UNPAR.AC.ID, Bandung – Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai kekayaan alam. Indonesia bahkan kabarnya menduduki peringkat atas untuk keanekaragaman spesies seperti mamalia, ikan, burung, reptil, dan lain-lainnya. Biodiversitas di Indonesia sendiri memiliki banyak peran demi kehidupan manusia khususnya dalam bidang pangan.
Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Parahyangan Legal Competition 5.0 yang diselenggarakan secara daring oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) pada Minggu (25/9/2022). Webinar bertajuk “Pembaharuan Hukum dalam Rangka Membangun Kelahanan Pangan dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Hutan Lindung di Indonesia” itu mengundang Dr. Mas Achmad Santosa. S.H. L.L.M. selaku CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro. S.H. MH. selaku Guru Besar FH UNPAR.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, Prof. Koerniatmanto menjelaskan tentang Food Estate. Food Estate sendiri merupakan usaha pangan skala luas yang memanfaatkan Sumber Daya Alam dan teknologi untuk menghasilkan produk pangan.
Umumnya, Food Estate terletak di suatu kawasan hutan. Namun menurut Prof. Koerniatmanto, pernyataan tersebut justru kontradiksi dengan apa yang ada di Undang-Undang Kehutanan.
“Tidak hanya sekadar kontradiksi interminus, kontradiksi dalam istilah, namun dalam kenyataannya juga kontradiktif,” tuturnya.
Lebih lanjut, Prof. Koerniatmanto memaparkan 3 konsep yang telah dikembangkan oleh ahli ekonomi, di mana ketiga konsep tersebut harus harmonis dan saling mendukung, yakni :
- Sistem Ekologi : hubungan timbal-balik antara makhluk hidup khususnya manusia dengan lingkungan alamnya.
- Sistem Sosial : hubungan interaksi antar manusia dan lembaga/kelompok sosial.
- Sistem Ekonomi/Bisnis : hubungan kerja antar komponen usaha dengan tujuan bisnis.
Sayangnya, apa yang terjadi selama ini tidak seperti teori yang ada. Hutan Lindung yang termasuk dalam sektor ekologis seringkali dikorbankan dan dieksploitasi. Sektor sosial yang melibatkan petani kecil tidak bisa mencapai kesejahteraan karena adanya Food Estate. Selain itu, Prof. Koerniatmanto juga tidak setuju dengan Sektor Bisnis yang diupayakan untuk ketahanan pangan.
“Menurut saya ini tidak tepat. Pemerintah keliru menggunakan istilah ini,” ujarnya.
Merespons hal tersebut, Prof. Koerniatmanto memaparkan beberapa alternatif jalan keluar, antara lain :
- Optimalisasi Bioteknologi yang ramah lingkungan (Intensifikasi Pertanian, Pertanian Modern, dan Pertanian Organik)
- Manajemen Pangan (Diversifikasi dan Efisiensi Pangan).
- Memaksimalkan Peran Petani Kecil Desa (Diberikan akses bisnis, edukasi dunia digital, dijadikan price setter pangan)
- Pangan dikuasai negara (sebagaimana tertulis di Undang-Undang Dasar NKRI 1945 pasal 33 dan bergerak non-profit).
Sementara itu, Achmad menyatakan bahwa untuk mengatasi krisis bumi di era antroposen ini dibutuhkan sistem hukum yang membalikkan cara pandang dan fokus tentang hubungan manusia dengan alam (human-nature relations) yang mampu mengubah human-dominant exploitative kepada more inclusive ecological one.
“Pada prinsipnya environmental rights is human rights, kemudian dunia mulai menyepakati hal ini,” ucapnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa planetary boundaries berperan dalam mencegah ecological crisis/planetary ecological degradation dan hukum lingkungan. Planetary Boundaries (PB) akan memberikan informasi terhadap law and governance yang akan dikembangkan oleh pemerintah secara nasional, daerah, regional, dan organisasi multilateral.
“Saya berharap Stockholm Plus 50 ini sudah mulai ada kesepakatan baru dunia namun karena pandemi Covid jadi kebijakan-kebijakan dan hukum-hukum yang dikembangkan selama ini belum diperbincangkan,” tutur Achmad. (KTH/JES-Humkoler UNPAR)