UNPAR.AC.ID, Bandung – Menawarkan kebaruan dan pengetahuan yang tentunya menyegarkan jadi alasan program Integrated Arts pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melengkapi diri dengan lima bidang yang diharapkan mampu masuk ke ekosistem seni. Dari sekian banyak bidang seni di dunia nyata, Integrated Arts UNPAR mengenalkan seni rupa & desain; seni musik; seni pertunjukan; manajemen seni & kuratorial; serta penulisan kreatif sebagai sebuah referensi.
Bersama lima dosen dari masing-masing bidang, dalam Midup Buletin edisi 56 kali ini, kelimanya memaparkan tiap bidang seni sebagai gambaran. Mereka adalah Theo Frids M. Hutabarat, S.Sn., M.Sn.; Tri Joko Her Riady, S.S., M.A. ; Yohanes Simadinata, B. Mus., M.Mus. ; Emmy Sundari, S.Sn., M.Sn.,; dan Yacobus Ari Respati, S.Sn. M.Sn.
Kelima bidang yang ditawarkan Integrated Arts UNPAR hanyalah sekian banyak dari pendekatan keilmuan di dunia nyata. Namun kemampuan berpikir kritis, mengurai masalah, dan kreativitas untuk menghasilkan karya jadi harapan sebagai manifestasi dari semua proses pembelajaran.
Keluasan Paradigma
Bidang seni rupa & desain dijelaskan Theo Frids M. Hutabarat, S.Sn., M.Sn. Dia mengungkapkan, para mahasiswa harus memiliki keluasan paradigma, dalam artian tak menutup diri dari ilmu yang lain. Menurut dia, Integrated Arts UNPAR tentunya tak memaksakan para mahasiswanya menguasai betul kelima bidang tersebut. Lima bidang yang ditawarkan, termasuk seni rupa & desain diberikan agar mahasiswa dapat menemukan interest masing-masing.
“Yang kami berikan itu sebenarnya semua penawaran. Justru kami tidak ingin mahasiswa yang sudah punya spesialisasi menutup diri dari ilmu-ilmu lain. Namun intinya dari sekian banyak yang sudah ada, kami wakili dengan lima bidang ini sebagai sebuah referensi. Mereka harus punya broadness, keluasan paradigma. Bisa jadi ini pengetahuan yang menyegarkan, tapi bisa juga dianggap tidak relevan jika misalnya, ‘saya sukanya musik saja, ngapain belajar film?’. Justru mindset itu yang kami proses agar mereka punya keluasan berpikir,” ujar Theo.
Bidang seni rupa & desain di Integrated Arts UNPAR, lanjut Theo, di awalnya mengenalkan secara dasar mengenai seni rupa. Mulai dari bentuk, warna, materialitas, dan lainnya. Mahasiswa pun dilatih sensibilitasnya, dapat bereksplorasi terus menerus hingga menghasilkan karya yang balance.
Theo pun tak memungkiri bahwa tidak semua mahasiswa memiliki basic seni rupa & desain, dalam hal ini, dosen perlu peka mengenal kondisi demikian. Di Integrated Arts UNPAR, mahasiswa diberikan banyak waktu untuk catch-up. Namun harus disadari, etos kerja tidak bisa dibangun dalam semalam, skill terbentuk karena latihan.
“Kami menyediakan banyak waktu dan latihan, latihan yang banyak bukan sekadar memberatkan. Tetapi semakin banyak latihan yang dilakukan maka semakin baik. Sebenarnya bukan masalah jika tidak memiliki skill (seni rupa & desain) sama sekali. Motivasi adalah kunci,” tuturnya.
Selanjutnya, di semester 4,5, dan 6 nantinya akan lebih kompleks karena project yang dikerjakan sekadar cerita yang ditempelkan dalam karya. Mahasiswa harus menemukan problem yang urgent untuk digarap, mencari problem solving dengan brainstorming bersama mahasiswa terkait dengan bidang problem tersebut.
“Mereka tidak dituntut bisa 5 bidang untuk memulai project. Bidang ini hanya pendekatan dan di dunia nyata jelas mereka akan dihadapkan dengan bidang lain. Kemampuan berpikir kritis, bisa mengurai masalah, lalu mereka buat menjadi sesuatu. Kemudian yang paling utama mereka harus berpikir secara imajiner dan kreatif untuk menghasilkan sebuah karya,” katanya.
Basic Musicianship
Jika institusi seni lain ‘menyudutkan’ mahasiswa ke salah satu jenis musik tertentu. UNPAR melakukan sebaliknya. Yohanes Simadinata, B. Mus., M.Mus., mengungkapkan bahwa apa yang membuat mahasiswa interest di musik dengan sub-genre musik yang berbeda-beda, secara maksimal bakal didukung dan kembangkan.
“Di semester 1,2, dan 3 yang kami sebut sebagai awal membentuk skill dasar tadi, semua jenis musik kami anggap jadi satu dahulu agar mereka ada basic skill yang tiap pemusik harus punya. Tetapi nanti di semester selanjutnya, jika mereka mau bercabang ke jenis musk lain, kami pasti akan dukung sedemikian rupa,” ucap Yohanes.
Di Integrated Arts UNPAR, lanjut dia, sedikit banyaknya mahasiswa sudah memiliki background, dalam artian minimal mereka pernah mengikuti band di sekolahnya. Biasanya mahasiswa sudah mengetahui jenis musik mereka seperti EDM (electronic dance music) atau songwriting yang lebih kontemporer.
“Namun seperti yang ditekankan di awal, mereka akan dicoba untuk mengeksplorasi berbagai macam musik. Walaupun pada akhirnya project yang mereka buat sesuai dengan interest masing-masing,” katanya.
Lebih lanjut, bagi mahasiswa yang sudah memiliki basic, para dosen memantapkan apa yang mereka sudah punya. Bagi mahasiswa yang tidak punya basic, dosen provide di kelas praktikum dengan latihan-latihan tertentu. Maka dari itu, di tiga semester awal, pihaknya memberi training skill dasar supaya mahasiswa minimal memiliki basic musicianship yang cukup bagi mereka eksplor di proyek berikutnya. Dalam hal ini, basic musicianship seperti teori musik dan aural training (melatih telinga) merupakan hal yang pakem.
“Di seni musik dan juga untuk seni lainnya di Integrated Arts, kami lebih melihat kepada proses. Kami akan melihat benchmark di awal dan di akhir mereka sudah mencapai apa. Benchmark ini tidak dapat disamakan untuk setiap individu bagi studi seni. Lain halnya dengan studi eksak seperti Teknik Industri atau Matematika,” tuturnya.
Produk Kreatif
Emmy Sundari, S.Sn., M.Sn., yang fokus di bidang seni pertunjukan Integrated Arts mengatakan bahwa berkenian tak seperti mengerjakan tugas matematika, dimana 1+1=2, tetapi bisa saja 1+1=100. Proses dan eksplorasi tentunya lebih diutamakan, berkesenian tidak bisa to the point.
“Di seni pertunjukan lebih kepada penyajian atau performing arts. Saya mengajarkan teori-teori dasar, pengenalan seni pertunjukan secara umum, teknik-teknik penyajian tata pentas, cara berkomunikasi kepada penonton, cara membuat lighting, memperkenalkan tata rias dan kostum. Hal ini akan menjadi bekal ketika mahasiswa lulus,” ucap Emmy.
Dia menuturkan, seni kreatif terdiri dari 3 unsur yaitu kolaborasi, improvisasi, dan performing. Dari salah satu unsur tersebut, seni pertunjukan dapat dikolaborasikan dengan beberapa kesenian lain dan menjadi mata pencaharian.
“Dengan memperkenalkan ilmu baru, yaitu Integrated Arts ini, diharapkan mahasiswa mampu berpikir lebih kreatif lagi dan menciptakan lapangan pekerjaan ketika mereka lulus. Di seni pertunjukan diajarkan bagaimana mereka menciptakan produk-produk ekonomi kreatif baru untuk menghasilkan uang dan pekerjaan. Diharapkan mahasiswa dapat membuat ekosistem baru karena mahasiswa dipaksa untuk menimbulkan ide-ide, bukan hanya sekadar mendengarkan teori dari dosen,” ujarnya.
Fondasi Bercerita
Sementara itu, Tri Joko Her Riady, S.S., M.A., mengatakan bahwa menulis sebenarnya sama dengan menggambar. Namun, menulis platformnya lebih umum, banyak dipakai, dan bisa menyentuh segala bidang.
“Poin sebenarnya sama, yaitu bercerita. Bercerita juga sama dengan seni. Dimulai dari ide kemudian cara menampilkannya. Tulisan sejauh ini memang menjadi suatu produk yang relatif dipakai oleh bidang pekerjaan apapun. Maka dari itu, keterampilan menulis dipandang perlu dan fundamental diberikan kepada semua mahasiswa Integrated Arts,” tuturnya.
Ragam penulisan atau bercerita dalam Integrated Arts UNPAR, lanjut dia, berfokus kepada penulisan kreatif. Mahasiswa diajarkan fondasi bercerita dengan cara menampilkan alur, tokoh, latar waktu, latar tempat, dan sebagainya.
Semester awal, mahasiswa diajarkan teknik penulisan fiksi, dalam hal ini berbentuk cerita pendek. Di semester selanjutnya, lebih kepada menerapkan teknik bercerita ke dalam penulisan non-fiksi, yaitu penulisan berdasarkan fakta. Mahasiswa diajak mempelajari feature jurnalistik dan esai untuk bidang masing-masing yang ingin diperdalam.
“Dua hal yang diwakili dari kelas penulisan esai yaitu merumuskan gagasan atau imajinasi apapun secara jelas dan kemampuan untuk mempresentasikan ide tersebut kepada orang lain. Kita dapat mempelajari hal ini melalui keterampilan menulis,” kata Joko.
Tampil Masuk Akal
Mengembangkan logika produksi berbagai event kebudayaan, jadi bagian dari bidang manajemen seni & kuratorial Integrated Arts yang diajarkan ke mahasiswa. Yacobus Ari Respati, S.Sn. M.Sn., menuturkan bahwa manajemen seni lebih kepada perhitungan secara struktural. Dalam bidang manajemen seni & kuratorial pun harus diperhatikan antara budaya nasional dan internasional, karena dua hal tersebut akan dijembatani secara berbeda.
“Seni menuntut penjelasan. Contoh nyatanya adalah kritik sosial dari seorang seniman mengenai kondisi di sebuah pabrik. Dari kritik sosial ini mungkin para warga sekitar mulai tercerahkan bahwa kerugian yang mereka dapatkan lebih besar dibandingkan keuntungan yang mereka dapat. Saat ada kondisi baru, maka butuh pemahaman baru. Kurator pun bertugas menjadi mediator, orang yang menjelaskan,” ucap Yacobus. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)