentuk e-print dalam bidang fisika, matematika, ilmu komputer, dan disiplin terkait yang memungkinkan ilmuwan di seluruh dunia untuk berbagi dan mengakses penelitian sebelum dipublikasikan secara resmi.
“Artikel-artikel kami sebelum diterbitkan itu kami upload ke yang namanya arXiv di Cornell University, supaya tidak dicolong orang. Karena sering kali apa yang kami bikin dengan orang lain dari belahan bumi sebelah mana itu bisa sama. Kalau kita enggak cepat-cepatan, bisa dia yang klaim. Padahal kami sudah kerja setengah mati,” tutur Paulus.
Dia menuturkan, gunanya arXiv itu guna menstempel bahwa CTP telah terlebih dahulu mengerjakan penelitian tersebut. Pada 2018 lalu usai diresmikan, CTP memang baru menghasilkan 1 jurnal internasional Q1 dan 8 arXiv. Namun, pada 2020, kedelapan arXIv itu akhirnya bisa diterbitkan di jurnal internasional Q1.
“Jadi 2020 itu paling banyak (menghasilkan) saat di masa pandemi. Ada 8 artikel di jurnal Q1 dan waktu itu kami secara bersamaan juga mengerjakan 5 arXiv di tahun yang sama. Di tahun 2021 ini, dari 5 arXiv di tahun sebelumnya, baru masuk 1 di jurnal internasional Q1. Sementara 4 lagi masih kami upayakan. Selain itu, Pusat Studi ini juga mendorong mahasiswa, kami punya 2 mahasiswa yang bisa menerbitkan sendiri di jurnal Q1, yakni di tahun 2016 dan di tahun ini (2021,red) sedang dalam proses,” ujar Paulus.
Paulus pun mengatakan pembentukan CTP didukung penuh oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu, Dr. Laksana Tri Handoko yang kini menjabat Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saat peresmian CTP, Handoko turut hadir dan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Ekosistem Riset era 4.0”.
“Pak Handoko yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala LIPI meng-support kami karena memang di perguruan tinggi di Indonesia belum ada. Ini (CTP,red) yang pertama di lembaga pendidikan. Kami waktu itu berikrar bahwa dengan pembukaan (CTP) ini, kami akan lebih menghasilkan lagi,” kata Paulus.
Kolaborasi dengan LIPI juga menjadi salah satu bentuk kerja bersama CTP. Hal itu sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara UNPAR dengan LIPI dalam bidang penelitian. Salah satu bentuk kerjasamanya adalah dalam penggunaan fasilitas di LIPI untuk pelaksanaan penelitian sivitas akademika UNPAR.
“Khusus untuk fisika teori, contohnya adalah paper tahun 2021 itu kolaborasi antara kami dengan orang-orang di LIPI. Di LIPI ada juga kelompok fisika teori,” ujarnya.
Sebagai sentral pengembangan penelitian, Paulus menuturkan bahwa kinerja Pusat Studi tentunya sejalan dengan visi-misi UNPAR. Salah satunya adalah mengangkat potensi lokal ke tataran internasional, di antaranya dengan menargetkan agar hasil penelitian anggota CTP dapat dipublikasikan dalam jurnal internasional Q1.
“Kami memang tidak menargetkan atau memproyeksikan publikasi di jurnal nasional, harus di jurnal internasional dengan level Q1. Dengan (target) Q1 ini artinya banyak sekali yang akan mensitasi pekerjaan kami sehingga nama UNPAR dikenal, itu bentuk kontribusi kami. Kami berupaya menaikkan pamor UNPAR di bidang penelitian,” katanya.
Kontribusi lain yang tak kalah pentingnya adalah menjalankan fungsi pengabdian masyarakat agar hasil riset dan kegiatan di CTP diketahui oleh masyarakat dengan harapan agar bermanfaat secara luas. Meskipun memang, tak dimungkiri, ada tantangan sendiri untuk dicerna dengan mudah oleh publik. Beberapa kegiatan yang rutin dilakukan di antaranya membuka sesi webinar untuk kalangan umum serta menjalankan Pelatihan Guru Fisika (PGF) yang menjadi acara rutin dua tahunan.
“Webinar yang dibuat untuk kalangan umum misalnya mau tidak mau harus menggunakan bahasa populer. Sementara PGF adalah acara dua tahunan kami untuk melatih guru dengan bermacam-macam topik. Mulai dari hal-hal aplikatif sampai teori yang disampaikan menggunakan bahasa populer,” tuturnya.
“Misalnya menjelaskan bagaimana caranya materi bisa masuk ke lubang hitam dan tidak bisa keluar lagi? Kami contohkan memakai corong dan kelereng, kelerengnya kami putar di corong, akibatnya dia (kelereng,red) kan mutar-mutar dan masuk. Itu cara kami menjelaskan bagaimana materi masuk ke lubang hitam, jadi anak-anak bisa melihat dan tahu tentang lubang hitam. Itu yang sudah kami lakukan di (pelatihan) guru,” lanjut Paulus.
Selain mengadakan webinar dan PGF, kegiatan lainnya yang rutin dilakukan adalah INDY (Incredible Physics). Kegiatan INDY berfokus pada anak-anak tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan tujuan mengenalkan fisika, khususnya fisika teori bukan sekadar menghapal rumus.
“Ada satu kegiatan yang namanya INDY, kami mengenalkan fisika ke anak-anak SMA dan itu menjadi populer. Anak-anak bisa melihat bahwa fisika teori bukan hanya sekadar teori menghapal rumus, tetapi bisa ditunjukkan sehingga orang bisa lebih mengerti,” ucapnya.
Menjalankan Dharma
Sebagai sentral pengembangan keilmuan, ujar Paulus, CTP memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang penelitian. Tuntutan dari penelitian bukan hanya meneliti, tapi harus ada hasilnya, diterbitkan, dipublikasikan, dengan harapan bisa direalisasikan dalam bentuk nyata.
“Mungkin sumbangsih kami baru bisa dipakai 50-100 tahun ke depan, saya pun tak tahu. Namun yang jelas, kami di sini mendukung kapasitas UNPAR sebagai perguruan tinggi. Di perguruan tinggi dikenal adanya Tri Dharma Perguruan Tinggi, dimana dharma kedua itu adalah penelitian. Itu yang kami dukung di samping dharma pendidikan dan dharma pengabdian kepada masyarakat. Apa yang kami hasilkan juga kami ajarkan di kelas. Fokus kami adalah mendukung penelitian untuk UNPAR, sehingga UNPAR dikenal memiliki Tri Dharma Perguruan Tinggi yang solid,” tuturnya.
Meski telah banyak hal yang dicapai sejak berdiri dua tahun silam, Paulus mengatakan masih banyak pekerjaan besar harus dilakukan, sekaligus ingin memperkenalkan fisika teori di Indonesia.
“Itu susah memang, mengingat kita negara berkembang yang sebetulnya arah fokusnya adalah mengejar keterbelakangan sehingga lebih mengejar pada hal-hal yang lebih aplikatif dan itu kami maklumi. Tetapi hal-hal yang aplikatif ini tidak akan bisa jadi, kalau tidak ada dukungan teoretis,” ujarnya.
Misi besar yang ingin dicapai CTP UNPAR, lanjut Paulus, adalah membuat masyarakat Indonesia paham bahwa bidang keilmuan fisika teori dibutuhkan era kini. Hal itu sejalan dengan perkembangan teknologi yang lebih jauh ke depannya.
“Fisika teori dibutuhkan untuk bisa memahami dan bisa mengembangkan teknologi lebih jauh. Itu PR (pekerjaan rumah,red) besar kami, yang saya kira mungkin akan selalu relevan 50-100 tahun kemudian dan akan relevan khususnya di Indonesia,” ucap Paulus. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)