Merdeka dari Predator Seksual Kampus

Tangkapan Layar Youtube Kemendikbud RI, Senin (29/11/2021)

UNPAR.AC.ID, Bandung – Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (PT) dinilai jadi jawaban dari kegelisahan banyak pihak. Tak sekadar fokus pada upaya keadilan hingga pemulihan korban, Permen yang memuat 58 Pasal itu secara tegas mengatur definisi hingga sanksi bagi pelaku hingga kampus yang tak menjalankan mandat pendidikan tinggi.

Berkaca pada survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek terhadap pendidik dan juga tenaga kependidikan di Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta (PTN-PTS) di wilayah Barat, Tengah, dan Timur  Indonesia, sebanyak 77 persen responden menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Ironisnya, 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Kanal Lembaga Negara (2015-2020) mengungkapkan, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Sementara  Kanal Aduan Eksternal (2019), berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota mengungkapkan, 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.

“Kita sedang berada dalam situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Ada pandemi kekerasan seksual,” demikian pernyataan yang disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makarim saat sesi diskusi Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, medio November 2021 lalu.

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa memang penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, mau tak mau harus diakui tidak maksimal bahkan kerap disembunyikan dengan dalih nama baik kampus. Victim blaming pun selalu disematkan kepada korban yang berani bersuara.

Sebelum Permen PPKS diterbitkan, Indonesia belum memiliki peraturan perundangan yang dapat menangani permasalahan kekerasan seksual di kampus.

UU Perlindungan Anak misalnya hanya membantu korban kekerasan seksual berusia di bawah 18 tahun. Begitu pula UU Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) hanya membantu korban kekerasan  seksual yang terjerat sindikat perdagangan manusia.

UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pun hanya membantu korban kekerasan di dalam lingkup berumah tangga.

“Kita sudah memiliki beberapa UU tetapi ada kekosongan di dalam perguruan tinggi. Identitas yang belum terlindungi adalah usia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat sindikat perdagangan manusia, dan kampus masuk di dalam identitas ini. Kami merasa harus ada peraturan yang spesifik dan khusus untuk melindungi korban di dalam lingkungan kampus,” ucap Nadiem.

Nadiem pun mengatakan adanya keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dengan KUHP saat ini. Keterbatasan itu di antaranya, tidak dapat memfasilitasi identitas korban yang tidak diatur oleh peraturan lainnya, tidak mengenali Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dan hanya mengenali bentuk perkosaan dan pencabulan.

Padahal, sivitas akademika sangat rentan mengalami KBGO karena masuk dalam rentang usia pengguna aktif media sosial dan perkuliahan di kala pandemi Covid-19 banyak dilakukan secara online.

Kehadiran Permen PPKS ini pun menjadi sinyal positif yang memberikan jawaban terhadap permasalahan penanganan kekerasan seksual di kampus sekaligus mengisi kekosongan hukum yang selalu membuat korban bungkam.

Sasaran Permen PPKS pun dijelaskan dengan rinci, yaitu mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat  umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Analoginya, jika mahasiswa perguruan tinggi X mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi Y, maka Satgas kedua kampus dalam menangani permasalahan tersebut dapat merujuk ke Permen PPKS.

“Bukan hanya dosen ke mahasiswa, tetapi mahasiswa ke mahasiswa, dosen ke tenaga pendidik, dosen ke dosen, bahkan lintas perguruan tinggi pun ini ada. Ruang lingkupnya sangat luas, asal salah satu dari pelaku maupun korban itu ada di dalam kampus bagian dari sivitas akademika, berarti Permen PPKS ini berlaku,” ujarnya.

Area “abu-abu” juga dihilangkan karena Permen PPKS menegaskan tindakan-tindakan yang perlu dipahami sebagai kekerasan seksual. Pasal 5 ayat (1) dalam beleid menyatakan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi.

“Secara eksplisit dalam Permen ini menjelaskan apa permutasi daripada kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual misalnya daring (online) seringkali dianggap sepele, padahal dampak psikologisnya bisa sama atau lebih parah,” tutur Nadiem.

Nadiem pun menegaskan agar sanksi kepada pelaku harus berdasarkan dampak akibat perbuatannya terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan berorientasi pada pelaku. Mulai dari pemberian sanksi ringan hingga berat. Sanksi administrasi berat, yaitu pemberhentian tetap sebagai mahasiswa hingga pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau warga kampus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perguruan tinggi yang tidak melakukan PPKS pun tak lepas dari pengenaan sanksi. Kampus siap-siap dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana, hingga penurunan tingkat akreditasi.

“Jadi ada dampak riilnya kalau perguruan tinggi tidak melakukan ini. Banyak kampus-kampus yang tidak merasakan urgensi daripada keseriusan pemerintah untuk menangani kekerasan seksual,” katanya.

Jika ada laporan kekerasan seksual, lanjut dia, maka PT wajib melakukan penanganan yang meliputi empat hal, yaitu pendampingan, perlindungan, pemulihan korban, dan pengenaan sanksi administratif.

Pendampingan

  • Konseling
  • Advokasi
  • Layanan Kesehatan
  • Bantuan Hukum
  • Bimbingan Sosial dan Rohani
  • Pendamping Disabilitas

Perlindungan

  • Jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan
  • Penyediaan rumah aman
  • Korban atau saksi bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan

Pemulihan Korban

  • Melibatkan psikolog, tenaga medis, pemuka agama, dan organisasi pendamping korban
  • Masa pemulihan tidak mengurangi hak pembelajaran dan/atau kepegawaian

Pengenaan Sanksi Administratif

  • Golongan sanksi
  • Bentuk sanksi
  • Tidak mengenyampingkan peraturan lain

“Kalau tidak ada sanksi, tidak mungkin jera. Tidak mungkin perguruan tinggi tidak mementingkan atau memprioritaskan keamanan mahasiswa dan dosen dalam kampus,” ucapnya.

Kemendikbud Ristek berharap kampus-kampus berani terbuka dan menuntaskan investigasi atas laporan kekerasan seksual dan tidak menutupinya demi nama baik kampus semata.

“Kita ingin mengubah paradigma yang dulunya reputasi baik kampus itu ditentukan dari tidak adanya kasus-kasus, namun reputasi kampus yang baik adalah kampus yang akan secara transparan melakukan investigasi dan memberikan sanksi kepada pelaku-pelaku kekerasan seksual,” ujarnya.

Kemendikbud Ristek pun menargetkan 30 persen PTN-PTS  dalam periode November 2021-Februari 2022 sudah membentuk Satgas. Harapannya, Oktober 2022 sudah 100 persen PTN-PTS membentuk Satgas.

“Kami sadar bahwa tidak semua PTS itu mungkin memiliki sumberdaya yang cukup untuk melakukan itu. Oleh karena itu, pembentukan Satgas bisa dilakukan di LLDIKTI masing-masing daerah untuk bisa mendukung keterbatasan sumberdaya PTS. Kami siap membantu melalui LLDIKTI,” kata Nadiem. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)

Berita Terkini

Prodi Doktor Teknik Sipil UNPAR Terakreditasi Baik Sekali LAM Teknik

Prodi Doktor Teknik Sipil UNPAR Terakreditasi Baik Sekali LAM Teknik

UNPAR.AC.ID, Bandung – Program Studi Doktor Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) memperoleh status akreditasi “Baik Sekali” dari Lembaga Akreditasi Mandiri Program Studi Keteknikan (LAM Teknik). Hal itu tertuang dalam Keputusan Lembaga Akreditasi...

UNPAR OPEN DAY 2025 Hadir di Cirebon dan Semarang

UNPAR OPEN DAY 2025 Hadir di Cirebon dan Semarang

UNPAR.AC.ID, Bandung — Dalam upaya memperluas akses informasi pendidikan tinggi yang berkualitas dan mendekatkan diri kepada calon mahasiswa serta orang tua, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) akan menyelenggarakan UNPAR OPEN DAY 2025 di dua kota besar, yaitu...

UNPAR Buka Jalur Ujian Saringan Masuk (USM) Gelombang 2

UNPAR Buka Jalur Ujian Saringan Masuk (USM) Gelombang 2

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) membuka jalur Ujian Saringan Masuk (USM) 2 bagi calon mahasiswa baru 2024 hingga 1 Juni 2025. Melalui jalur ini, UNPAR memberikan kesempatan bagi calon mahasiswa baru untuk bisa mendapatkan benefit berupa...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Nov 30, 2021

X