Sebagian besar masyarakat berpikir bahwa seorang arsitek adalah sebuah gelar atau nama profesi yang disematkan pada orang-orang yang mengabdikan diri untuk mendesain atau mempurwarupakan sebuah bangunan yang akan dibangun. Melalui Festival Arsitektur Parahyangan (FAP), Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (HMPSArs Unpar) berupaya memperluas pemahaman mahasiswa maupun masyarakat umum tentang peran seorang pengkaji bidang arsitektur dalam perkembangan kota dan masyarakat urban dalam konteks revitalisasi bangunan tua.
Tema yang diusung adalah Ruang Lingkup dan Peran Spasial Urban Heritage. Urban Heritage di sini mengacu pada bangunan-bangunan yang sudah berumur sejak zaman kolonial atau bahkan bangunan adat. FAP tahun ini yang diadakan selama satu minggu, 21-26 Mei 2018, cukup unik karena diadakan di luar kampus Unpar.
“Ini penting loh…Banyak gedung-gedung di Bandung (misalnya) Gedung Sate, terus Bioskop Pop yang sekarang udah enggak dipakai. Harusnya banyak gedung-gedung yang bisa dimanfaatkan untuk jadi branding kota Bandung…Jadi enggak melulu Gedung sate lagi,” ungkap Devin ketua acara FAP 2018.
Rangkaian terdiri dari pameran model oleh berbagai pihak yang terkait dengan tema seperti karya PT. Garis Hijau, karya organisasi Bandung Heritage, dan juga dari kelompok Seniman Ruang. Salah satu rangkaian acara berlangsung di gedung ikonik De Vries Huiss yang terletak tepat di seberang Gedung Merdeka. Acara tersebut menyuguhkan format lokakarya dengan topik Fotografi untuk Arsitektur. Sejumlah pembicara yang hadir, yakni perwakilan dari Arsitektur Hijau dan Arsitektur Foto, dua organisasi mahasiswa di Prodi Arsitektur Unpar serta Dr.Eng. Arif Sarwo Wibowo dari ITB. Para pembicara membahas banyak hal tentang pentingnya dokumentasi baik secara fotografi maupun sketsa tangan dalam kebutuhan tertentu.
Sabtu (26/5), rangkaian acara FAP dilanjutkan di Gedung Hotel Savoy-Homann Bidakara yang tidak jauh dari De Vries Huiss. Kegiatan dibuka dengan seminar mengenai pengenalan dan pendalaman contoh ruang arkhais, bangunan bersejarah, dan cagar budaya. “Penting bagi kita untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah…Ini adalah penyambung kita dengan orang-orang pada masa itu,” ungkap Dr. Harastoeti Dibjo Hartono yang merupakan pembicara sekaligus dosen Arsitektur Unpar.
Pada sesi kedua, FAP kedatangan Setyadi Ongkowidjaya, arsitek profesional berbasis di Singapura serta Michael Southcombe, seorang profesional dari New Zealand. Mereka membahas tentang praktik revitalisasi bangunan di negara masing-masing.
Seusai seminar, FAP dengan organisasi Bandung Heritage membawa para peserta menelusuri beberapa bangunan bersejarah di Bandung seperti Gedung Merdeka, De Vries Huiss, juga penjara tempat Soekarno dahulu menulis pidato Indonesië klaagt atau “Indonesia Menggugat”.
Para peserta dan pembicara sangat antusias dalam mengikuti acara tersebut. Michael dan Setyadi didampingi oleh Aditya Bayu (Arsitektur 2015) selaku penerjemah dalam perjalanan mereka.
“Sangat beruntung saya menerima undangan (ke FAP), melihat karya arsitektur di Indonesia seperti Hotel Preanger dan Savoy Homann akan sangat berguna bagi studi saya selanjutnya,” ungkap Michael.
Acara dilanjutkan di Jalan Braga Pendek dimana instalasi dan panggung hiburan yang menampilkan beberapa kelompok musik seperti Nona Ria dan Senar Senja, band indie National Perks juga SamanArs (kelompok tari Saman Arsitektur Unpar), semakin memeriahkan acara FAP 2018.