UNPAR.AC.ID, Bandung – Indonesia sebagai negara demokrasi akan kembali melakukan pemilihan umum (pemilu) eksekutif serta legislatif pada tahun 2024. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memprediksi pemilih muda pada Pemilu 2024 mendatang bisa menembus 60 persen. Dengan kata lain, Pemilu 2024 akan menjadi era para mahasiswa dan pemilih pemula untuk memberikan suara.
Hal tersebut mengemuka dalam Talkshow Series bertajuk “Memilih, Damai” yang diselenggarakan oleh Tribun News Jawa Barat bersama dengan Jurusan Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan. Talkshow dengan topik “Membaca Kecenderungan Preferensi Pemilih: Kesukuan, Kapasitas Atau Kesalehan” diadakan secara hybrid di UNPAR pada Senin (21/11/2022) lalu dan disiarkan melalui Youtube Tribunnews, Tribun Jabar, dan Tribun Bogor.
Talkshow tersebut turut mengundang 4 pembicara yakni Andi Saiful Haq selaku Founder INTRANS, Firman Manan, S.IP, M.A. selaku dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (UNPAD), Dr. Pius Sugeng Prasetyo M.Si selaku Dekan FISIP UNPAR, serta Titi Anggraini selaku Dewan Pembina Perludem.
Andi menyatakan bahwa preferensi pemilih terlihat konsisten sejak pemilu 1999. Pemilih tidak jarang melihat kesukuan serta kesalehan. Survei politik juga mengungkap bahwa referensi dalam memilih politik adalah faktor merakyat, pernah bertatap muka secara langsung, dan kedekatan serta akses.
“Intinya adalah, calonnya harus merakyat. Itu mengalahkan semua kriteria seperti kesungguhan dan lain-lain,” tuturnya Andi.
Andi juga menyatakan bahwa idiom politik Indonesia ‘harus Jawa dan Islam’ merupakan hal yang biasa terjadi di negara demokrasi. Meskipun demikian, idiom tersebut mulai terpatahkan dan kabur. Sejarah presiden dan wakilnya pun kini seringkali menunjukkan pola pasangan Jawa-non Jawa. Maka dari itu, ia berpendapat bahwa presiden yang mendatang sudah pasti orang Jawa.
“Itu sama dengan meramalkan bahwa matahari akan terbit besok,” tuturnya.
Selain itu, ia merasa bahwa pemilih seringkali disuguhi dengan pilihan yang terbatas. Para partai politik hingga masa kini belum mencapai level di mana mereka berani untuk mencalonkan orang non Jawa.
“Partai politik kita masih dalam tahap seperti itu, belum berani melakukan terobosan,” ujarnya.
Membahas hal yang sama, Titi mengungkap sisi filosofi bahwa Indonesia dimiliki semua telah dipikirkan sejak para founding father. Ketika konstitusi di amandemen, para pengubah konstitusi juga berpikir meskipun pemilih mayoritas berada di Pulau Jawa, hal tersebut tidak berarti presiden hanya milik orang Jawa. Maka dari itu, terdapat beberapa persyaratan untuk presiden terpilih di mana suara harus mencapai 50% + 1 serta sebaran suara di setengah lebih provinsi Indonesia minimal 20%.
“Jadi kalau provinsinya ada 34, di 18 provinsi ini dia harus mendapat minimal 20% suara supaya calon presiden ini juga pergi ke pelosok-pelosok Indonesia dan berkampanye bukan hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.” ujarnya.
Maka dari itu, Titi menyampaikan bahwa konstruksi untuk membangun filosofi ke-Indonesia-an itu ada, hanya saja salurannya dipersempit seperti diwajibkannya mencalonkan melalui partai, terdapat ambang batas pencalonan presiden, dan lain-lain. Mengingat bahwa orang Jawa jumlahnya banyak dan aksesnya itu banyak di Jawa, orang Jawa memiliki privilege tersendiri.
“Memang ada privilege yang diperoleh sehingga akses itu lebih banyak pada mereka meski tidak melulu harus dari Jawa,” tuturnya.
Sementara itu, Firman berpendapat bahwa dalam perilaku memilih, tidak ada variabel tunggal yang dapat menjelaskan bahwa seseorang memilih hanya karena alasan tertentu. Ia yakin masih ada variabel lainnya yang memperkuat alasan orang memilih satu calon.
“Kita tidak bisa mengatakan bahwa faktor etnis itu menjadi satu-satunya variabel tunggal untuk menjelaskan kenapa orang kemudian memilih,” ujarnya.
Pius pun menuturkan, masyarakat tidak seharusnya memandang calon presiden hanya pada persoalan tertentu, namun mengenai apakah calon ini kira-kira bisa memberikan sebuah jaminan bahwa Indonesia menjadi lebih baik. Masyarakat harus bisa mencari calon yang punya integritas dan tidak korupsi.
“Untuk saya, yang paling penting untuk di Indonesia saat ini adalah saya mencari orang yang betul-betul punya integritas,” ucapnya. (KTH-Humkoler UNPAR)