UNPAR.AC.ID, Bandung – Bersama mengalami masa lalu dalam berbagai sikap-sebagaimana jarak-dinyatakan melalui imajinasi yang mungkin hadir bagi masing-masing pribadi. Berbagai realitas terdahulu kembali disajikan para seniman, pembuat film, penulis, musisi, hingga kalangan akademisi melintasi ruang dan waktu antara Bandung-Leiden dalam satu persamuhan “Menyatakan Jarak” merespons beragam arsip tempo dulu.
Dimulai sejak 8 April 2022 dan berakhir pada 29 Mei 2022 mendatang, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melalui program Integrated Arts (IA) dibawah naungan Fakultas Filsafat turut ambil bagian. Ruang tak hanya bagi pendidik muda, mahasiswa pun ikut beri suara. Mereka yang terlibat adalah Prof. Bambang Sugiharto; Fauzie Wiriadisastra; Theo Frids Hutabarat; Tri Joko Her Riadi, dan Yacobus Ari Respati. Rita Victoria Simanjuntak-mahasiswa IA UNPAR-menembangkan Kinanthie Sandoong diiringi alunan permainan piano oleh komposer Fauzie Wiriadisastra yang tampil ala Ki Hadjar Dewantara.
“Menyatakan Jarak” menjadi project Atelier KITLV bekerja sama dengan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Integrated Arts Fakultas Filsafat UNPAR, Framer Framed, dan CA3A Studio. “Menyatakan Jarak” merupakan presentasi yang menghimpun berbagai realitas yang bisa disampaikan dengan merespons, memanfaatkan, dan mengimajinasikan arsip masa lalu. Acara ini terdiri dari rangkaian bincang-bincang antara pelaku seni dan pengkaji dari Bandung, Belanda, dan tempat-tempat lain; dengan berbagai instalasi pameran, pemutaran film, musik, makanan, tur, dan lokakarya.
Theo Frids bersama Yacobus Ari dalam leaflet-nya, yang disadur Senin (11/4/2022), menuturkan bahwa kerja-kerja mereka yang terlibat dalam “Menyatakan Jarak” adalah kumpulan bahan perbincangan dan ruang interaksi untuk publik.
“(Acara ini) untuk memandang bentang lini narasi kita bersama, konstelasinya, dan alternatif-alternatif yang tak lepas dari zaman dan pandangannya. Realitas pascakolonial sering membuat kita sebagai subjek lokal justru asing kepada hal-hal yang semestinya bisa diidentifikasi sebagai dasar, latar, dan bagian-bagian diri kita dalam sejarah,” demikian tertulis.
“Menyatakan Jarak” ibarat presentasi yang dibayangkan sebagai satu situs jelajah ‘versi terbuka’. Audiens diajak menyusuri sejarah Bandung lewat bahan arsip, simbol-simbol, serta beragam ungkapan seni.
“Saya memandang arsip dari masa Hindia Belanda, terutama foto selalu sebagai ambang ke ‘dunia lain’. Kita hidup di tanah dan ruang yang sama dengan yang digambarkan di foto-foto itu. Pengalaman semacam ini akhirnya menuntut upaya berimajinasi si penglihat untuk menciptakan cerita-cerita,” ujar Theo.
Diskusi bersama pada Sabtu (9/4/2022) di Bale Tonggoh SSAS sore lalu, bersama Tri Joko Her Riadi yang juga Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id dan Ridwan Hutagalung dari Komunitas Aleut Bandung, berbincang bagaimana arsip masa lalu menjadi kekuatan, namun tak dimungkiri membawa perubahan pandangan dalam bersikap.
BandungBergerak.id, kata Tri Joko, hadir sebagai media independen untuk memotret banyak cerita tentang Bandung yang penting dan menarik untuk disajikan. Menyajikan cerita dan berita mendalam berbasis data tentang Bandung melalui disiplin riset dan kerja jurnalistik, arsip masa lampau sangat membantu dalam suguhan hal-hal unik.
“Kami mengidentifikasi kekuatan Bandung. Di antaranya sejarah setiap orang Bandung. Inilah mengapa Bandung sangat unik dan menjadi prioritas kami. Kalian bisa menemukan banyak hal di Bandung,” ucap Tri Joko yang juga dosen Penulisan Kreatif di IA UNPAR.
Mengaping Komunitas Aleut yang aktivitasnya kebanyakan dihabiskan menjelajah kota Bandung sembari menapaki kembali tiap jejak sejarah, Ridwan Hutagalung melihat bahwa arsip masa lampau tak sekadar membawa dirinya bernostalgia ke masa lalu. Lebih dari itu, ada perubahan pandangan dan sikap setelah menyusuri sudut-sudut kota Bandung dalam aspek kesejarahannya.
“Setiap melihat arsip dari gambar saya berpikir yang mana sejarah saya? Pada akhirnya arsip ternyata membuat saya mengalami banyak perubahan cara berpikir ketika melihat narasi sejarah yang selama ini sudah digeluti,” katanya.
Contohnya, beberapa foto koleksi KITLV, potret lawas keluarga Franz Wilhelm Junghuhn-botanikus asal Jerman-yang diingat sebagai penemu Kawah Putih di Gunung Patuha dan pengembangbiak kina di Jawa Barat, berfoto bersama para pekerja pribumi saat itu. Saat melihat potret tersebut, dia mempertanyakan ulang siapa sebenarnya ‘saya’ dalam sejarah Indonesia?
“Arsip yang tadinya saya korek-korek informasinya untuk mendapatkan banyak wawasan mengenai sejarah kota Bandung, ternyata malah mengubah sikap dan pandangan saya terhadap sejarah kota ini sendiri,” tutur Ridwan. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)