UNPAR.AC.ID, Bandung – Berbicara mengenai kehidupan di tingkat infrahuman/binatang, hukum alam menggambarkan bahwa kehidupan baru berjalan jika hewan saling memakan. Bahaya untuk dimakan oleh predator yang lebih tinggi akan selalu mengancam dari menit ke menit. Siklus kehidupan tersebut dapat dikatakan serupa dengan perang dan pembunuhan.
Berbicara tentang perang, peristiwa tersebut justru berbeda dan memiliki makna yang lebih abstrak dan seringkali dilihat sebagai bencana. Namun, Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto selaku Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF UNPAR) berpendapat bahwa ‘bencana’ tersebut terkadang dimuliakan dan bahkan dirayakan. Selain itu, pecahnya peristiwa perang dunia 1 dan 2 membuat seakan-akan upaya IPTEK dalam dunia pengetahuan dan teknologi justru berujung dengan melahirkan bencana besar.
Dalam rangkaian acara Extension Course Filsafat (ECF) 2022 dengan tema “Philosophy of War: Relationship between War and Human Nature”, ia memaparkan sisi filosofis dari perang yang aktual di kehidupan manusia. Acara tersebut digelar secara hybrid di Fakultas Filsafat UNPAR pada Kamis (22/9/2022) lalu.

Prof. Bambang Sugiharto mengungkap bahwa perang adalah suatu yang kompleks karena mengandung banyak sisi, unsur, definisi, dan varian. Perang sendiri dapat dilihat dari dua sisi yakni positif atau negatif yang bergantung pada dampak, frekuensi, skala, trend perkembangan, dan motivasinya.
Pada dasarnya, dampak yang dihasilkan oleh perang ialah dampak negatif seperti rusaknya tatanan sosial ekonomi, lahirnya trauma jangka panjang, malnutrisi pada anak-anak, disabilitas, dan juga timbulnya berbagai penyakit.
Di sisi lain, Bambang Sugiharto menyatakan bahwa perang dapat membuat orang menyadari nilai yang lebih ideal seperti pentingnya kehormatan, penghargaan atas martabat manusia/komunitas, indahnya harmoni dan damai serta munculnya kemampuan resiliensi.
“Dari yang negatif kita melihat lebih tajam ke positifnya,” ucapnya
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perang bukanlah suatu kodrati melainkan sesuatu yang terjadi secara alami. Mengutip pernyataan filsuf Kant, ia menyatakan bahwa tendensi perang telah tertanam dalam kodrat manusia dan perlu dianggap mulia. Hal tersebut dikarenakan perang mendorong manusia ke arah nilai luhur seperti perdamaian, menjaga martabat, dan juga tidak mementingkan diri sendiri.
“Tendensi berperang itu perlu dan juga perlu dianggap mulia. Semua nilai itu akan baru terasa melalui pengalaman perang,” ujarnya.
Ia juga kembali mengutip pernyataan filsuf bernama Sartre yang ia anggap menarik. Sartre menyatakan bahwa tindakan berperang adalah pilihan bebas manusia sendiri. Dari gagasan filsuf tersebut, Bambang menyimpulkan bahwa perang sendiri berasal dari otak manusia. Gagasan tersebut serupa dengan sisi biologi di mana perang muncul karena insting terutama dalam keadaan terancam.
“Justru otak kita yang tidak diprogram oleh alam menyebabkan perang dan bahkan memuliakan kehancuran/bencana,” tuturnya.
Bambang pun menyimpulkan bahwa secara alamiah, kodrat manusia mengandung segala kecenderungan kontradiktif, positif ataupun negatif. Selain itu, kodrat bagi manusia ialah sesuatu yang diyakini oleh dirinya sendiri. Maka dari itu, perang merupakan persoalan belief.
“Jadi, semuanya depends on your belief. Kodrat itu apa yang Anda percaya sebagai kodrat Anda juga” ujarnya. (KTH-Humkoler UNPAR)