UNPAR.AC.ID, Bandung – Pada Jumat (07/03/2025), Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bersama PBHI dan LBH “Pengayoman” mengadakan diskusi publik dengan tema “Mencari Format Hingga Menakar Kesiapan Komutasi Pidana Mati dalam Perspektif HAM.” Diskusi ini membahas ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, yang mengatur komutasi pidana mati menjadi pidana seumur hidup.
Gina Sabrina, S.H., M.H., Sekretaris PBHI, menekankan pentingnya pemikiran kritis dalam penerapan pidana mati. “Hukum harus dilihat dari perspektif kemanusiaan. Ini bukan soal hukuman mati atau tidak, tapi bagaimana kita menjunjung hak-hak terpidana dan mempertimbangkan keadilan untuk semua pihak,” ujarnya. Ia juga menambahkan, “Pidana mati tidak akan menyelesaikan semua masalah, terutama kejahatan-kejahatan ekonomi. Pendekatan yang lebih holistik diperlukan.”
Mengenai komutasi pidana mati, Gina mengungkapkan, “Mekanisme komutasi ini bisa menjadi langkah maju, asalkan pelaksanaannya tidak hanya formalitas. Penilaian terhadap perubahan perilaku terpidana harus berbasis pada bukti yang konkret, bukan sekadar asumsi.”
Yunita, S.H., L.LM., Kepala LBH “Pengayoman,” menyoroti tantangan besar dalam penerapan komutasi pidana mati. “Prosedur pengurangan hukuman ini harus jelas dan transparan. Jika kita memberikan kesempatan pada terpidana, itu harus berdasarkan penilaian yang objektif dan bukti nyata,” ujarnya. Ia menambahkan, “Keputusan yang diambil tidak boleh hanya menguntungkan salah satu pihak, tetapi harus memperhatikan hak-hak korban secara serius.”
Yunita juga mengingatkan bahwa proses komutasi harus dilakukan secara adil. “Komutasi bukan hanya soal mengubah hukuman. Ini juga soal memberi kesempatan untuk perbaikan. Tanpa prosedur yang benar, keadilan tidak akan tercapai,” tambahnya.
Dyan Franciska Dumaris Sitanggang, S.H., M.H., akademisi Fakultas Hukum UNPAR, memberikan pandangannya tentang pengaturan komutasi pidana mati dalam KUHP baru. “Saya melihat adanya perubahan positif dengan pengaturan masa percobaan. Ini memberi ruang bagi terpidana untuk memperbaiki diri. Namun, yang terpenting adalah bagaimana penerapan ini berjalan sesuai dengan prinsip keadilan,” jelas Dyan. Ia menambahkan, “Proses ini harus tetap mengutamakan hak-hak manusia, tanpa mengabaikan hak korban.”
Dyan juga mengingatkan pentingnya pengawasan dalam penerapan hukuman mati yang sudah menjadi pidana alternatif. “Penerapan hukuman ini harus jelas dan adil. Kita harus memberi kesempatan bagi mereka yang berkelakuan baik, tapi juga menjaga keadilan bagi masyarakat dan korban,” ujarnya.
Ketentuan baru ini diharapkan dapat menjadi langkah positif menuju sistem peradilan yang lebih manusiawi di Indonesia. Namun, pelaksanaan yang tepat dan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia menjadi tantangan besar yang harus terus diupayakan oleh semua pihak terkait. (NAT-Humas UNPAR)