UNPAR.AC.ID, Bandung – Pernahkah Anda merasa kesulitan untuk menemukan outfit yang sesuai untuk dipakai? Padahal, Anda baru saja membeli berbagai pakaian baru. Jika pernah, mungkin Anda merupakan seorang ‘fast fashionista’. Namun, sebenarnya apa itu fast fashion? Fenomena fast fashion sendiri merujuk pada pakaian yang lebih trendi dan murah namun memiliki kualitas yang kurang baik. Hal tersebut ditujukan agar tingkat konsumsi masyarakat bisa lebih tinggi.
Berbicara mengenai industri fashion, Indonesia sendiri merupakan sarang berkembangnya fast fashion. Puluhan brand telah mengalihdayakan produksi kepada Indonesia. Namun, sangat disayangkan bahwa produksi massal yang dilakukan tidak dalam kondisi yang manusiawi. Fenomena fast fashion ini bahkan memiliki beberapa dampak buruk bagi orang lain, lingkungan, dan bahkan diri sendiri. Hanya saja, tidak banyak masyarakat mengetahui dan menyadarinya.
Fenomena tersebut dipaparkan dalam pidato persuasif Daphne Andrea selaku Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2023, sebagaimana dikutip pada Rabu (26/4/2023). Mengangkat tajuk “Your Fashion, Your Power”, Daphne mengangkat agenda pembangunan dunia atau yang lebih dikenal dengan nama United Nation (UN) Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 12 yang membicarakan perihal konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
Maka dari itu, Daphne mengajak masyarakat untuk mengubah pola pikir dan perilaku kita mulai dari sekarang. Dari yang sebelumnya “terus menerus membeli pakaian yang tidak kita butuhkan” menjadi “less is more”. Mengapa demikian? Ketika Anda ingin membeli pakaian trendi secara impulsif, Anda mungkin saja sedang memberikan berbagai masalah lain seperti isu pekerja anak, pencemaran lingkungan, dan masalah kesehatan pada diri Anda sendiri dalam jangka waktu panjang.
“Oleh karena itu, tidak ada waktu yang lebih baik dibandingkan hari ini untuk mulai mengubah pola pikir dan perilaku kita dari membeli lebih banyak pakaian yang tidak kita perlukan menjadi pola pikir dan perilaku less is more,” tuturnya.
Lebih lanjut, Daphne memaparkan penjelasan tentang dampak yang dihasilkan dari fenomena fast fashion. Pertama, pekerja anak bawah umur. Sebagai ilustrasi, Daphne memperkenalkan seorang anak bernama Mira. Mira merupakan seorang anak berumur 13 tahun yang merupakan pekerja anak dalam industri fast fashion. Alih-alih pergi bersekolah, Mira dengan jarinya yang gesit dan kecil memiliki tugas untuk memetik kapas dan menjahit. Serupa dengan pekerja anak lainnya, Mira juga memiliki jam kerja yang panjang namun dibayar rendah.
“Pekerja anak sangatlah menarik karena industri fashion harus bisa memenuhi permintaan yang tinggi dari para penggemar fast fashion,” ucapnya.
Selain isu pekerja anak, fast fashion juga berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Setiap harinya, Mira dan ibunya menjadi saksi bagaimana industri tekstil tempat mereka bekerja mengeluarkan berbagai bahan kimia berbahaya ke Sungai Citarum yang secara perlahan mengubah warna airnya. Bahan kimia tersebut mengandung kadmium, arsenik, dan merkuri yang memiliki sifat larut dalam air. Tidak hanya pencemaran, fakta bahwa Mira dan penduduk setempat menggunakan air tersebut untuk mencuci pakaian dan mandi mengantarkan dampak yang lain yakni kesehatan.
“Bahan kimia beracun ini tidak hanya berbahaya bagi lingkungan tetapi juga bagi kesehatan kita,” ucapnya.
Berbicara mengenai dampak yang ketiga, fenomena fast fashion berdampak pada kesehatan diri kita sendiri. Setiap kali kita mencuci pakaian yang dibeli, beberapa bahan sintetis akan terlepas dari pakaian dan masuk ke laut sebagai mikroplastik. Mikroplastik ini kemudian akan dimakan oleh ikan. Ikan ini mungkin saja pada akhirnya tersaji di meja makan Anda yang akan menyebabkan dampak negatif kesehatan dalam jangka waktu panjang.
Menilik dampak serius yang disebabkan oleh industri fashion, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa fast fashion merupakan salah satu bentuk tindakan konsumsi dan produksi yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, tercipta urgensi menuju realisasi agenda 2030 UN SDG nomor 12 yang memiliki tujuan untuk mengurangi produksi dan pelepasan limbah ke air, tanah, dan udara dengan melakukan pengurangan, pencegahan, dan daur ulang. Merespons hal tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul ialah bagaimana cara konsumen dapat menyelamatkan anak-anak, planet, dan bangsa ini?
“Sekarang, kita mungkin bertanya-tanya bagaimana konsumen dapat menyelamatkan anak-anak ini, planet ini, dan bangsa,” tuturnya.
Sebagai bagian dari generasi Z, Daphne mendorong kita untuk mulai menerapkan konsep yang dikenal dengan capsule wardrobe. Dengan menerapkan capsule wardrobe yang mendukung slow fashion, konsumen akan menjadi lebih cermat dalam memilih pakaian. Pakaian yang dipilih berjumlah lebih sedikit namun esensiil, serbaguna, dan juga timeless yang membuat pakaiannya bisa dipadupadankan untuk membentuk variasi outfit yang cocok untuk kegiatan sehari-hari.
“Sebagai bagian dari generasi Z, saya mendorong kita semua untuk mulai menerapkan konsep capsule wardrobe yang menerapkan prinsip dari slow fashion karena fashion Anda kini adalah kekuatan Anda,” ucapnya.
Daphne kemudian memberikan contoh bahwa dengan sedikit kreativitas dan inspirasi dari media sosial, kemeja berwarna netral yang dipakai dirinya dapat dipadupadankan dengan barang atau pakaian lainnya dari capsule wardrobe miliknya. Sebagai contoh, ia dapat menggunakan blazer hitam untuk acara formal atau smart looking vest untuk menghadiri kelas. Selain itu, dirinya juga bisa menambahkan syal.
“Ketika saya menambahkannya, saya siap untuk mengambil foto estetik untuk instagram feeds saya,” tuturnya.
Daphne pun menjelaskan bahwa dirinya sudah dapat membuktikan bahwa penerapan capsule wardrobe telah menghemat waktu, uang, dan juga tenaga. Oleh karena itu, dirinya mengajak seluruh masyarakat untuk mengatasi budaya konsumsi berlebihan dengan mengimplementasikan capsule wardrobe. Tidak hanya itu, Daphne juga menekankan bahwa kampanye “less is more” tentunya dapat membantu terwujudnya UN SDGs nomor 12.
“Saya mendorong Anda semua untuk menurunkan permintaan fast fashion karena less is more. More for you, more for them, and more for the planet,” ucapnya. (KTH-Humkoler UNPAR)