UNPAR.AC.ID, Bandung – Pembelajaran tatap maya sudah sewajarnya tak dilihat sebatas transfer materi ilmu semata. Proses personalisasi pengetahuan selama tatap maya patutnya dinilai pula sebagai bagian dari pengembangan karakter, baik bagi mahasiswa maupun pengajar.
Disebut ada masalah di level pengembangan karakter peserta didik jika pembelajaran online terus dilakukan, Guru Besar Fakultas Filsafat UNPAR Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto mengajak untuk melihat hal itu secara saksama.
Alih-alih khawatir akan efektivitas pembelajaran tatap maya yang disebut membuat hilangnya pendidikan karakter, kelas maya malah membuat tiap dosen dan mahasiswa memiliki kesempatan mempersonalisasi pengetahuannya.
Dibalik plus-minus pembelajaran tatap maya, digitalisasi pendidikan selama pandemi Covid-19 menjadi satu hal yang mutlak dilakukan. Meskipun tak dimungkiri, teknologi tidak dapat menggantikan peran dan interaksi belajar mengajar antara peserta didik dan pengajar.
Serangkaian kekhawatiran hilangnya kesempatan belajar atau kerap disebut sebagai learning loss semestinya menjadi tantangan bukan persoalan. Walau tak menutup mata, kultur digital tak semudah itu diterapkan di setiap aspek pembelajaran.
“Pembentukan karakter tidak sepenuhnya bergantung pada itu (pembelajaran tatap muka,red). Sebagiannya itu juga terbentuk dari pengalaman pribadi, kinerja pribadi, dan sebagainya. Dalam kerangka ini, sebetulnya proses belajar online kalau digarap dengan baik, memberi peluang besar. Mungkin lebih besar ketimbang pembelajaran tatap muka,” ucapnya, saat diwawancarai tim Midup Buletin, Senin (20/9/2021) lalu.
Menurut Prof. Bambang, persoalan pengembangan karakter tak hanya bicara sikap. Proses pematangan individu melibatkan banyak hal, misalnya saja budaya membaca yang menjadi bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Kemampuan menyerap informasi bahkan mengeksplorasi sendiri kemungkinan sumber-sumber informasi dan mengartikulasikannya pun menjadi bagian yang sangat penting dalam membentuk karakter.
“Selama online, kita dipaksa dan didorong membaca, tetapi juga menulis, mengartikulasikannya setiap kata dalam menanggapi tugas secara aktif dan itu bagi saya penting dalam hal pembentukan karakter. Bagi saya, itu bukan hal sepele dalam soal pembentukan karakter. Hati-hati, karakter bukan hanya soal sopan santun, seringkali orang menganggap sesederhana itu,” ujarnya.
Pembelajaran tatap maya, lanjut Prof. Bambang, memerlukan kerja dari pihak pengajar. Pengajar mesti didorong jauh lebih kreatif mengeksplorasi kemungkinan sumber pembelajaran selama di kelas maya. Dengan kata lain, kesegaran bahan ajar sekaligus menyajikan referensi yang lebih available dan bisa dijangkau oleh mahasiswa.
“Dosen juga dipaksa untuk mencari. Dalam kasus saya, saya butuh film-film pendek yang mengilustrasikan filsafat itu apa, lantas di pertemuan berikutnya kami membahas reaksi-reaksi mereka, dan itu (pembelajaran online) menjadi hidup sekali. Itu sudah seperti flipped classroom. Dosen pun baiknya mencari upaya untuk berdialog dan mendengarkan setiap jawaban. Kedua pihak, baik mahasiswa maupun dosen dipaksa lebih aktif,” tuturnya.
Satu hal penting lainnya yang berdampak signifikan bagi mahasiswa adalah proses personalisasi pengetahuan. Mahasiswa dipaksa aktif dan akhirnya dia mempersonalisasi pengetahuan dengan sendirinya dan itu penting untuk pembentukan karakter.
“Pengetahuan bukan sekadar di luarnya, justru dengan (pembelajaran) online, pengetahuan itu dipersonalisasi oleh mahasiswa juga oleh dosen. Dari sudut itu, justru penting jika bicara pembentukan karakter,” katanya.
Kendati demikian, pola interaksi digital masih jadi PR (pekerjaan rumah,red) bersama. Perubahan kultur dari konvensional menjadi digital, termasuk di dalamnya pola interaksi bukanlah hal yang mudah diatasi dalam waktu relatif singkat.
“Itu memang kelemahan seluruh kultur digital, bukan hanya pembelajaran online. Saya melihat itu sebagai kelemahan kultur digital pada umumnya dan memang terasa anak-anak itu hidup dalam dunianya sendiri. Dalam hal ini, sosialisasi dan sebagainya menjadi rendah,” ucapnya.
Menurut Prof. Bambang, baik pembelajaran tatap muka dan maya, sama pentingnya. Keduanya memiliki tantangan dan peluang dalam dunia pendidikan. Kesempatan dibukanya kembali pembelajaran tatap muka pun tentunya menjadi penyeimbang selama masa pagebluk Covid-19.
“Saya lebih suka hybrid. Porsi pembelajaran tatap muka tetap penting secara realita,” ujarnya.
Meski kini kegiatan belajar-mengajar masih berlangsung berkat bantuan teknologi, harus diakui tak semua pihak sudah terbiasa dengan hal baru. Khususnya dosen senior yang memang tidak mudah melakukan adaptasi digital. Hal itu masih menjadi tantangan tentunya, tinggal bagaimana setiap yang terlibat menentukan pilihan.
“Dosen harus tertantang mencari bahan baru dan mengeksplorasi bahan ajarnya bagi mahasiswa. Terutama untuk dosen-dosen yang sudah senior, tantangannya akan lebih terasa. Saya melihat dosen-dosen muda cepat sekali (beradaptasi) dan mereka seperti lebih mengeksplorasi pembelajaran online. Tantangannya itu tentu lebih ke dosen-dosen senior, sebagian karena teknis dan sebagian pula karena stagnasi, cara kebiasaan yang sudah semakin tidak terlalu kreatif,” tuturnya. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)