UNPAR.AC.ID, Bandung – Dua hal yang selalu diharapkan dari setiap terbitnya sebuah peraturan yaitu adanya keteraturan dan langkah pengembangan. Keteraturan atau penertiban lajimnya karena terlalu banyak keragaman praktik atau perilaku. Sedangkan, aspirasi pengembangan biasanya dipicu oleh situasi kemandegan. Keduanya bisa membawa implikasi yang bertolak belakang. Pengaturan bisa berimplikasi penyederhanaan dan penyeragaman, sementara pengembangan membuka ruang bebas dan energi baru untuk berkreasi dan berinovasi. Apakah kedua hal itu (keteraturan dan pengembangan pendidikan tinggi) diberikan oleh Permendikbudristek No.53/2023?
Sulit mengatakan “tidak”, seperti halnya mengatakan “ya”. Ada tumpang tindih bahkan kontradiksi yang perlu diurai sehingga menjadi lebih jelas dimana Permen itu meningkatkan penyederhanaan dan dimana membawa pengembangan. Jawaban positif akan menghindari anggapan bahwa ini hanya sekadar afirmasi dan bukan transformasi.
Afirmasi Penyederhanaan
Permen tersebut bertajuk Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Padanya dua hal yang diatur, yaitu Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti, Pasal 4-63) dan Akreditasi (Pasal 65-98). SN Dikti menetapkan satuan kriteria dan kualifikasi minimum pendidikan tinggi yang mencakup pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, Akreditasi menjadi mekanisme utama untuk menilai apakah sebuah Perguruan Tinggi (PT) dan Program Studi (Prodi) telah memenuhi atau melebihi SN Dikti tersebut. Menurut Mas Menteri, Permen ini mengusung semangat penyederhanaan administratif dan keringanan pembiayaan sehingga transformasi mencapai mutu dikti yang lebih tinggi bisa berlangsung lebih cepat dan lebih esensial.
Pengaturan SN DIkti tentang dharma pendidikan atau pembelajaran (Pasal 5-51) nampaknya menjadi perhatian dan kepentingan utama. Disini standar Luaran berupa kompetensi lulusan menjadi batu penjuru atau acuan untuk menentukan bagaimana pendidikan berlangsung (proses, penilaian, pengelolaan pembelajaran yang tersusun dalam disain kurikulum) serta mensyaratkan masukan atau input yang dibutuhkan (seperti kriteria dan kualifikasi calon mahasiswa yang diterima, kualifikasi dan kompetensi dosen dan tenaga kependidikan, ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana, sumber pembelajaran dan pembiayaan).
Penetapan standar kompetensi lulusan sebagai acuan standar proses pendidikan menjadi affirmasi pertama yang patut diapresiasi. Artinya, kualitas dan kompetensi lulusan yang diharapkan dan ditetapkan dalam Visi dan Misi PT-lah yang seharusnya menjadi dasar penyelenggaraan pembelajaran. Ini berbeda dengan praktik penyelenggaraan selama ini dimana banyak PT justru berangkat dari masukan atau input yang tersedia atau terpaku pada proses yang gitu-gitu saja. PTN misalnya bisa menerima sebanyak-banyaknya calon mahasiswa karena jumlah peminat yang besar, sementara sejumlah PTS akan menerima calon mahasiswa dengan kualifikasi apa adanya.
Afirmasi kedua dan layak diapresiasi dari Permen tersebut adalah adanya alternatif tugas akhir mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studinya. Pasal 18 (9) mengatakan “Program studi pada program sarjana atau sarjana terapan memastikan ketercapaian kompetensi lulusan melalui pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok”. Hal itu disambut luas walaupun pada praktiknya sudah banyak PT dan Prodi yang menerapkan jalur non-skripsi baik sebagai respon positif terhadap kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan sejak 2020 maupun karena kreativitas PT.
Yang disambut cukup antusias pada program pascasarjana, disamping jalur non-thesis atau non-disertasi, adalah bahwa publikasi artikel di jurnal terakreditasi oleh magister dan di jurnal internasional oleh mahasiswa doktoral tidak lagi diatur dalam Permen ini sebagaimana ditetapkan dalam Permen sebelumnya (No.44/2015 juncto No.50/2018). Perubahan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mempercepat kelulusan mahasiswa, tetapi membuka ruang dan rekognisi terhadap talenta dan kompetensi yang beragam dari para mahasiswa.
Pengaturan SN Dikti yang lebih fokus pada dharma Pendidikan atau pembelajaran juga bisa lihat sebagai konfirmasi bahwa PT kita memang masih lebih merupakan teaching universities. Pengaturan tentang dharma Penelitian (Pasal 52-57) dan Pengabdian (Pasal 58-63) nampaknya tidak memadai untuk membawa PT menuju World Class University (WCU) atau Universitas Berkelas Dunia (UBD) yang berkarakter research universities dan entrepreneurial universities. Tidak terdapat pengaturan dan insentif yang atraktif bagi PTNBH dan PT yang terakreditasi unggul atau internasional untuk bisa masuk ranking dunia. PTNBH seyogianya lebih terfasilitasi pada program pascasarjana (magister dan doktor) dengan jumlah dan mutu penelitian dan publikasi yang lebih tinggi. Amanat dharma pendidikan dan pembelajaran lebih tepat diemban oleh PTN dan PTS lainnya sebagai teaching universities.
Afirmasi ketiga terkait Sistem Penjaminan Mutu, khususnya pelaksanaan SPME atau akreditasi. Disini ada penyederhaan status akreditasi yang untuk Perguruan Tinggi hanya ada “terakreditasi” atau “tidak terakreditasi” (Pasal 74); sedangkan untuk Program Studi (Prodi) status akreditasi terdiri dari “tidak terakreditasi”, “terakreditasi”, “terakreditasi unggul”, dan “terakreditasi internasional” (Pasal 75, 86 dan 87). Ketentuan ini menggarisbawahi Pasal 88 yang menegaskan bahwa “Program studi wajib memiliki status terakreditasi sementara, terakreditasi, terakreditasi unggul, atau terakreditasi secara internasional untuk meluluskan mahasiswa dan menerbitkan ijazah”.
Lebih lanjut dari pelaksanaan SPME ini adalah adanya mekanisme automasi. Akreditasi dengan status “sementara” diberikan kepada PT dan Prodi yang baru karena dianggap telah memenuhi standar minimal SN Dikti (Pasal 77). Mekanisme automasi berlaku hanya bagi Prodi dan PT yang sudah mendapatkan predikat “terakreditasi” (Pasal 81). Pengaturan ini dianggap meringankan beban administrasi dan keuangan Prodi dan PT karena untuk automasi akreditasi, BAN PT dan LAM cukup mencermati Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).
Yang disambut cukup hangat adalah tentang biaya akreditasi. Tetapi ini perlu dibaca dengan cermat, sebab yang didanai oleh Kementerian adalah proses akreditasi pertama dari “terakreditasi sementara” untuk menjadi “terakreditasi” yang dilakukan oleh LAM (Pasal 96 (3)). Apabila Prodi mau mengajukan reakreditasi untuk mendapatkan predikat “terakreditasi unggul” atau “terakreditasi internasional”, pembiayaan ditanggung oleh Prodi atau PT yang bersangkutan.
Aspirasi Pengembangan
Permen No.53/2023 berisi aspirasi pengembangan dan akselerasi menuju perguruan tinggi berkelas dunia yang tidak lebih kuat dibandingkan dengan semangat pengaturan atau penyederhanaan. Semangat pengembangan yang lebih bermakna nampaknya memerlukan penjabaran lebih lanjut. Misalnya, Pasal 4 (3) menegaskan bahwa “Penyelenggaraan Tridharma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan misi perguruan tinggi dengan menentukan komposisi bobot pelaksanaan masing-masing dharma di tingkat perguruan tinggi, program studi, dan individu dosen”. Pasal ini sejatinya membuka ruang bagi PT yang memiliki potensi untuk membangun keunggulan yang berbeda baik karena visi dan misi, konteks geografis/kedaerahan, maupun jenis pendidikan yang diselenggarakan. Contoh kedua Pasal 64 yang mengatur tentang standar pendidikan tinggi yang ditetapkan Perguruan Tinggi. Pasal ini menyatakan bahwa standar tersebut harus lebih tinggi daripada SN Dikti, baik dari sisi kedalaman maupun keluasan pelaksanaan tridharma. Walaupun sebagian besar PT masih berjuang untuk memenuhi SN Dikti yang ditandai dengan status terakreditasi, Kemendikbud perlu memperhatikan dan memfasilitasi PT dan Prodi yang bisa melampaui SN Dikti.
Yang lainnya adalah mengenai pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (daring), termasuk untuk program pascasarjana (Pasal 14), program percepatan atau crash-program (Pasal 21), keberadaan mahasiswa paruh waktu (Pasal 23) dan juga tentang pengakuan pembelajaran lalu atau RPL baik untuk mahasiswa (Pasal 36) maupun tenaga pengajar (Pasal 44). Semua ini masih menantikan pengaturan untuk transformasi dikti yang lebih signifikan agar PT dan Prodi lebih adaptif dan inovatif tanpa kekhawatiran yang berlebihan melanggar peraturan. Itulah semangat transformasi berkelanjutan.
Tulisan tersebut merupakan republikasi dan sebelumnya telah dimuat di Kompas.id pada 17 September 2023 dengan Judul “Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023: Afirmasi, Belum Transformasi”.