UNPAR.AC.ID, Bandung – Garam merupakan bahan makanan yang tidak asing lagi bagi kita namun sebenarnya juga merupakan suatu bahan kimia. Fakta menunjukkan bahwa konsumsi garam di Indonesia sekitar 15 gram/hari dan jumlah tersebut sudah melampaui batas wajar. World Health Organization (WHO) sendiri menganjurkan konsumsi garam sebesar 5 gram/hari dan jika lebih dari jumlah tersebut akan berakibat buruk pada jantung dan ginjal.
Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Series 8 Teknik Kimia UNPAR dengan tema “Garam: Bahan Makanan atau Bahan Kimia?” yang diadakan pada Sabtu (29/4/2023) silam.
Acara tersebut mengundang dua pembicara yaitu Prof.Dr.Ir.Judy Retti B. Witono,M.App.Sc. selaku Kepala Pusat Studi Rekayasa Proses dan Produk Pangan dan Putu Padmareka Deandra, S.T.,M.T. , selaku Awardee Nutrifood Research Center Fellowship 2022.
Putu menuturkan, garam dendritik adalah pembentukan garam dengan struktur kristal seperti bintang. Ide garam dendritik berasal dari penggunaan zat kimia lain untuk menghambat kristalisasi zat kimia anticaking (antikempal).
“Garam dendritik dipilih karena pengadukan lebih cepat dan ikatan yang lebih sedikit pada makanan namun menghasilkan rasa yang sama dengan NaCl,” ucap Putu.
Selain garam dendritik, terdapat 2 produk diversifikasi garam lainnya yaitu :
- Pyramid salt: harga yang cukup mahal +/- Rp 300.000/kg , rasa yang gurih, kandungan mineral tinggi, dan tidak terlalu asin
- Himalayan salt: rock salt, penambangan, kandungan mineral tinggi
“Dari garam laut akan dilarutkan kemudian akan disebarkan di rumah kaca dan akan membentuk kristal garam kemudian akan dibungkus dulu dan ini yang membuat mahal karena harus dipilih untuk mencari tahu apakah ini garam pyramid atau bukan, hal itu yang membuat harga nya cukup mahal,” ucapnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Judy mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, tentu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan negeri dan garam merupakan salah satu prospek di masa depan karena sangat penting dalam kehidupan.
“Saya ingin menekankan bahwa indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah kanada kita memiliki potensi besar di laut yang belum banyak kita eksplorasi,” tuturnya.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat masalah pada beberapa hal yaitu :
- Kualitas garam rakyat baru bisa memenuhi kebutuhan industri pangan saja karena kemurnian NaCl 90%
- Garam industri membutuhkan kemurnian 98-99%
- Teknik produksi garam hanya mengandalkan panas matahari saja sehingga hanya bisa berproduksi selama musim panas saja.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Perlu adanya kerjasama dengan pemerintah, pengusaha besar maupun kecil, peneliti, dan petani garam,” ucapnya.
Dirinya mengatakan bahwa garam akan masuk ke hampir semua bidang yang ada saat ini sehingga perlu adanya kerjasama dari semua pihak.
“Para peneliti itu menemukan hal-hal yang sudah ada di alam tetapi untuk mengembangkannnya menjadi produk yang memenuhi kebutuhan kita diperlukan engineer untuk mengembangkan hasil penelitian menjadi produk yang dinikmati,” tutur Prof. Judy. (JES-Humkoler UNPAR)