UNPAR.AC.ID, Bandung – Ketegangan yang terjadi antara objektivitas dan historisitas merupakan akar dari persoalan yang dialami oleh Bernard Lonergan saat berusaha memasukkan unsur sejarah ke dalam teologis. Lonergan berusaha melihat upaya yang terlibat dari permasalahan Gereja Katolik yang semakin terhempas akibat sekularisme yang menjadikan teologi semakin terpisah dari sejarah dan khalayak dunia.
Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. Thomas Kristiatmo, S.S., M.Hum., STL. dalam Oratio Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF UNPAR) yang dilaksanakan pada Sabtu, (25/2/2023) lalu di Kampus Filsafat UNPAR, Jalan Nias, Kota Bandung.
Thomas mengatakan bahwa yang dibutuhkan bukan hanya sekedar summa teologia saja. Lebih dari itu, summa sociologia adalah hal yang diperlukan untuk masyarakat dalam berteologi.
“Yang dibutuhkan itu bukan saja summa teologia tapi yang dibutuhkan untuk masyarakat atau berteologi adalah summa sociologia,” tuturnya.
Dia mengatakan bahwa kebenaran dalam berfilsafat akan dibuktikan ketika seseorang membuat judgement.
“Kebenaran hanya didapat ketika membuat judgement dan menerima tanggung jawab untuk membuat judgement, tidak membiarkan mengambang,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan 4 level kesadaran menurut Bernard Lonergan yaitu :
- Tingkat empiris: Kita semua mengalami itu sejak lahir maka dunia yang ada disana disebut common sense. Level yang tidak pernah hilang dan tidak ada pembeda.
- Tingkat intelektual: Berusaha mengerti, mulai mengumpulkan teori.
- Tingkat rasional: Tahapan dimana kesimpulannya hanya 2 yaitu ini/bukan ini, dari itu orang membuat keputusan yang bertanggung jawab.
- Tingkat responsible: Membuat keputusan yang dijalankan.
Dia juga menjelaskan untuk menjalankan tahapan diatas, kita bisa saja mengalami bias dramatik, bias individual, bias grup, dan bias general. Thomas juga mengatakan, jika kita hendak mempelajari Lonergan, gagasan Thomist harus dipahami terlebih dahulu sebagai latar belakang.
“Kalau orang hendak mempelajari Lonergan, gagasan Thomist harus dimengerti terlebih dahulu sebagai background. Tanpa ini orang tak akan pernah bisa menerapkan metode itu,” tutur Thomas. (JES-Humkoler UNPAR)