UNPAR.AC.ID, Bandung – Pada dasarnya, manusia memiliki suatu naluri spiritualitas. Termasuk masyarakat Indonesia yang dapat dikatakan sebagai masyarakat dengan tingkat spiritual yang tinggi. Tingkat spiritualitas tersebut dapat dilihat dari situs-situs yang berdiri sebagai bentuk peninggalan.
Kekuatan spiritualitas masyarakat Indonesia itu muncul sejak zaman nenek moyang sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang melindungi suatu kehidupan. Yang kemudian menjadi suatu proses dalam menemukan konsep ketuhanan dan keilahian hingga dibubuhkan pada sila yang terkandung pada Pancasila.
Hal tersebut dikemukakan oleh Juwita Jati Kusumah Putri dari Paseban Cigugur dalam Seminar Nasional Pancasila dalam Narasi Agama-agama dan Kepercayaan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan (PSP UNPAR) pada Rabu (29/6/2022) lalu. Acara diselenggarakan secara hybrid di Auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) UNPAR dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Menurut Juwita, konsep pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa tidak perlu diperdebatkan kembali dalam eksistensinya pada masa kini.
“Berarti kita semua masyarakat Indonesia itu harus mengakui bahwa Tuhan itu satu. Satu menyatu, artinya Tuhan itu kita imani. Tunggal itu bukan satu, tapi tunggal itu manunggal dalam kesadaran kita,” tutur Juwita.
Dia juga mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa kepulauan, bukan bangsa benua.
“Bangsa yang sudah terbiasa melihat perbedaan. Antar suku, antar bahasa, antar keyakinan, antar adat. Dan kita bisa hidup saling menghargai dan bergotong-royong. Kerja sama tersebut bisa terjadi karena adanya toleransi. Toleransi itu karena adanya kemanusiaan, adanya persatuan, adanya saling membutuhkan,” tutur Juwita.
Bagaimanapun, perkembangan zaman kini telah memunculkan banyak tantangan bagi Pancasila khususnya sila ke satu, kata Juwita. Nilai-nilai yang datang dari luar berupaya merubah nilai kemanusiaan dan kebangsaan masyarakat Indonesia.
“Seringkali agama dipandang sebagai sebuah selera, bukan untuk membenahi salira. Padahal agama itu adalah tuntunan, bukan tuntutan,” tutur Juwita.
Lebih lanjut, dalam kaitannya antara kepercayaan dan penghayatan masyarakat adat, Juwita mengatakan jika masyarakat adat merupakan benteng terakhir pertahanan eksistensi Indonesia. Sepatutnya dijaga karena menjadi suatu akar bangsa, yang apabila dirusak, maka pertumbuhan Indonesia tidak akan tumbuh dengan baik.
“Tanpa ada yang menjaga sunda, tanpa ada yang menjaga batak, tanpa ada yang menjaga jawa, itu bukan lagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kalau satu dari kesukuan kita hilang, maka Indonesia akan hilang,” ucap Juwita.
Sementara itu, dosen Fakultas Filsafat (FF UNPAR) Andreas Doweng Bolo, S.S., M.Hum. mengatakan, dengan modernisasi teknologi canggih, masyarakat Indonesia digempur oleh banjir informasi. Termasuk dalam hal agama.
“Kalau kita digempur oleh informasi, cara pandang kita pun harus lebih luas. Kalau enggak, kita terjebak dalam kebencian,” tutur Andreas.
Andreas juga mengatakan, ruang publik Indonesia dalam kesehariannya diisi oleh agama. Maka, menurutnya perlu adanya pergeseran paradigma.
“Dari intratekstual, hanya membaca teks dan menafsirkan begitu saja, tetapi ke intertekstual, jadi kita juga keluar bahwa teks itu mau bicara apa, konteksnya apa, dan apa maknanya untuk kita hari ini,” kata Andreas.
Pada acara tersebut, hadir pula dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Perbandingan Mazhab dan Hukum se-Indonesia Dr. Ayi Yunus Rusyana. M.Ag., serta Dr. H. Ahmad Zaki Mubarok selaku Asisten Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Agama Islam Cipasung.
Sebagai bentuk melawan segala tantangan-tantangan yang bisa merusak kebhinekaan dan persatuan bangsa, PSP UNPAR pun membuat sebuah karya film dokumenter bertajuk Uniqueness of Religions yang diputar pada kesempatan tersebut. (KTH/JES/RBF-Humkoler UNPAR)