Indonesia dan BRICS

UNPAR.AC.ID, Bandung – Brasil yang memegang Keketuaan BRICS 2025 secara resmi mengumumkan masuknya Indonesia dalam kerja sama BRICS pada 6 Januari 2025. Masuknya Indonesia dan juga Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir merupakan perluasan pertama keanggotaan kerja sama BRICS yang pertama atau dikenal dengan istilah BRICS Plus. BRICS merupakan kerja sama yang dilakukan oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang dibentuk untuk menyaingi hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian dunia. Masuknya Indonesia kedalam kerja sama BRICS Plus tentu memberikan peluang sekaligus tantangan.

BRICS

BRICS dibentuk pertama kali pada tahun 2009 atas inisiatif Rusia untuk menjadi penyeimbang terhadap pengaruh Amerika Serikat pada perekonomian global dan lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, Kelompok G7, dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebelumnya hanya ada empat negara yang menyatakan minatnya untuk memperluas kerja sama multilateral yaitu Brasil, Rusia, India dan China. Pada tahun 2010, Afrika Selatan bergabung dengan empat negara terdahulu sehingga kerja sama ini dikenal dengan nama BRICS. Dalam pernyataan bersama setelah KTT BRIC 2009, ditetapkan bahwa tujuan kerja sama ini adalah untuk mempromosikan dialog dan kerja sama di antara empat negara pendiri awal BRIC secara bertahap, proaktif, pragmatis, terbuka, dan transparan. Kerja sama ini ditujukan tidak saja untuk mendukung kepentingan bersama ekonomi negara-negara berkembang, tetapi juga membangun dunia yang harmonis dengan kemakmuran bersama. Pernyataan tersebut dikeluarkan utamanya untuk mengatasi krisis keuangan dan ekonomi global yang terjadi pada 2008-2009.

BRICS kemudian muncul menjadi salah satu kekuatan pendorong utama pembangunan ekonomi dunia yang didukung dengan jumlah populasi dan sumber daya alam yang melimpah. Dalam konteks ekonomi, BRICS menyumbangkan hampir sepertiga total PDB dunia pada tahun 2022 dan diramalkan akan menyumbangkan 37,6 persen pada total PDB dunia di tahun 2027. Sekiranya kinerja ekonomi tadi ditambahkan dengan lima negara baru Indonesia, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir dapat dibayangkan betapa kuatnya struktur ekonomi BRICS Plus ini. 

Selain itu, BRICS juga menunjukkan pengaruh politiknya pada berbagai lembaga dan organisasi internasional serta regional terkemuka. Brasil merupakan anggota Persatuan Negara Amerika Selatan (OAS) dan kerja sama ekonomi MERCOSUR. Rusia merupakan anggota Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) dan juga anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) bersama China.  India merupakan anggota Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan. Sementara Afrika Selatan adalah anggota Uni Afrika dan Komunitas Pembangunan kawasan Selatan Afrika. 

Peluang dan Tantangan

Bergabungnya Indonesia dalam kerja sama BRICS Plus tentu memberikan peluang sekaligus tantangan.  Data Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan BRICS Plus saat ini dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru yang terdiri dari hampir setengah populasi dunia, 40 persen perdagangan internasional, dan 40 persen produksi dan ekspor minyak mentah dunia. India dan China merupakan konsumen energi terbesar di dunia yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Sebagai anggota BRICS Plus, Indonesia akan mendapatkan hak istimewa dalam aktivitas perdagangan internasional dengan India dan China seperti misalnya pengurangan pajak impor dan akses pasar yang lebih luas terutama pada produk-produk migas. Tidak hanya itu, BRICS Plus juga memberikan peluangnya mengalirnya investasi asing ke Indonesia yang pada akhirnya akan membantu pembukaan lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. BRICS juga memiliki Bank Pembangunan BRICS (New Development Bank) dengan tujuan untuk menyediakan alternatif pembiayaan bagi negara-negara berkembang yang dapat dimanfaatkan Indonesia agar tidak selalu tergantung pada Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan nasional. Semangat BRICS untuk mengurangi dominasi Dolar AS dan menggunakan transaksi mata uang lokal juga akan mengurangi ketergantungan Indonesia akan Dolar AS. Penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antar negara BRICS Plus akan memberikan kepastian transaksi ekonomi tanpa perlu khawatir dengan fluktuasi nilai tukar Dolar AS.

Akan tetapi, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS Plus juga perlu dicermati untuk tidak memberikan dampak negatif. Pernyataan keras Donald Trump terhadap negara-negara BRICS perlu dicermati agar tidak muncul ketegangan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (dan negara-negara Uni Eropa). Sampai saat ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa masih menjadi mitra dagang potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Jangan sampai dengan status anggota BRICS Plus, muncul diskriminasi dan pembatasan akses pasar internasional khususnya ke Amerika Serikat sebagai mitra ekspor Indonesia kedua terbesar setelah China. Juga dengan status negara aksesi OECD saat ini, jangan sampai muncul hambatan atau bahkan pembatalan status aksesi Indonesia padahal potensi sebagai anggota OECD sangat besar karena terbukanya akses ke pasar negara-negara anggota OECD seperti pasar di Amerika Utara dan Selatan serta kawasan Eropa dan Asia-Pasifik. Diharapkan, keikutsertaan Indonesia pada BRICS dan OECD dipandang dapat menjaga amanat pertumbuhan ekonomi 8 persen sesuai target Presiden Prabowo Subianto.

Indonesia juga perlu mencermati dinamika internal yang ada dalam BRICS yang disebabkan oleh keberagaman kinerja ekonomi dan kepentingan nasional negara-negara anggota. Rivalitas dan perebutan pengaruh antara India dan China misalnya jangan sampai menyeret Indonesia ikut terlibat didalamnya padahal keduanya merupakan mitra dagang besar bagi Indonesia. Dominasi Rusia dan China dengan kepentingan masing-masing juga jangan membuat Indonesia dianggap menjauh dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.

BRICS Plus tentu akan memberikan keuntungan bagi Indonesia baik dalam aspek ekonomi maupun politik. Perlu kehati-hatian akan ancaman pencapaian kepentingan Indonesia pada kerja sama lain diluar BRICS. Implementasi prinsip bebas-aktif yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia harus mampu memantapkan posisi Indonesia dalam berbagai kerja sama yang dilakukan.

Tulisan tersebut disusun oleh Aknolt Kristian Pakpahan (Kepala Program Studi Magister Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Merupakan republikasi dan sebelumnya telah dimuat di koran Pikiran Rakyat dengan Judul “Indonesia dan BRICS”

Berita Terkini

UNISBA Studi Banding ke UNPAR, Gali Struktur Organisasi dan Tata Kelola

UNISBA Studi Banding ke UNPAR, Gali Struktur Organisasi dan Tata Kelola

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Islam Bandung (UNISBA) melakukan studi banding ke Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Senin (10/2/2025). Melalui pertemuan yang dilakukan di Ruang Rapat Besar Rektorat UNPAR tersebut, tim UNISBA menggali lebih jauh bagaimana...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Jan 22, 2025

X