Pinjaman online (pinjol) kian marak terutama di masa pandemi Covid-19. Masyarakat yang tengah mengalami kesulitan perekonomian pun berupaya mencari alternatif pinjaman untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Sikap waspada pun harus ditingkatkan dalam pengajuan pinjol ini karena banyak pinjol ilegal yang tidak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Semua kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa perlu berhati-hati jangan sampai terjebak dalam dampak merugikan dari pinjol ilegal. Program Vokasi UNPAR menginisiasi Kuliah Tamu Literasi Perbankan kelas A dan B dengan tema “Hindari Pinjaman Ilegal” oleh OJK, Kamis (1/7/2021).
Kuliah tamu dibuka dengan sambutan oleh Ketua Program Studi DIII Manajemen Perusahaan UNPAR, Ibu Nina Septina, SP., MM., M.Phil yang mengapresiasi OJK yang telah bekerjasama dengan Prodi selama beberapa periode sebelumnya seperti pelatihan Financial Life Skills dengan peserta siswa SMA dan SMK di Jawa Barat.
Lilian Danil, SE,.MM., selaku dosen pengampu mata kuliah Literasi Perbankan serta moderator melaksanakan polling terlebih dahulu mengenai pengetahuan, pengalaman, dan tindakan mahasiswa tentang pinjol. Hasil polling menunjukkan bahwa 83% mengetahui pinjol, 13% mahasiswa sudah pernah mengajukan pinjol, dan 21% mahasiswa ingin mengajukan pinjol di masa yang akan datang.
Program vokasi menghadirkan narasumber Teguh Dinurahayu selaku Kepala Sub Bagian Edukasi dna Perlindungan Konsumen OJK, Kantor Regional 2 Jawa Barat.
“Ada sisi baik dan sisi buruk dari pinjaman online. Banyak kabar miring yang didengar dari pinjol. OJK berfungsi untuk mengatur dan mengawasi perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), salah satunya yaitu financial techonolgy termasuk pinjaman online,” tutur Teguh.
Teguh menuturkan bahwa tren peningkatakan fintech lending sangat tinggi terutama pada era digital dan makin marak penawaran saat kondisi pandemi Covid-19. Layanan jasa keuangan yang mempertemukan lender dengan borrower melalui aplikasi pun kian marak. Dia pun menuturkan lebih lanjut mengenai Peer to Peer Lending (P2P Lending) dimana pemberi modal (lender) akan mendapatkan keuntungan berdasarkan bunga yang dibayarkan pengguna pinjaman dalam jangka waktu tertentu kepada pengguna modal (borrower) melalui penyelenggara PSP Lending.
“Usia mayoritas borrower 70,07% 19-34 tahun dengan akumulasi pinjaman per Maret 2020 yaitu Rp 14,79 triliun,” katanya.
Teguh mengatakan bahwa Satgas Waspada Investasu (SWI) telah menemukan fintech lending illegal hingga April 2020 sebanyak 2.486 dan menghentikan 18 kegiatan usaha yang diduga tidak memiliki izin resmi dari Otoritas berwenang yang berpotensi merugikan masyarakat.
Dia pun memaparkan agar masyarakat mengenali 7 ciri pinjol ilegal. Pertama, modus pinjolkerap melakukan penawaran spam SMS. Kedua, fee sangat tinggi bisa sampai40% dari total pinjaman, Ketiga, suku bunga dan denda sangat tinggi, 1-4% per hari. Keempat, jangka waktu pelunasan sangat singkat dan tidak sesuai dengan kesepakatan.
Selanjutnya, selalu meminta kontak, foto, video yang akan digunakan untuk meneror pemimjam jika gagal bayar. Keenam, melakukan penagihan tidak beretika berupa terror, intimidasi, dan pelecehan. Terakhir, tidak memiliki layanan pengaduan dan identitas kantor yang jelas.
“Intinya pelaku fintech ilegal tidak memiliki izin resmi dari OJK, peminjaman sangat sangat mudah, enggak ada pengurus, bunga tidak jelas/tranparan, total biaya pinjaman tidak terbatas, sedangkan fintech legal dibatasi 0,05-0,8% per hari juga akses hanya sebatas lokasi, kamera, dan mikrofon, serta maksimum pengembalian (termasuk denda) 100% dari pokok pinjaman,” tutur Teguh. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR/Sumber: Rilis Prodi Manajemen Perusahaan UNPAR)