UNPAR.AC.ID, Bandung – Dalam episode terbaru dari Podcast Extension Course Filsafat bertajuk “Love as A New Basis for Human Relationship with Nature”, yang dipandu oleh Theo Frids Hutabarat, M.Sn., dosen Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) pada Sabtu (24/08/2024), bersama Dr. Subelo Wiyono, sebuah diskusi mendalam tentang cinta dan hubungannya dengan alam digelar di Selasar Sunaryo Art Space. Dengan latar belakang pameran “Tubuh Antroposen” karya Asmudjo J. Irianto, percakapan ini berlangsung penuh refleksi di Bale Tonggoh.
Theo memulai diskusi dengan mengutip pemikiran Simone Weil tentang cinta dan keindahan. “Menurut Weil, keindahan itu adalah kebaikan atau Tuhan itu sendiri yang menampakkan diri pada kita saat kita mengarahkan perhatian padanya. Perhatian terbius oleh yang indah ini melahirkan cinta, cinta yang berbeda dari hasrat atau Eros yang ingin memiliki,” jelasnya, sembari menekankan bahwa cinta semacam ini bukanlah tentang menguasai, melainkan tentang menjaga jarak untuk mengagumi.
R.D. Dr. S.F. Sutrisna Widjaja, atau yang akrab disapa Romo Feri, menambahkan perspektif yang lebih spiritual. Ia menghubungkan diskusi ini dengan pemikiran Santo Fransiskus dari Assisi yang jatuh cinta kepada seluruh ciptaan.
“Fransiskus memanggil semua ciptaan sebagai saudara dan saudari. Bukan hanya manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan, matahari, bulan, bahkan angin dan air,” kata Romo Feri dengan penuh semangat. Baginya, cinta adalah inti dari hubungan manusia dengan alam. “Kalau kita mencintai yang Ilahi, maka kita juga mencintai seluruh ciptaan.”
Namun, percakapan tidak berhenti pada romantisme cinta terhadap alam saja. Romo Feri menggarisbawahi bahwa pergeseran hubungan manusia dengan alam dari cinta murni menjadi eksploitasi kapitalistik adalah akar dari banyak masalah lingkungan.
“Kehancuran alam itu konsekuensi logis dari hilangnya sikap mencintai yang mendasar itu. Manusia sekarang punya ilusi bahwa mereka adalah pusat semesta,” tutur Romo Feri yang juga Dosen Filsafat UNPAR itu.
Dalam suasana pameran seni kontemporer yang mengeksplorasi hubungan manusia dengan ekosistem, Theo juga menyampaikan bahwa cinta terhadap alam bukanlah sesuatu yang pasif. Ia berpendapat, “Melalui sikap mencintai alam, manusia seharusnya menyadari posisinya dalam semesta dan menempatkan dasar etis untuk berinteraksi dengan dunia.”
Dengan begitu, cinta tidak hanya sekadar bentuk afeksi, tetapi juga kesadaran moral yang memandu tindakan manusia terhadap lingkungan.
Menariknya, Dr. Subelo Wiyono, yang juga turut berbicara, mengambil pendekatan yang lebih optimis dalam melihat kondisi dunia saat ini. Ia menyatakan bahwa data menunjukkan tanda-tanda perbaikan lingkungan global, mulai dari penurunan emisi karbon hingga peningkatan populasi satwa liar di beberapa wilayah.
“Kita perlu lebih optimis. Justru cinta itu harus optimis. Kalau kita belum bisa optimis, mungkin itu tandanya kita belum benar-benar mencintai,” ujarnya, seakan mengajak semua orang untuk melihat masa depan dengan harapan.
Meski demikian, Subelo tidak mengesampingkan realitas tantangan yang dihadapi manusia saat ini, terutama dalam konteks kapitalisme dan lingkungan. Baginya, kolaborasi antara ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial adalah solusi yang perlu diperjuangkan bersama. Ia menyoroti pentingnya perusahaan besar yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dalam konteks ini, sambil menekankan bahwa keberlanjutan adalah kunci dari setiap keputusan.
Romo Feri, merespon pandangan ini, juga mengungkapkan bahwa cinta bukan berarti menutup mata terhadap masalah yang ada. Ia berkata, “Cinta bukan cinta yang buta, tetapi cinta yang tetap melihat masalah sekaligus mencari solusi. Saya yakin, dengan cinta, kita bisa lebih banyak melihat harapan daripada masalah.”
Diskusi ini, yang berlangsung sekitar tiga puluh menit, tidak hanya menyoroti perspektif filosofis tentang cinta dan alam, tetapi juga memberikan pandangan yang sangat relevan dengan kondisi sosial dan politik Indonesia saat ini. Di tengah-tengah perdebatan Pilkada dan Pemilu yang semakin intens, Romo Feri menggarisbawahi pentingnya cinta sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa.
“Kita ini negara Pancasila, negara yang seharusnya penuh dengan cinta,” katanya, sembari menyinggung bahwa cinta kepada sesama manusia dan cinta kepada alam seharusnya menjadi landasan moral setiap warga negara.
Podcast ini tidak hanya berakhir dengan refleksi filosofis, tetapi juga meninggalkan pendengarnya dengan pertanyaan penting yang disampaikan oleh Romo Feri: “Apakah kita masih punya cinta?” Pertanyaan ini menjadi seruan untuk merenungkan kembali bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan sesamanya, serta bagaimana cinta dapat menjadi dasar dari setiap keputusan yang diambil.
Dengan alur yang mengalir, podcast ini memberikan wawasan yang mendalam, tidak hanya dari sisi filosofis, tetapi juga praktis. Mulai dari ajakan untuk lebih menghargai lingkungan hingga optimisme terhadap masa depan, diskusi ini menawarkan perspektif baru bagi pendengar dalam memaknai cinta sebagai elemen penting dalam menjaga hubungan yang harmonis dengan alam.
Sebagai penutup, Theo menekankan kembali bahwa cinta bukanlah konsep yang jauh dari realitas manusia. “Hubungan kita dengan alam itu seharusnya natural. Cinta itu sebenarnya sudah ada, sudah terintegrasi dalam setiap ciptaan. Kita hanya perlu menyadarinya kembali,” ucapnya dengan nada reflektif, seakan mengajak semua yang hadir untuk memulai dari diri sendiri. (NAT-Humas UNPAR)