UNPAR.AC.ID, Bandung – Selasa (19/12/2023) lalu, dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (HI UNPAR) mengadakan sesi diskusi bersama alumninya.
Diskusi dengan judul “Meneropong Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Kawasan Asia Pasifik dan Afrika,” menghadirkan Vahd Nabyl Achmad Mulachela selaku alumni HI UNPAR tahun 1997.
Vadyl saat ini tengah menjabat sebagai Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Diskusi ini dihadiri oleh Kepala Laboratorium HI, Anggia Valerisha, S.IP., M.Si. dan dimoderatori oleh Kishino Bawono, S.IP., M.Sc., serta beberapa mahasiswa HI UNPAR dari berbagai angkatan.
Diskusi ini berfokus pada dinamika Indonesia dalam kawasan Asia Pasifik dan Afrika, antisipasi, tantangan, peluang, serta ancaman yang dapat dialami Indonesia di wilayah ini.
Dalam sambutannya, Anggia mengatakan bahwa kawasan Asia Pasifik dan Afrika merupakan wilayah yang penting dan dinamis karena banyaknya aktor-aktor penting dan besar yang memiliki kepentingan di wilayah ini.
Diskusi ini diharapkan agar mahasiswa dapat melihat bagaimana posisi Indonesia dan respon Indonesia kedepannya dalam menghadapi tantangan dan ancaman yang ada di wilayah ini.
Di kawasan ini, terdapat kurang lebih 114 negara yang memiliki isu dan dinamikanya masing-masing yang masih berjalan hingga saat ini. Seperti contohnya isu perang di Afghanistan, Palestina – Israel, rivalitas antara Iran dan Arab Saudi, dan lainnya.
Di wilayah Asia, juga masih banyak isu dan permasalahan dan dinamika yang terjadi seperti contohnya aktivitas grey zone di perbatasan-perbatasan negara. Selain itu, terdapat juga rivalitas antara dua hegemon yaitu negara Cina dan Amerika Serikat yang terjadi di wilayah Asia Pasifik dan Afrika.
Melihat banyaknya dinamika dan permasalahan ini, timbul banyak tantangan, ancaman, namun juga kesempatan bagi Indonesia untuk mengoptimalkan kebijakan luar negerinya.
Beberapa negara di Asia Pasifik meningkatkan anggaran mereka untuk membeli kebutuhan militer, contohnya Jepang. Jepang melihat tantangan dan ancaman yang ada dan karena itu pengeluaran yang mereka keluarkan akan sebanding dengan tantangan dan ancaman yang mungkin akan dihadapi.
Teknologi yang semakin berkembang, juga membuat teknologi militer negara-negara dapat menjadi semakin canggih. Oleh karena itu, dana militer beberapa negara relatif lebih besar dibandingkan beberapa waktu lalu untuk bisa melindungi keamanan negara mereka.
Beberapa ancaman lain yang dihadapi negara-negara di Asia Pasifik adalah kompetisi global antara Cina dan Amerika Serikat, rivalitas regional seperti yang terjadi di Laut Cina Selatan, dan stabilitas nasional.
Melihat ancaman ini, Indonesia memiliki proyeksi prioritasnya yang disebut dengan ‘4+1 priorities.’ Prioritas ini menjadi fokus pada tahun 2019 hingga 2024 nanti.
Prioritas pertama adalah untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia. Dalam hal diplomasi lainnya, Indonesia sudah memiliki berbagai pencapaian diplomasi. Namun saat ini, Indonesia membutuhkan sebuah hasil yang lebih nyata atau riil.
Dengan memperkuat diplomasi ekonomi mereka, salah satunya dengan Cina, Indonesia berharap bisa mendapatkan sebuah hasil yang lebih nyata dan dapat dirasakan atau tangible.
Prioritasnya yang kedua adalah melindungi masyarakat Indonesia, terutama para pekerja migran. Selanjutnya, Indonesia berfokus untuk melindungi dan menjaga kedaulatan dan identitas nasionalnya. Hal ini menjadi penting terutama di tahun-tahun politik seperti sekarang.
Indonesia juga ingin berfokus untuk memperkuat kepemimpinan Indonesia di tingkat regional hingga global dengan berpartisipasi aktif dalam berbagai forum regional maupun global seperti G20.
Terakhir, Indonesia ingin memperkuat struktur diplomasinya dengan berfokus pada sesuatu yang nyata atau tangible seperti sumber daya manusia, sumber daya anggaran, dan hal lainnya yang bersifat fisik.
Vadyl menekankan agar Indonesia juga bisa mengambil keuntungan dari berbagai pencapaian diplomatik yang telah dilakukan. Keuntungan ini bisa berupa dukungan dari negara lain hingga bantuan fisik.
Pertemuan kemudian ditutup dengan sharing session bersama Vadyl selaku alumni HI UNPAR dan membicarakan mengenai seputar karier dan kehidupannya sebagai seseorang yang menjabat di Kementerian Luar Negeri. (SYA- Humkoler UNPAR)