Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Bung Karno, 10 November 1961
Pernyataan itu disampaikan setelah adanya peristiwa PRRI-Permesta akhir 1950-an. Setelah 79 tahun Indonesia merdeka, apakah yang disampaikan Bung Karno 60-an tahun lalu itu masih relevan dengan kondisi bangsa kita dewasa ini?
Masyarakat kita dipenuhi dengan makin riuhnya berbagai gonjang-ganjing, mulai dari korupsi ratusan triliun rupiah di tingkat pusat, termasuk pencucian uang yang melibatkan para pesohor, sampai korupsi yang melibatkan semakin banyak pejabat di sejumlah daerah.
Gonjang-ganjing tsunami korupsi dalam arti lebih luas—termasuk korupsi nilai-nilai kepatutan, etika, dan moral—tersebut juga makin merambah dunia pendidikan.
Mulai dari adanya pimpinan perguruan tinggi (PT) dan guru besar yang terlibat korupsi, maraknya pelecehan seksual oleh pendidik, jalan pintas menjadi guru besar oleh kalangan akademik dan non-akademik, hingga siswa berjamaah memanipulasi nilai rapor.
Gonjang-ganjing bahkan melanda juga amanat UUD 1945. Sebanyak 20 persen APBN untuk pendidikan justru jadi bancakan berbagai kementerian/lembaga pemerintah dengan ego-ego terkait, termasuk pemanfaatan untuk berbagai kepentingan di luar pendidikan.
Para bapak pendiri bangsa berhasil menyepakati dan merumuskan UUD 1945, tetapi generasi berikutnya justru kesulitan menegakkan UUD tersebut. Apakah hal ini merupakan contoh lain tepatnya pernyataan Bung Karno di atas?
Apakah berbagai gonjang-ganjing itu pertanda pelemahan terhadap pencerdasan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945? Apakah saatnya dunia pendidikan dibangunkan untuk melakukan introspeksi dengan maraknya pelemahan pencerdasan bangsa tersebut?
Apakah hal ini menandakan gagalnya amanat UU No 20/2003, yakni untuk adanya satu sistem pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa?
Menyalakan lilin
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Gonjang-ganjing tersebut dikhawatirkan akan berlanjut dan makin meluas. Dibutuhkan kebesaran jiwa bagi dunia pendidikan untuk mengakui bahwa berbagai gonjang-ganjing tersebut merupakan gagalnya upaya pencerdasan kehidupan bangsa, ada masalah besar, krisis besar, dan darurat sistem pendidikan kita.
Ketimbang mengutuk gonjang-ganjing itu, ini merupakan saat yang tepat bagi dunia pendidikan untuk melakukan introspeksi dan mengupayakan peniadaan gonjang-ganjing tersebut. PT dituntut kembali pada amanatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ngewongke wong.
Ngewongke wong/nguwongke uwong adalah filosofi Jawa yang banyak disampaikan oleh beberapa tokoh nasional dalam berbagai kesempatan. Ngewongke wong atau memanusiakan manusia penulis artikan sebagai menghargai dan mendudukkan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang tertinggi, termulia, dengan keilahiannya yang luhur dan unik.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang karena tuntutan tertentu dipersatukan dalam kehidupan kolektif.
Untuk PT, artinya menjadikan masyarakat sebagai subyek utama dan mulia dari layanan PT. Menjadikan masyarakat ”bisa apa”, ”bisa” lebih cerdas, ”bisa” lebih baik kualitas hidupnya sebagai sekumpulan ciptaan-Nya yang luhur dan unik (lihat juga konsep hominisasi dan humanisasi dari Driyarkara).
Masyarakat centered, masyarakat sebagai subyek dari kontribusi PT dengan Tridharma-nya tidak terbatas bagi masyarakat dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Tidak sekadar link & match dengan kebutuhan DUDI, tetapi juga jauh lebih luas dan dapat dibedakan bagi masyarakat masa kini, masyarakat masa mendatang, dan masyarakat masa lalu.
Pertama, apa kontribusi PT bagi masyarakat masa kini. Apakah output Tridharma PT ”bisa” dimanfaatkan dan memberi nilai tambah bagi masyarakat DUDI dan/atau bagi masyarakat keilmuan dan/atau bagi masyarakat terkait lainnya.
Kedua, kontribusi PT bagi masyarakat masa mendatang terkait dengan alam lingkungan ciptaan-Nya. Alam lingkungan dengan flora-faunanya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan akan tetap ada ribuan tahun mendatang. Semuanya merupakan titipan masyarakat generasi mendatang.
Apa kontribusi PT dengan Tridharma-nya bagi masyarakat masa mendatang, terutama dengan makin rusaknya lingkungan, makin rakusnya eksploitasi SDA, makin parahnya dampak krisis perubahan iklim global, dan banyak lagi.
Ketiga, apa kontribusi PT bagi masyarakat masa lalu. Benda dan non-benda bernilai sejarah merupakan warisan masyarakat masa lalu di tengah banjirnya pengaruh budaya asing. Apa kontribusi PT bagi pelestarian berbagai warisan budaya, kearifan lokal, dan banyak lagi. Bagaimana agar masyarakat tidak kehilangan jati dirinya, tidak tercabut dari akar budayanya.
Semua kontribusi PT bagi masyarakat tiga masa tersebut dapat dalam tataran lokal, nasional, ataupun global.
Masyarakat tiga masa itu juga sangat beragam. Indonesia diberkahi dengan sangat kaya dan beragamnya SDA-SDM, dan untuk ini dibutuhkan peran PT dengan Tridharma-nya untuk meningkatkan nilai tambah beragam SDA-SDM unggulan Nusantara tersebut.
Misal, menurut Standard Chartered, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2030 diprediksi adalah yang keempat terbesar di dunia. Dalam kaitan ini, PT melalui Tridharma-nya dituntut kontribusinya untuk meningkatkan nilai tambah kekayaan SDA-SDM Nusantara terkait.
Tidak sekadar puas dengan ”hilirisasi semu” SDA, apalagi sebagai SDA ”mentah” serupa dengan rempah-rempah pada abad ke-16 hingga ke-17, dan juga tidak sekadar puas dengan menyatakan TKI/TKW sebagai ”pahlawan”.
Tantangan PT tidak terbatas pada bagaimana meningkatkan nilai tambah SDA-SDM Nusantara dalam tataran dunia, tetapi juga dalam tataran nasional dan lokal, termasuk nilai tambah bagi masyarakat tiga masa.
PT dituntut berkontribusi sesuai dengan amanat Pasal 33.3 UUD 1945, yakni bagaimana bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, melalui Tridharma PT, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Masyarakat sebagai subyek utama layanan PT tidak hanya sangat beragam, tetapi juga sangat dinamis. Misalnya, dengan arah kebijakan pembangunan nasional ke wilayah 3T, apakah masyarakat lokal yang ”mapan” rentan terpinggirkan oleh masyarakat pekerja pendatang.
Demikian pula dalam era industri 4.0, apakah pekerja yang ”mapan” rentan tergeser mesin cerdas dan/atau lapangan kerja baru yang membutuhkan kompetensi baru yang sebelumnya belum ada. Juga generasi Z yang makin sulit mencari pekerjaan dan banyak lagi. PT dituntut untuk terus-menerus mengantisipasi dinamika masyarakat yang sangat beragam tersebut.
PT ”bisa apa” agar masyarakat yang beragam dan dinamis ”bisa apa”. PT dituntut ”bisa apa” berdasar kekhasan SDA-SDM wilayah terkait, yakni agar masyarakat yang sangat beragam dan dinamis itu ”bisa apa”.
Di sisi lain, PT sendiri juga sangat beragam. Nilai-nilai luhur dan visi-misi pendiri PT beragam. Demikian pula potensi dan kendalanya.
Dengan berbagai keragaman dan dinamika itu, PT dituntut untuk khas menjadi jati dirinya sendiri serta melakukan adaptasi dan inovasi terus-menerus untuk ”bisa apa” secara lebih baik dan lebih baik dalam memanusiakan masyarakat.
Arah kebijakan pendidikan tinggi
Pertanyaan berikut, apakah arah kebijakan pemerintah selaras dengan tuntutan untuk PT menjadi jati dirinya tersebut.
Apakah arah kebijakan pemerintah pada umumnya cenderung bersifat equality dan juga ”instan” dalam arti ada kecenderungan penyeragaman berbagai ketentuan pemerintah. Misalnya, kebijakan penyeragaman ketahanan pangan dengan beras ketimbang pemberdayaan beragam kekayaan pangan lokal dan jika ada masalah pangan diatasi secara ”instan” dengan impor beras.
Apakah hal serupa berlaku juga dengan arah kebijakan PT. Misalnya, arah kebijakan mendorong semua perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) dan bahkan ada perguruan tinggi swasta (PTS) yang akan dijadikan PTN-BH. Demikian juga jika dianggap ada masalah PT, diatasi dengan impor perguruan tinggi luar negeri (PTLN).
Mengingat PT dan masyarakat terkait sangat beragam dan dinamis, apakah arah kebijakan pemerintah dituntut lebih bersifat equity ketimbang equality? Apakah equality adalah penyeragaman ketentuan lebih dari sisi pemerintah, lebih bersifat pemerintah centered?
Apakah arah kebijakan bagi PT dituntut untuk lebih bersifat equity, yakni kesetaraan keadilan dari sisi PT sebagai subyek dari ketentuan itu lebih bersifat PT centered ketimbang pemerintah centered.
Contoh lain kebijakan pemerintah centered’ adalah tentang pendanaan melalui APBN. Pendanaan program PT dengan Tridharma-nya diseragamkan dengan pendanaan program lembaga pemerintah lainnya, yakni berdasarkan APBN tahunan.
Di sisi lain, program PT, terutama program penelitian dan pengembangan (R&D), membutuhkan pendanaan yang berkesinambungan. Dengan belum siapnya ekosistem untuk mendukung R&D dari hulu sampai hilir, termasuk belum siapnya DUDI untuk ”jemput bola”, R&D PT tidak dapat dinilai berdasar kinerja tahunan APBN yang menjelang akhir tahun dana harus dihabiskan.
Sebagai contoh ekstrem, kinerja/dampak dari penelitian dasar mungkin baru terjadi belasan, bahkan puluhan tahun kemudian (contoh pemenang nobel). Dalam era BANI, program R&D PT makin dituntut melakukan penyesuaian secara terus-menerus dan cepat.
Semuanya membutuhkan pendanaan berkesinambungan dipadukan dengan akuntabilitas pemanfaatannya berdasarkan otonomi PT. Semuanya tak mungkin berdasarkan birokrasi anggaran tahunan. Demikian pula ketentuan dan fasilitasi bagi PT-riset untuk mampu bersaing di tataran global dituntut untuk berbeda dengan fasilitasi bagi PT yang baru mampu berkontribusi di tingkat lokal.
Pergeseran arah kebijakan equality menuju equity membutuhkan kesamaan visi, dukungan, dan komitmen antarpengambil kebijakan. Makin banyak aktor/lembaga pengambil kebijakan tersebut, termasuk makin banyak jumlah kementerian dan makin banyak daerah yang meminta diotonomikan, makin butuh energi dan waktu untuk penyelarasan beragam ego dari berbagai aktor/lembaga itu.
Tulisan tersebut disusun oleh BS Kusbiantoro (Ketua Pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik 2020-2023 dan 2023-2026). Merupakan republikasi dan sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada 19 September 2024 dengan Judul “Perguruan Tinggi dan Titah ”Ngewongke” Bangsa Sendiri”