UNPAR.AC.ID, Bandung – Sistem pembelajaran merupakan hal yang penting dalam menentukan cara berpikir bagi peserta didik. Seni berpikir kritis ala STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) kerap kali digunakan karena sifatnya yang tidak berorientasi pada hasil akhir saja melainkan proses dan cara berpikir yang dilaluinya.
Seni berpikir kritis akan mengubah hidup kedepannya dan hal ini bukanlah sesuatu yang instan melainkan proses terus menerus serta sifatnya yang menyeluruh. Ini merupakan aspek dalam segala kehidupan dan tugas seorang pendidik yaitu terlebih dahulu menerapkannya agar dapat ditransfer kepada peserta didik. Cara berpikir ala STEM dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar.
Metode pembelajaran berbasis STEM mungkin menjadi mode pembelajaran baru yang mungkin menakutkan bagi guru dan membingungkan bagi peserta didik, terutama bila tidak terbiasa dengan model siswa sebagai pusat pembelajaran. Pembelajaran STEM mengajak bagaimana guru tidak sekadar memberikan tugas dalam bentuk proyek, tapi juga mendorong agar siswa mampu menciptakan ruang berpikir.
Hal tersebut mengemuka dalam Indonesia Edu Webinars bertajuk “Seni Berpikir Kritis ala STEM”yang diselenggarakan oleh REFO Indonesia pada Rabu (10/8/22) lalu. Acara tersebut mengundang Christina Ester Manthalina Hutabarat selaku Pusat Studi Kajian Pembelajaran STEM Universitas Katolik Parahyangan & Founder Ruang Bergerak dan Satria Ary Hapsara selalu pendidik & Direktur Ruang Bergerak.
Seni merupakan bentuk penciptaan karya (creative process) dimana kita bisa mengungkapkan imajinasi dan gagasan sehingga orang lain bisa melihat, menikmati, menghargai keindahan, atau kekuatan emosi di dalamnya.
Berbicara mengenai seni, terdapat tahapan dalam mendesain cara berpikir atau yang biasa dikenal dengan design thinking. Adapun tahapannya yaitu observing, classifying, measuring, inferring, predicting, dan communicating. Melalui tahapan-tahapan tersebut, pendidik dan siswa dapat berpikir secara kritis dan menyeluruh dalam menyampaikan ide/gagasan.
“Jadi bagaimana pikiran kita sudah di desain sedemikian mungkin untuk kita bisa menyampaikan gagasan,” tutur Christina.
Christina mengatakan berpikir kritis akan digunakan dalam segala aspek kehidupan dan mengubah hidup kita kedepannya. Itulah salah satu alasan bahwa hal ini bukan merupakan sesuatu yang instan dan merupakan proses terus menerus. Dalam perjalanannya, anak didik tidak hanya menerima informasi secara pasif melainkan bagian dari proses yang dinamis dan transformatif.
“Berpikir kritis akan digunakan dalam segala aspek kehidupan, jadi berpikir kritis akan mengubah hidup kita kedepannya bukan sesuatu yang instan tapi proses terus menerus,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan mengenai cara berpikir kritis ala STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yaitu :
- Science : Kajian mengenai fenomena alam yang melibatkan observasi dan pengukuran sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif alam yang selalu berubah.
- Technology : Inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam agar memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia dalam memperbaiki kualitas hidup.
- Engineering : Pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin, peralatan, sistem. Material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia.
- Mathematics : Cabang ilmu yang berkenaan dengan pola dan hubungan dalam pemcehana masalah.
“Kalau di STEM itu, kita akan melihat banyak observasi dan pengukuran yang melihat banyak fenomena alam yang terlibat di dalamnya. Keempat bidang ilmu akan terintegrasi,” tutur Christina.
Sejalan dengan hal tersebut, Satria Ary mengatakan hal yang untuk membuat cara berpikir kritis itu memerlukan seninya sendiri. STEM dapat membantu siswa dalam meluruskan kembali hal-hal yang ada di sekitar mereka itu merupakan sebuah masalah yang nyata.
“Seni dari STEM itu tidak hanya dibatasi dengan bagaimana kita berusaha mengintegrasikan banyak proyek tapi siswa bisa melihat hal yang paling sederhana dengan cara yang berbeda,” tutur Satria. (JES-Humkoler UNPAR)