Menelisik Relasi Sains dan Agama bagi Peradaban Manusia

UNPAR.AC.ID, Bandung – Mengkaji ulang makna religiusitas sebagai sistem pengetahuan maupun cara menghayati (being religious) dalam kehidupan serta menggairahkan semangat beragama menuju kesejahteraan bersama menjadi hal yang dibahas dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan Extension Course of Culture and Religion (ECCR) pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF UNPAR), Sabtu (19/6/2021). Mengangkat topik “Experiencing Religion as Way of Knowing and Being”, webinar yang menghadirkan tiga pembicara itu dibagi dalam tiga sesi dengan tiga sub-topik berbeda dan mengupas relasi sains dan agama bagi peradaban manusia.

Sesi pertama mengangkat sub-topik Religion in the Midst of Uncertainty, oleh Prof. Dr. Sumanto Al- Qurtubi selaku Associate Professor of Anthropology in the Department of Global & Social Studies, King Fahd University of Petroleum & Minerals, Saudi Arabia. Sesi kedua, Religion as a Way of Knowing the Supreme Being, oleh Prof. Dr. Bambang Sugiharto selaku Guru Besar FF UNPAR, dan sesi terakhir menghadirkan Prof. Dr. KH. Abdul Syakur Yasin M.A dengan sub-topik Religion as an Expression of Being Religious.

Rektor UNPAR Mangadar Situmorang, Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh jajaran FF dan kolega FF UNPAR atas inisiasi webinar tersebut. Menurut Rektor, topik yang diusung sangat penting karena persoalan tersebut acapkali ditarik dalam perbincangan sekitar. Tentu menjadi tantangan tersendiri bagaimana pengalaman agama, beragama, atau hidup beragama itu menjadi relasi-relasi sosial yang nyata maupun juga relasi interpersonal yang mendamaikan.

“Itu harapan kita, bahwa menjadi orang beragama barangkali betul-betul menjadi pembawa damai, sukacita, dan kegembiraan untuk semua orang,” ucap Rektor.

Persoalan Klasik

Dalam pemaparannya dengan fokus sub-topik Religion in the Midst of Uncertainty, Prof. Dr. Sumanto Al- Qurtubi mengungkapkan bahwa uncertainty itu merupakan persoalan klasik dan faktor penyebabnya bisa karena politik, dalam hal ini lebih spesifik ke struggle of power; human crimes; kontes ideologi; konflik antarkelompok; sains dan teknologi.

“Persoalan uncertainty itu sebetulnya bukan persoalan yang baru kita hadapi sekarang ini. Bahkan agama sendiri sebetulnya ada sebuah produk dari uncertainty itu. Kemudian uncertainty karena pertumbuhan sains dan teknologi, Munculnya sains dan teknologi sebetulnya bukan berdampak pada agama saja, tetapi juga berbagai macam sektor,” ujarnya.

Meski begitu, baik sains maupun agama, keduanya saling membutuhkan. Agama membutuhkan sains untuk berkembang, sementara sains membutuhkan agama sebagai kontrol. Core value yang mesti diusung oleh kedua pilar ini adalah kemanusiaan, demi memberikan dampak positif bagi perkembangan peradaban manusia.

“Gunakan sains dan agama itu secara bijak adalah jalan tengah yang harus kita lakukan. Ekstremisme akan membawa kehancuran, kemusnahan, baik orang yang ekstrem terhadap sekularisme, sains, maupun agama. JIka semua hal dilakukan secara ekstrem akan berdampak pada human crimes. Kuncinya menurut saya adalah bagaimana menggunakan sains dan agama itu secara wajar dan seimbang,” kata dia.

Lokomotif untuk perkembangan peradaban adalah pendidikan, oleh karena itu metode pendidikan agama apapun itu agamanya, tidak cukup dengan hafalan. Memfasilitasi pemikiran kritis itulah yang akan melahirkan peradaban yang transformatif dan juga mengangkat keluhuran martabat manusia itu sendiri.

“Intinya adalah bagaimana menjadikan humanity itu lokomotif untuk menggerakan peradaban. Baik sains maupun religion yang kehilangan humanity, maka itu akan digunakan sebagai human crimes,” tuturnya.

Inti Realitas

Sesi selanjutnya, Prof. Dr. Bambang Sugiharto membahas klaim tentang ‘Tuhan’ itu sendiri yang selalu berada antara kepastian dan ketidakpastian. Dalam dunia teologi tradisi Kristiani, lanjut dia, ada yang meyakini bahwa Sang Inti itu tidak bisa dipahami sepenuhnya. Belum lagi, dalam kehidupan beragama juga sudah dibayangi kelompok yang tidak dengan mudah menerima saja apa yang dikatakan orang mengenai ‘Tuhan’, bahkan kelompok yang tidak mengakui adanya ‘Tuhan’.

“Sangat dominan adalah sains. Sains pun bicara hakikat realitas dan disitu banyak yang menemukan inti realitas tetapi tidak berkaitan dengan ‘Tuhan’. Mereka punya terminologi sendiri, cara berpikir sendiri,” ucapnya.

Namun faktanya, pemahaman dari setiap jalur berbeda. Agama menyebut ‘Tuhan’ adalah satu, beberapa, satu sekaligus beberapa, tak terungkapkan/tak dapat dihitung, personal dan non-personal.

Sementara filsafat menilai Tuhan adalah penyebab/penggerak pertama (Plato, Aristoteles, Aquinas); sumber seluruh realitas, impersonal (Plotinos), prinsip imanen semesta (Bruno); totalitas realitas, tidak transenden, bukan personal (Spinoza);  sumber segala penyebab dan kemungkinan (Leibniz); sumber persepsi (Barkeley); tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa disangkal tapi diperlukan (Kant); kesadaran yang berkembang; esensi rasionalitas (Hegel); sesuatu yg ‘dibunuh’ oleh modernisme (Nietzsche); makna ‘Tuhan’ terikat pada komunitas penggunanya (Wittgenstein), dan sebagainya.

Lain lagi cara sains menjabarkan ‘Tuhan’ yang dilihat sebagai proyeksi angan-angan belaka (Freud, Feuerbach, Marx, Dawkins, Dennet, etc); insinyur/desainer semesta (Newton); budi/roh/energi semesta (James Jeans, Planck, Henry Stapp, William James, Myers, Kelly, Beauregard, etc), dan sebagainya.

“Faktanya pemahaman dari setiap jalur itu ternyata bisa sangat berbeda. Makna ‘Tuhan’ itu akhirnya terikat pada makna komunitas penggunanya. karena setiap komunitas membentuk pola hidupnya sendiri dan ‘Tuhan’ punya maknanya sendiri,” ujarnya.

Akar masalah soal agama, lanjut dia, adalah agama-agama memonopoli pengetahuan, masing-masing yakin paling benar. Sulit menerima keragaman pandangan dan cenderung tertutup.

Eksesnya, agama menjadi akar sikap diskriminatif;  perbedaan dianggap kesesatan, kesalahan, ancaman, dan lebih rendah; agama menjadi sdlalu rentan kekerasan (inkuisisi, persekusi, fatwa-mati, sweeping, dan sebagainya); agama sulit untuk konsisten, mengandung berbagai kontradiksi dalam dirinya sendiri; dan akibatnya agama justru kehilangan kehormatan, martabat, dan akhirnya ditinggalkan oleh umat.

“Di dalam setiap agama itu sendiri sebetulnya ada mazhab, ada beragam pandangan, pengetahuan, tafsiran mengenai apa yang diyakininya itu. Tapi satu hal yang mau saya tekankan adalah bahwa akibat monopoli dan perasaan paling benar ini, ada ekses yang dialami semua agama. Inkonsistensi dalam agama itu justru akan membuat agama kehilangan wibawa dan ditinggalkan oleh umat,” katanya.

Abad 21 ini, lanjut dia, agama dalam posisi dikepung oleh berbagai tantangan yang cukup serius. Pertama, ditantang oleh kaum beriman kritis  (internal agama itu sendiri), di sisi lain agama tidak bisa menutup mata terhadap gelombang ateisme. Lalu dikepung fundamentalisme dan visi spiritual baru.

Lebih lanjut, untuk menghindari berbagai ekses yang merusak ke luar dan ke dalam dirinya sendiri, agama-agama perlu melakukan dua hal. Pertama, tidak hanya bersikap defensif, melainkan reflektif dan terbuka bagi dinamika pergulatan batin manusia dalam memaknai hidupnya seperti pada filsafat, sains, seni, dan sastra; pada pemikiran kritis dari para intelegensia masing-masing agama; juga pada visi-visi spiritual baru yang bermunculan hari ini.

Kemudian keluar dari zona ‘Narrow Religion’ menuju ‘Deep Religion’ (Ken Wilber), dengan menggeser pusat gravitasi dari perkara ‘kebenaran’ ke ‘keindahan’; dari ‘dogma’ ke ‘nilai universal’ (Kohlberg, Fowler, Mark C. Taylor, Ken Wilber, Dannah Zohar, Ian Marshall, John Caputo, dll)

Manifestasi Iman

Sesi terakhir, Prof. Dr. KH. Abdul Syakur Yasin M.A mengatakan bahwa ada atau tidaknya Tuhan itu kembali kepada keimanan masing-masing. Hingga kini, tidak ada yang bisa membuktikan keberadaan Tuhan, termasuk mereka yang tidak percaya Tuhan, tidak bisa membuktikan ketiadaan Tuhan.

Bahkan dalam satu agama sendiri, mungkin variasi Tuhan berbeda-beda dalam pikiran manusia satu dengan lainnya. Untuk melihat Ketuhanan yang diyakini itu, bisa dilihat dari manifestasi keimanan dalam bentuk perilaku sehari-hari dan bagaimana membangun hubungan kemanusiaan denagn yang lainnya.

“Itu sudah masuk wilayah keimanan masing-masing, yang penting ber-Tuhan atau tidak, bisa kita lihat dari ekspresi kehidupan sehari-hari,” tutur ulama yang biasa dikenal dengan sapaan Buya Syakur itu.

Buya Syakur mengungkapkan bahwa agama adalah ekspresi iman seseorang yang digambarkan melalui tindakan dalam konteks komunitas baik sosial, seni, budaya, dan keseluruhan demi kebaikan kehidupan bersama. Kolaborasi bersama para intelektual diperlukan guna menyelesaikan persoalan bangsa ini secara bersama.

“Siapa nama Tuhan-mu tidak ada urusan, tetapi buktikan dan ekspresikan dalam perilakumu sehari-hari,” ucap Buya Syakur yang juga merupakan Pengurus Pondok Pesantren di Cadangpinggan Kecamatan Sukagumiwang, Kabaupaten Indramayu itu.

Sebagai penutup, Pastor Onesius Otenieli Daeli, SS., M.Hum., Ph.D menyampaikan bahwa pendidikan pluralism menjadi jembatan dalam hidup, Serta pendidikan agama menjadi jembatan untuk membawa orang kepada kehidupan yang lebih baik (humanitas).

“Agama tentu saja masih relevan untuk dunia saat ini, dengan syarat berani terbuka kepada berbagai macam cara berpikir. Tadi kita dengarkan dari Buya Syakur, orang yang merasa paling benar sendiri atau bahasa Pak Bambang tadi memonopoli kebenaran, itu pasti senantiasa akan bertengkar dengan orang lain. Agama mestinya menjadi pintu masuk bagi kita untuk mengerti orang lain,” ujarnya. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)

Berita Terkini

Masa Depan Indonesia-AS

Masa Depan Indonesia-AS

UNPAR.AC.ID, Bandung - Berakhirnya proses Pemilihan Presiden (pilpres) Amerika Serikat 2024 memberikan hasil sementara Pasangan Donald Trump-James Vance mengungguli pasangan Kamala Harris-Tim Walz, walaupun hasil resmi akan diumumkan oleh Kongres Amerika Serikat pada...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Jun 19, 2021

X