UNPAR.AC.ID, Bandung – Guru Besar Hukum Pertanian pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro, S.H., M.H. mengungkapkan, isu internasional dan imperialisme modern merupakan hal yang menjadi acuan dasar dan objek utama dalam hukum pertanian dan peternakan, serta hukum perikanan.
“Banyak isu yang harus mendapat perhatian oleh hukum yaitu benih dan bibit dan tani yang tersandera oleh agro korporasi raksasa,” tutur Prof. Koerni dalam Webinar “Pengembangan Penelitian Hukum Seri I: Road Map Kajian Hukum Pertanian” yang diselenggarakan dalam rangka Jumat (17/6/2022) lalu.
Pada acara yang merupakan bagian dari rangkaian Dies Natalis ke-64 FH UNPAR bertajuk “Kedaulatan Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam melalui Pengembangan Bidang Kajian Hukum” tersebut Prof. Koerni juga menuturkan jika isu tersebut mencakup karakteristik pertanian dan perikanan, kemiskinan petani dan peternak, akses, sistem standarisasi peternakan, bioteknologi, hingga pedesaan.
“Mafia pertanian, mafia tanah, mafia minyak goreng, semacam itu. Ada banyak. Tidak ada produk pertanian yang tidak ada mafianya di Indonesia. Menjadi masalah ini,” katanya.
Dia mengatakan, hukum di Indonesia merupakan hukum buatan kolonial yang hanya terkait perkotaan dan pertanian. Dia menyarankan untuk dapat mengembangkan sistem hukum Pancasila untuk mendukung agroindustri dan akuaindustri sebagai respons hukum kapitalis/liberalis dan identitas kultural indonesia yang bertumpu pada agraria dan maritim.
“Sehingga pedesaan, pertanian, perikanan terabaikan. Nah itu yang membuat saya concern. Kita orang Indonesia ya harus bikin hukum yang sesuai dengan kondisi Indonesia bukan kondisi kolonial zaman Belanda dulu,” tuturnya.
Dalam rangka mendukung pengembangan hukum pertanian, Prof. Koerni juga mengatakan jika hal tersebut didasarkan oleh tujuan hukum yang berpihak terhadap orang-orang yang tertindas.
“Di Indonesia orang yang tersingkirkan apa? petani, pertanian, nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan perikanan. Ini tersingkirkan. Nah sehingga mereka memerlukan perlindungan dan pemberdayaan supaya mampu berkompetisi secara fair,” ucapnya.
Selain itu, untuk mendukung sektor pertanian, Prof. Koerni menuturkan jika tugas negara memfasilitasi dan mengendalikan hukum atas kegiatan agribisnis dan agroindustri.
“Jangan sampai terjadi ego sektoral. Masalah sektoral dan akurasi data menjadi kelemahan utama,” tuturnya.
Sementara itu Direktur Samdhana Institute Indonesia Martua T. Sirait Ph.D. mengatakan jika pada hasil rapat terbatas kabinet 24 Agustus 2016 silam, Presiden Joko Widodo melansir “Reforma Agraria” sebagai cara untuk menyelesaikan masalah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di pedesaan.
Martua menjelaskan, ketimpangan penguasaan tanah yang mengakibatkan konflik agraria dan krisis akan berujung pada kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Meskipun demikian, hal tersebut seharusnya menjadi kesadaran kita untuk melakukan perbaikan di masa depan.
“Tetapi ini sebenarnya mengajak kita melakukan langkah-langkah koreksi terhadap ketimpangan relasi agraria maupun struktur agraria,” tutur Martua.
Lebih lanjut, menurutnya Agrarian Change merupakan langkah yang lebih tepat dibandingkan Agrarian Transformation yang kerap kali berubah menjadi hal lain melalui sebuah proses dan pengertian tersebut cenderung akan sulit untuk diterapkan dalam lingkup wadah agraria karena konstelasinya yang rumit dan kondisinya yang selalu berubah.
“Saya menawarkan cara pendekatan agrarian change yang banyak dipakai. Bukan berubah dari a ke b tetapi berubah dari a ke sesuatu yang kita tak tahu. Dan ini terus perlu kita dalami dalam aspek hukum. Dengan pengetahuan- pengetahuan baru, dengan pemahaman-pemahaman baru, kita akan berubah kemana, dan nanti tentu aspek keadilan akan menjadi sentral disini,” tutur Martua. (RBF/KTH/JES-Humkoler UNPAR)