UNPAR.AC.ID, Bandung – Sebagaimana disampaikan oleh para ahli, kebijakan fiskal akan menjadi tulang punggung dan urat nadi dari suatu negara. Tanpa penerimaan pajak yang sustain, suatu negara umumnya tidak akan bisa bertahan lama. Menilik kenyataan tersebut, menjadi penting bagi suatu negara untuk memastikan penerimaan pajak yang optimal dan bisa menjadi sumber bagi pembangunan.
“Mengapa harus pajak?” Pertanyaan ini sering kali dilontarkan sepanjang peradaban manusia. Banyak orang berpendapat dan mengajukan alternatif lain yakni pengoptimalan Sumber Daya Alam (SDA) ataupun filantropi. Nyatanya, sejarah telah menunjukkan bahwa eksploitasi alam bersifat ekstraktif dan membuat negara tidak memiliki kendali yang kuat dalam sisi demokrasi. Hal serupa terjadi untuk filantropi di mana ada resiko mengebawahkan sebagian masyarakat yang tidak mampu. Keduanya tidak mampu menjadi prasyarat yang baik untuk demokrasi.
Merespons hal tersebut, Yustinus Prastowo, S.E., M.A., M.Hum selaku staf khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dalam rangkaian acara Extension Course of Culture and Religion 2023 (ECCR) dengan sub-tema “Menakar Nilai Ekonomis Bantuan Kemanusiaan Selama Situasi Tanggap Darurat” mengajak untuk menilik lebih jauh peran krusial Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) sebagai pelindung masyarakat.
Yustinus menjelaskan bahwa APBN memiliki 3 pilar yakni private sector, masyarakat sipil, dan pemerintah. Private sector mendapatkan insentif fasilitas dari pemerintah untuk tumbuh dan berkembang hingga bisa membayar pajak. Pajak kemudian akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk belanja publik. Selain itu, masyarakat juga bisa mengontrol pemerintah dalam konteks negara demokrasi.
“Ini yang terus kami upayakan untuk diperkuat. Maka kita melakukan beberapa reform yang harapannya dapat memperkuat pilar-pilar ini,” tuturnya.
Secara singkat, ia menceritakan bahwa Indonesia sendiri dalam tiga dekade terakhir melewati tiga episode krisis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Krisis tersebut meliputi krisis finansial 1997-1998, krisis keuangan global tahun 2008-2009, dan interupsi pandemi Covid-19. Pandemi memiliki dampak nyata terhadap sosial, kemanusiaan, dan ekonomi. Banyak negara harus mengalami defisit utang bertambah dan tidak sedikit yang harus melakukan restrukturisasi.
Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia sendiri mengalami suatu dilema. Indonesia berada pada situasi yang tidak ideal dimana covid menginterupsi mobilitas yang menyebabkan ekonomi menurun. Jika ekonomi menurun, penerimaan negara juga secara otomatis ikut menurun. Padahal, Indonesia tentunya membutuhkan dana yang lebih besar untuk menanggulangi dampak kemanusiaan khususnya kesehatan dan ekonomi.
“Kita masih ingat belum lama kita menghadapi situasi yang sangat mengerikan, mencekam dan membuat sebagian dari kita juga putus asa,” tutur dirinya.
Di sisi lain, terjadi ketegangan di masyarakat untuk memilih ekonomi atau kesehatan. Yustinus menjelaskan bahwa sebagian besar menyatakan menyelamatkan nyawa memang menjadi prioritas, namun jangan sampai justru masyarakat terkapar karena ekonomi. Di sisi lain, studi yang dilakukan oleh perusahaan komunikasi AS Edelman mengungkap bahwa 67% dari 13.200 lebih orang setuju bahwa prioritas tertinggi pemerintah adalah menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa meskipun ekonomi akan pulih lebih lambat.
“Kita tahu banyak orang pro-kontra terhadap pilihan ini tapi Indonesia bisa keluar sebagai negara yang relatif bisa menangani covid dengan cukup baik,”
Dirinya mengungkap bahwa kesehatan dan ekonomi bukanlah suatu trade off melainkan tegangan. Tidak mungkin untuk Indonesia mengorbankan kesehatan hanya untuk ekonomi, dan juga sebaliknya. Hal ini menjadi alasan bahwa bantuan sosial menjadi konteks. Dirinya juga menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan dalam APBN yakni anggaran perlindungan sosial mengalami tren kenaikan yang signifikan selama pandemi Covid-19. Berdasarkan portal data APBN, terjadi suatu lompatan di tahun 2020 di mana anggaran perlindungan sosial meningkat hampir 200 triliun. Dirinya pun menyatakan bahwa meningkatnya belanja publik merupakan momen kembalinya negara.
“Kita juga bisa mengatakan salah satu berkah dari wabah ini adalah meningkatnya belanja publik yang juga bisa dianggap sebagai momen kembalinya negara dalam konteks sistem ekonomi,” ujarnya.
Indonesia sendiri mengambil langkah cepat dan terukur dari awal pandemi. APBN berfungsi sebagai shock absorber dan bergerak sangat dinamis guna mendukung penanganan Covid-19 dari pemulihan ekonomi dan antisipatif terhadap risiko global. Pemerintah juga terus menjaga kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan perlindungan sosial.
“Uang pajak yang kita bayar hadir di masyarakat melalui belanja-belanja publik seperti subsidi LPG 3 kilo, bantuan sosial tunai, diskon listrik, beasiswa LPDP, termasuk biaya BPJS untuk 96 juta jiwa itu berkat uang pajak yang kita bayar,” tuturnya.
Sekadar informasi, ECCR 2023 dengan tema “Saat Krisis: Saat Pamer Kepentingan?” mencoba memberikan wacana dan pengetahuan baru atas krisis yang terjadi serta mencoba mencari jawaban atas peran masyarakat di situasi kritis. Masyarakat diajak untuk kembali menegaskan kondisi dasar perihal hak hidup yang bermartabat, memperoleh bantuan kemanusiaan, perlindungan dan keamanan, serta lainnya. Acara ini sendiri terdiri dari 8 subtema yang diselenggarakan melalui Zoom dari 6 Maret 2023 hingga 8 Mei mendatang.
Informasi lebih lanjut dan pendaftaran dapat diakses melalui http://bit.ly/ECCR2023 (KTH-Humkoler UNPAR)