UNPAR.AC.ID, Bandung – Ingar-bingar diberlakukannya pembelajaran tatap muka (PTM) tak lepas dari pro kontra. Riuh ihwal hilangnya kesempatan belajar atau ramai populer disebut sebagai learning loss menjadi pembicaraan di semua kalangan. Namun, pembelajaran tatap maya pun dinilai hanya sebatas transfer ilmu dan dikhawatirkan kebiasaan baru tersebut lambat laun menyebabkan masalah di level pengembangan karakter.
Bukan perkara transfer ilmu semata, cara mengajar yang sekadar memindahkan atau mengadopsi semasa tatap muka yang sepenuhnya dilakukan selama pembelajaran online juga disebut jadi faktor pemicu kurang efektifnya kelas maya. Belum lagi kesulitan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran daring, ditambah tak semua pengajar mudah melakukan adaptasi digital.
Tak dimungkiri, berbagai permasalahan dan kekhawatiran selama masa pagebluk Covid-19 terutama soal pendidikan dirasa wajar. Walakin, rasanya kita perlu menelisik lebih jauh, menimbang segala kemungkinan, serta melihat tantangan serta peluang antara pembelajaran tatap maya dan muka.
Kepala Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH) UNPAR RD. Yohanes Driyanto, Drs., LJC. mengatakan, baik pembelajaran dengan skema tatap maya maupun muka tetap tujuan pencapaiannya sama, yaitu knowledge, skill, dan attitude yang berkorelasi dengan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Keseimbangan antara ketiga hal itulah yang disebut sebagai berkarakter.
“Sebenarnya pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mencapai ketiga hal itu. Sehingga (manusia) tumbuh, berkembang, dan harmonis serta kalau bisa ya maksimal,” ujar Romo Dri, Rabu (22/9/2021).
Dalam pembelajaran tatap maya, mewujudkan tiga pencapaian tersebut memiliki tantangannya sendiri. Romo Dri menuturkan untuk knowledge, paling tidak, lebih mudah dan bisa dicapai lewat daring. Dengan syarat, baik mahasiswa maupun dosen sama-sama menjalankan tugasnya.
“Kemudian skill. Skill itu ada yang namanya soft skill dan hard skill. Hard skill mungkin dapat, tetapi soft skill istilahnya harus dibentuk lewat interaksi. Ketika interaksi itu sangat terbatas, dibatasi hanya secara virtual, ya hasilnya tidak terlalu maksimal,” ucapnya.
Terakhir adalah attitude. Attitude dalam hal ini berkaitan dengan empat kompetensi atau lebih dikenal dengan ‘4C’, yaitu Critical Thinking, Communication, Collaboration, dan Creativity. Romo Dri mengatakan, dalam pembelajaran daring empat kompetensi tersebut dinilai takkan berjalan maksimal.
“Nanti yang akan sangat terganggu ketika ke tingkat berikutnya, Communication. Komunikasi ini mengandalkan orang punya kepercayaan diri yang sehat dan cukup. Kemampuan komunikasi ini adalah kemampuan untuk merumuskan sesuatu, sharing ide, opini, kemauan untuk beradu argumentasi. Collaboration pun akan terganggu jika seandainya soft skill tidak dibangun. Ketika kuliah itu semuanya daring, yang baru bisa dicapai masih sampai tahap knowledge. Maka saya tidak kaget kalau seandainya nilai (mahasiswa) tinggi-tinggi, karena yang dinilai hanya pengetahuannya. Dua hal lain (skill dan attitude) agak sulit,” tutur Romo.
Romo Dri pun mafhum bahwa pandemi Covid-19 membuat situasi dan kondisi menjadi tidak baik-baik saja, termasuk dalam hal pembelajaran. Dibalik pro kontra pembelajaran daring yang terus berlangsung, tak dimungkiri kelas maya memiliki kelebihan atau hal positif karena menjadi pilihan paling rasional saat ini.
“Positifnya itu adalah kalau soal knowledge tidak terlalu sulit untuk mencapainya. Namun untuk skill dan attitude, itu harus butuh interaksi. Dalam daring diharapkan diskusinya lebih banyak. Sesuatu yang masih bisa kita lakukan lewat daring ini adalah diskusi agar interaksi antara peserta didik dan pengajar diperbanyak dan harus ada refleksi,” ucapnya.
Perkara lainnya yang perlu jadi perhatian adalah upaya merumuskan bagaimana agar bahan pelajaran yang disampaikan dalam pembelajaran bukan hanya ada kaitannya dengan mahasiswa, tetapi harus relevan bagi yang diajar dan signifikan.
“Betul-betul yang disampaikan bukan hanya ada kaitannya dengan para mahasiswa, tetapi relevan juga signifikan. Tidak hanya tambah pengetahuan, tetapi betul-betul diubah oleh ajaran itu. Menjadi pede (percaya diri,red). Kalau orang itu punya kepercayaan diri yang cukup dan sehat akhirnya dia menjadi kreatif dan produktif. Akhirnya, tampilannya dia pun akan penuh sukacita, itulah karakter yang ingin kita bangun. Bagaimana meminimalisir hal-hal yang hilang selama pembelajaran tatap maya, kita harus tetap melakukan segala upaya dengan segala keterbatasan kita,” tuturnya.
Romo Dri menilai galib jika ada kekhawatiran sebagian kalangan bahwa jika pembelajaran daring diteruskan tanpa ada pembelajaran tatap muka, maka lambat laun akan membentuk kebiasaan negatif ke depannya.
Mengadopsi tujuan pendidikan secara universal yang dirumuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO, ada empat pilar tujuan pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan. Yaitu, learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
“Tidak hanya ingin membentuk manusia universal, tetapi juga manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang karakteristiknya pegang NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Bayangkan kalau seandainya pelajaran itu hanya daring, tidak kenal Indonesia sesungguhnya, tidak kenal masyarakat sesungguhnya. Kamu bisa merasa nasionalisme ada kalau hanya daring? Itu sulit,” katanya.
Lebih spesifik lagi, tak hanya membentuk manusia universal dan Indonesia, tetapi membentuk manusia UNPAR atau kerap disebut Unparian. Unparian ditandai dengan terbangunnya ceruk-ceruk perubahan melalui Spiritualitas dan Nilai-Nilai Dasar UNPAR (SINDU).
“Kita pengen manusianya humanum, cinta kasihnya dalam kebenaran, hidup dalam keberagaman, jangan jadi orang picik. Nasionalisme kalau picik, ya salah. Humanum itu kan fisiknya, intelektualnya, moralnya, sosialnya, kulturnya, dan religiusitasnya harus tumbuh maksimal dan harmonis,” ucapnya.
Terlepas dari urgensi antara pembelajaran tatap muka maupun maya, kedua hal tersebut memiliki porsi yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran peserta didik. Satu pembelajaran tak bisa dikatakan lebih unggul ketimbang skema pembelajaran lainnya. Hybrid learning atau penggabungan pembelajaran tatap muka dan maya dirasa pas untuk diterapkan.
“Hybrid itu mau tidak mau harus diterapkan. Hanya untuk persentasenya seperti apa, menurut saya, (porsi) tatap muka harus lebih banyak ketimbang pembelajaran online nantinya,” ujar Romo menutup perbincangan. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)