Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan (LPH Unpar) pada Rabu (24/7) menyelenggarakan seminar bertajuk “Pendidikan Manusia yang Manusiawi Pada Kultur Era Revolusi Industri Kontemporer” di Aula D3 Manajemen Perusahaan Unpar. LPH Unpar turut mengundang Prof. Iwan Pranoto, M. Sc. Ph.D dan Ayu Utami sebagai pembicara dalam seminar kali ini.
Seminar juga turut dihadiri oleh Romo Fabianus Sebastian Heatubun, Pr.,Drs.,SLL selaku ketua LPH. Dalam kata sambutannya, Romo Fabi menjelaskan bahwa sekarang dunia sedang berada dalam era disrupsi dan techno humanism. Hal tersebut menyebabkan pendidikan humaniora harus menyambut peradaban yang baru dan harus juga merevisi pelajaran-pelajaran humaniora yang ada sebelumnya. Di dalam era yang baru ini, Romo Fabi menjelaskan bahwa humaniora menjadi sangat penting dan menjadi perlu khususnya untuk dapat digunakan dalam memperbaiki diri. Di akhir kata sambutannya, Romo Fabi berharap seminar ini dapat dijadikan pembelajaran dalam memperbaharui bidang mata kuliah humaniora.
Selain itu, seminar MKU turut dihadiri oleh Prof. Bambang Sugiharto, selaku Guru Besar Fakultas Filsafat. Ia menekankan bahwa humaniora menjadi penting diantara dunia yang rasional dan dunia instrumental. Prof Bambang juga turut menjelaskan adanya perbedaan antara peradaban barat dan peradaban di Indonesia. Menurutnya, peradaban barat sangatlah rasional dan di sisi lain peradaban Indonesia lebih bersumber kepada rasa, yaitu kemampuan untuk menangkap esensi yang jauh lebih dalam dari sekedar feeling. Maka dari itu Prof Bambang berharap seminar ini dapat mengeksplorasi esensi rasa itu lebih dalam lagi.
Dalam seminarnya yang bertajuk “Menghadirkan Kembali Rasa dalam Pendidikan Kita”, novelis Ayu Utami memaparkan akan pentingnya esensi Rasa. Menurutnya Rasa bukanlah suatu hal yang irasional atau sesuatu yang bertentangan dengan nalar. Rasa sudah ada dari masa Jawa kuno sampai Indonesia modern ini, yaitu suatu kapasitas batin yang dinamai Rasa.
Menurutnya, kapasitas batin tersebut telah membimbing bangsa kita pada pilihan-pilihan persatuan dalam keberagaman. Jika kapasitas batin atau Rasa tersebut tidak difahami lagi karena dominasi model pendidikan modern, maka intoleransi dan radikalisme akan meningkat. Hal-hal tersebut sudah dapat terlihat pada saat pemilihan kepala daerah pada tahun 2017 lalu.
Maka dari itu, melatih kepekaan rasa sangatlah penting agar manusia bisa mengambil keputusan yang tepat. Pemahaman akan struktur Rasa juga diharapkan dapat memberi jalan keluar dari pola pendidikan yang dogmatis, yaitu dengan mengubah dominasi “pola pikir kotak” yang tertutup dengan “pola pikir silang”. Di era digital ini, kemampuan menjelaskan rasa ke dalam bahasa komputer sangatlah diperlukan. Sebab anak-anak tidak hanya belajar pada guru secara langsung, tetapi melalui informasi digital. (YJN/DAN)