UNPAR.AC.ID, Bandung – Pada Jumat (22/11/2024), Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) resmi meluncurkan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dalam acara tersebut, Pakar Kebijakan Pendidikan Prof. Anita Lie, MA., Ed.D. menyampaikan pandangannya mengenai peran pendidikan dalam menciptakan perubahan sosial dan mengapresiasi langkah berani UNPAR membuka fakultas ini dengan tujuh program studi sekaligus. Dalam paparannya, Prof. Anita menyebut peluncuran ini sebagai wujud nyata dari cita-cita besar dan harapan pendidikan Indonesia.
Dalam sambutannya, Prof. Anita mengutip Santo Agustinus, “Harapan memiliki dua putri yang cantik, yaitu kemarahan atas situasi yang ada dan keberanian untuk mengubahnya.” Ia mengaitkan kutipan ini dengan keadaan dunia pendidikan Indonesia yang masih menghadapi berbagai tantangan. “Jika kita tidak memiliki kemarahan terhadap situasi pendidikan yang memprihatinkan, kita tidak akan punya harapan untuk perubahan,” tegasnya. Menurutnya, keberanian UNPAR membuka FKIP dengan visi besar adalah langkah melawan arus yang patut diapresiasi.
Prof. Anita juga menyoroti komitmen UNPAR dalam memberikan beasiswa bagi mahasiswa dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), yang ia sebut sebagai langkah “nekad, tetapi luar biasa.” Ia menyatakan keyakinannya bahwa keputusan ini akan menjadi game changer bagi pendidikan, terutama di Jawa Barat, dan dapat menginspirasi daerah lain. “Saya kagum dengan beasiswa yang diberikan. Ini adalah komitmen nyata yang jarang saya lihat di tempat lain,” ujarnya dengan nada salut.
Selain itu, ia membahas pentingnya merefleksikan kembali profesi guru sebagai agen perubahan sosial. Profesi guru, katanya, harus dipandang sebagai kolaborasi yang merangsang pengetahuan baru, bukan sekadar penyampai materi. Ia mengutip hasil wawancaranya dengan sejumlah tokoh terkemuka, yang menyebut keberhasilan mereka tidak terlepas dari peran guru yang berdedikasi. “Kita semua adalah hasil dari guru-guru yang hebat,” ungkapnya, menekankan bahwa profesi ini membutuhkan dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah.
Dalam pandangan Prof. Anita, pendidikan transformatif membutuhkan lingkungan belajar yang inklusif serta kurikulum yang menghubungkan teori dan praktik. Ia memuji langkah UNPAR yang telah menerapkan formula 50-30-20 untuk menerima mahasiswa, dengan 50 persen dari mitra, 30 persen dari daerah 3T, dan 20 persen dari pendaftar umum. “Ini bukan sekadar jargon, tetapi sudah memiliki rencana aksi yang konkret,” katanya.
Lebih lanjut, Prof. Anita membahas bagaimana teknologi dapat mendukung pendidikan, tetapi dengan catatan bahwa teknologi harus digunakan secara bijaksana. Ia mengingatkan bahwa teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), hanya alat yang harus dikendalikan manusia. “Mesin dapat menyimpan banyak informasi, tetapi manusia memiliki kesadaran, dan itu tidak dapat digantikan oleh teknologi,” katanya. Ia juga berbagi pengalaman mendeteksi penggunaan AI oleh mahasiswa dalam tugas mereka, yang menurutnya menjadi bukti pentingnya kemampuan berpikir kritis.
Dalam konteks etika, ia menyoroti pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai inklusivitas, kesetaraan, dan keberlanjutan dalam pendidikan. Prof. Anita menekankan bahwa teknologi dan pendidikan harus berkontribusi pada kesejahteraan umat manusia, bukan sekadar mengejar efisiensi atau kepatuhan. “Pendidikan bukan hanya tentang menemukan jawaban yang benar, tetapi juga bertanya dengan benar,” katanya mengakhiri pidato dengan pesan filosofis.
Peluncuran FKIP UNPAR ini menjadi momentum penting bagi dunia pendidikan, tidak hanya sebagai tambahan institusi, tetapi sebagai simbol keberanian untuk memulai sesuatu yang besar demi masa depan. Prof. Anita berharap langkah ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak pihak untuk terus memprioritaskan pendidikan sebagai investasi terbesar bangsa. “Kalau mau hidup seribu tahun lagi, tanamlah manusia,” ujarnya mengutip pepatah lama, menegaskan pentingnya membangun generasi yang berdaya melalui pendidikan. (NAT-Humas UNPAR)