UNPAR.AC.ID, Bandung – Kencangnya literasi digital sejalan dengan gaungan revolusi industri terkini, rasanya tak perlu dinafikan apalagi dinilai sebagai perubahan peradaban. Munculnya pengimbang dalam balut kebudayaan rasanya perlu juga disuarakan seperti gamifikasi seni Reak yang dikenalkan para dosen Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).
Berdinamika dengan nilai budaya yang disajikan secara menarik dan menyenangkan digagas oleh tim pengabdian masyarakat (abdimas) UNPAR yang diinisiasi oleh Kristining Seva, S.S., M.Pd.; Willfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd.; Topik Mulyana S.S., M.Hum.; Tri Joko Her Riadi, S.S., M.A. Berkolaborasi dengan Sanggar Seni Reak Tibelat yang dipimpin Abah Enjoem, gamifikasi seni Reak pun muncul ke permukaan agar bisa dinikmati semua kalangan.
Kristining Seva dalam pemaparannya yang dikutip pada, Selasa (14/6/2022) menuturkan bahwa gamifikasi seni reak tentunya untuk memperkuat eksistensi seni Reak itu sendiri. Reak yang merupakan pertunjukan seni masyarakat Sunda perlu dikenalkan dengan cara yang mudah dimengerti. Harapannya tentu saja gamifikasi menjadi wadah edukasi penguatan karakter dan budi pekerti.
Dalam kegiatan Pelatihan Pemandu Wisata bertema “Mengenal Warisan Budaya Tak Benda Kota Bandung”, khususnya Tari Merak dan Reak, yang berlangsung pada 6-8 Juni 2022 lalu, tim dosen abdimas UNPAR berkesempatan mengenalkan gamifikasi tersebut kepada lebih dari 40 orang yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Adapun pelatihan tersebut diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung.
Gamifikasi yang lebih dikenal dengan sebutan “Kaulinan Reak” sendiri terdiri dari berbagai elemen. Misalnya saja, papan permainan, kartu, dan terbaru kamus setebal 54 halaman.
Tim dosen menyadari bahwa salah satu tuntutan Tridarma ‘Kampus Merdeka’ adalah menjadi dosen penggerak dalam berbagai kegiatan antara lain mendukung, menjaga, merawat, dan melestarikan budaya lokal. Salah satunya adalah dengan terlibat dalam komunitas lokal dan mengajak mahasiswa untuk melakukan praktik mengajar bagi komunitas budaya lokal dalam mendukung soft skill melalui pengalaman socio-entrepreneur.
Sejumlah properti seni digambarkan dan dijelaskan sedemikian rupa dalam kamus agar mudah dicerna. Sedikitnya, ada 66 properti dalam seni Reak yang didesain dalam beragam corak sebagaimana gambaran nyata . Di antaranya angklung, bangbarongan, dog-dog, karinding, kuda lumping, tarawangsa, hingga ornamen sesajen yang digunakan. Dalam kamus juga digambarkan berbagai tokoh & aksi yang terlibat. Misalnya saja juru silat, malim, kasurupan, sinden, hingga juru ibing.
Dalam kamus dijelaskan, dog-dog yang digunakan di pertunjukan Reak terdiri dari berbagai jenis. Mulai dari dog-dog tilingtit, dog-dog tong, dog-dog grung, dog-dog dublag, dan dog-dog bedug.
Dog-dog merupakan alat musik perkusi khas Sunda yang terbuat dari kayu dan kulit sapi. Dimainkan dengan cara dipukul menggunakan panakol (alat pemukul). Rangkaian dog-dog memiliki filosofi tentang proses seorang manusia menjadi manusia unggul.
Dog-dog tilingtit menjadi dog-dog pertama sekaligus terkecil dalam 5 rangkaian dog-dog yang mengandung filosofi saat kecil harus rajin belajar. Sementara dog-dog bedug menjadi rangkaian terakhir dan terbesar. Meski terbesar, Intensitas pemukulannya yang paling rendah. Dog-dog ini mengandung filosofi, jika sudah tua harus bersikap arif dan bijaksana. Menjadi penasihat dan tempat bertanya bagi yang muda-muda agar menjalani hidup dengan baik.
“Supaya kita tahu makanya dibuat kamus Kaulinan Reak ini. Kamusnya dibuat semenarik mungkin, karena targetnya anak-anak usia 7-15 tahun. Semua yang ada di dalam kamus merupakan potret nyata alat-alat yang digunakan dalam kesenian Reak,” tutur Seva.
Willfridus Demetrius Siga pun menuturkan, kolaborasi antara pihak pemerintah, tokoh budaya, hingga akademisi menjadi penting mengingat derasnya perkembangan teknologi. Menurut dia, nilai budaya sudah sepatutnya menjadi pegangan tanpa perlu cemas akan arus revolusi industri.
“Atas dasar itu kemudian kami dari tim abdimas UNPAR bersama Sanggar Reak Tibelat yang dipimpin oleh Abah Enjoem mencoba menciptakan gamifikasi seni Reak ini. Prinsip yang kami pegang adalah bahwa nilai-nilai kebudayaan harus melekat kepada generasi muda, secara khusus untuk penguatan karakter dan juga budi pekerti.
Lebih jauh, pihaknya berharap kolaborasi yang sudah terjalin bersama pemerintah melalui Disbudpar Kota Bandung dan Sanggar Reak Tibelat ini bisa berjalan kontinu. Baik kolaborasi lanjutan tentang implementasi konsep gamifikasi seni Reak maupun kerja sama dengan HPI untuk mengenalkan warisan budaya tak benda. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)