UNPAR.AC.ID, Bandung – Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Dr. R.B. Budi Prastowo, S.H., M.Hum mengidentifikasi ada 3 implikasi dari draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 2019. Implikasi tersebut mulai dari soal pembuktian kesalahan hingga pemidanaan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar “Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022”, Kamis (23/6/2022) secara daring. Konsultasi Nasional dilaksanakan dalam serangkaian kegiatan 4 Panel Tematik serta diisi oleh 21 panelis yang kompeten di bidangnya yang berlangsung pada 22-23 Juni 2022 lalu.
“Materi yang saya gunakan untuk membuat kajian ini adalah (draft RKUHP) dari 2019. Secara khusus saya tidak tahu apa perubahan yang sudah terjadi terhadap RKUHP 2019 dan salah satu praktik buruk dari politik legislasi, akademisi saja tidak bisa mengakses untuk membuat kajian akademik. Dengan kondisi RKUHP hari ini, kita tidak tahu saat ini yang berubah Pasal mana,” tutur Budi sebelum memulai pemaparannya.
Dia menuturkan, hukum pidana materiil, hukum acara pidana, dan hukum pelaksanaan pidana merupakan satu kesatuan sistem hukum pidana nasional. Hukum acara pidana mengatur bagaimana hukum pidana materiil ditegakkan. Perubahan (pembaharuan) pada bidang hukum pidana materiil membawa konsekuensi logis urgensi pembaharuan pada hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana.
“Kalau kita bicara mengenai sistem hukum pidana, maka ketiga hal itu subsistem yang menjadi bagian dari sistem hukum pidana nasional. Sehingga kita tidak bisa bicara secara parsial. Dengan kata lain, kalau hukum pidana materiilnya yang ditegakkan itu berubah, maka mestinya hukum acara pidananya juga berubah. Karena hukum acara pidana sarana alat untuk menegakkan hukum pidana materiil,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, lanjut dia, RKUHP merupakan kodifikasi hukum pidana yang menjadi induk sistem hukum pidana Indonesia. Pembaharuan pada hukum pidana materiil pengaruhnya luas, bukan hanya ke KUHP lama atau KUHP baru, tetapi tentu saja terhadap semua aturan hukum pidana, baik yang di dalam KUHP maupun di luar KUHP akan mengalami implikasi.
“Menurut saya memang ketiga bidang hukum pidana itu (hukum pidana materiil, hukum acara pidana, dan hukum pelaksanaan pidana,red) harus dibahas secara sistematis dan utuh dalam satu pendekatan,” ucapnya.
3 Implikasi
Budi pun mengidentifikasi ada 3 implikasi dari RKUHP terhadap hukum acara pidana ke depan. Implikasi pertama adalah soal pembuktian kesalahan. KUHP sekarang yang berlaku menggunakan paradigma monistis sehingga kesalahan (Dolus dan Culpa) menjadi unsur tertulis dari tindak pidana. Lalu, kesalahan harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan dibuktikan oleh penuntut umum. Selanjutnya, konsekuensi kegagalan pembuktian unsur tertulis adalah berupa putusan bebas.
Sementara RKUHP menggunakan paradigma dualistis sehingga kesalahan tidak menjadi unsur tindak pidana. Bentuk kesalahan berupa Dolus tidak pernah menjadi unsur tindak pidana. Sedangkan Culpa selalu dirumuskan secara tertulis sebagai pengecualian. Menurutnya, perlu perubahan teori pembuktian, yaitu bentuk kesalahan (Dolus) harus tetap dibuktikan oleh penuntut umum. Serta tidak logis apabila Culpa harus dibuktikan, tetapi Dolus tidak.
Dia pun mengusulkan, dalam KUHAP yang akan datang perlu diatur secara eksplisit bahwa hakim dalam putusan harus memberikan pertimbangan tentang terbukti/tidak terbuktinya kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan. Disamping pertimbangan tentang terbukti/tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum. Terbuktinya perbuatan melawan hukum, lanjut dia, tidak bisa disimpulkan sebagai terbuktinya kesalahan.
“Menurut saya ada kesalahan berpikir yang cukup fatal secara umum. Selama ini kita selalu menganggap bahwa perbuatan yang memenuhi rumusan delik itu pasti salah, padahal dalam struktur hukum pidana tidak begitu. Kalau perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu adalah perbuatan melawan hukum. Tapi apakah salah? Belum tentu,” tuturnya.
Implikasi kedua, yaitu adanya Bab Tindak Pidana Khusus. Secara terminologis dan konseptual istilah tindak pidana khusus tidak sama dengan istilah tindak pidana di luar KUHP. Sementara dalam RKUHP dimasukkan Bab tentang Tindak Pidana Khusus dan hal ini menjadi contradictio in terminis.
“Adanya Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP ini bagi saya sesuatu yang tidak masuk akal,” katanya.
Berikutnya, ketentuan penutup Pasal 626 RKUHP (huruf e s/d w) menyatakan tindak pidana dalam 19 Undang-Undang Pidana di luar KUHP dicabut. Secara formal, maka 19 UU tersebut menjadi kosong kaidah perilaku dan sanksi.
Dalam 19 UU Pidana Khusus tersebut selain diatur hukum pidana materiil khusus, diatur juga hukum acara pidana khusus:
- Kelembagaan khusus
- Kewenangan khusus
- Prosedur khusus
- Alat bukti khusus
Problemnya, apakah semua hukum acara pidana khusus tersebut menjadi tetap berlaku seperti saat ini?. Serta apakah KUHAP yang akan datang harus mengatur juga hukum acara pidana khusus untuk tiap tindak pidana khusus atau bab “hukum acara pidana khusus yang umum”?
Implikasi ketiga yang patut disoroti adalah soal pemidanaan. RKUHP mengatur jenis sanksi pidana dan tindakan yang lebih banyak jenisnya.
Dalam penerapannya juga memberi fleksibilitas:
- Beberapa alasan untuk tidak menjatuhkan pidana (Pasal 54 ayat 2)
- Ancaman penjara bisa dijatuhi pidana tutupan (Pasal 74), pengawasan (Pasal 75), dan Kerja Sosial (Pasal 85).
Menurut dia, dalam KUHAP yang akan datang, perlu ditegaskan kewajiban hakim untuk memberikan pertimbangan eksplisit dan memadai tentang hal tersebut.
Lebih lanjut, dalam RKUHP juga diatur tentang kemungkinan perubahan pidana setelah putusan inkracht:
- Perubahan pidana mati menjadi seumur hidup (Pasal 100)
- Perubahan pidana seumur hidup menjadi 20 tahun (Pasal 69)
Problem:
- Perubahan pidana tersebut tidak sama dengan grasi
- Perubahan terhadap isi putusan hakim, sehingga diatur proses acaranya dalam KUHAP (atau hukum pelaksanaan pidana)
“Kalau putusan hakim bisa diubah oleh eksekutif ya aneh. Untuk mengubah ini menurut saya harus melalui proses acara pidana sehingga itu perlu diatur. Itu beberapa catatan, setidaknya ada 3 hal yang saya catat apa implikasi dari RKUHP terhadap hukum acara pidana kita yang akan datang,” tutur Budi.
Konsultasi Nasional diprakarsai oleh Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Airlangga, Universitas Bina Nusantara, UPN Veteran Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, STH Adhyaksa, Departemen Kriminologi FISIP UI, & Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah melalui serangkaian penyempurnaan terhadap materi RKUHP pasca penundaan pada tahun 2019, penting untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai konsep pembaharuan yang dimiliki RKUHP dan mengevaluasinya dari segi perkembangan tujuan pembaruan hukum pidana, penerapan sistem kodifikasi, harmonisasi tindak pidana, dan memproyeksikan implementasi RKUHP setelah resmi disahkan kelak. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)