UNPAR.AC.ID, Bandung – Eric Weiner membagikan sedikit kilas balik mengenai perjalanan filosofis dirinya ke berbagai negara. Dia meyakini bahwa setiap tempat yang dikunjungi dirinya memiliki titik perjumpaan makna batinnya tersendiri yakni kebahagiaan, kreativitas, dan keyakinan. Dirinya telah memberikan suatu sudut pandang baru mengenai pengalaman perjalanan dan perjumpaan dengan budaya yang berbeda.
Eric sendiri telah menulis The Geography of Bliss (2008), The Geography of Faith (2011), The Geography of Genius (2016), dan The Socrates Express (2020). Buku-buku tersebut telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa dan laris di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pelancong filosofis sekaligus mantan reporter The New York Times dan National Public Radio (NPR) tersebut membagikan cerita perjalanan religinya dalam acara “Public Lecture: The Geography of Faith” yang dilaksanakan secara offline di Auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise Universitas Katolik Parahyangan (PPAG UNPAR) pada Selasa (25/10/2022). Acara tersebut merupakan kolaborasi antara Fakultas Filsafat UNPAR bersama Penerbit Mizan.
Berdasarkan bukunya yang pertama, Eric mengungkap bahwa orang yang religius dan sering beribadah cenderung lebih bahagia daripada yang non religi. Hal tersebut tentu menjadi misteri dan pertanyaan bagi banyak orang. Dalam perspektif agama tertentu, kebahagiaan umumnya bersumber dari orang lain atau koneksi sosial.
“Apakah itu karena kepercayaan mereka dengan Tuhan atau apakah karena mereka termasuk ke dalam komunitas agama?” tuturnya.

Menurut Eric, kebahagiaan itu tidak bersifat personal melainkan relasional. Kualitas dari hubungan yang terjalin dengan teman, tetangga, alam, semesta, dan lainnya harus dijaga dengan baik.
“Kebahagiaan itu bukan personal, tapi 100% saya katakan bersifat relasional dalam hal ini hubungan yang terjalin dengan teman, tetangga, lingkungan, alam, semesta, dan yang lainnya. Itu bukan tentang Anda melainkan hubungan Anda dengan itu semua,” ujarnya.
Kebahagiaan pada zaman ini sering didefinisikan sebagai suatu pengalaman bahagia/menyenangkan seperti bercengkrama dengan teman. Sementara itu, ia menyatakan bahwa kebahagiaan sendiri tidaklah cukup. Kita sebagai manusia lebih menginginkan hidup yang penuh makna. Agama dan Tuhan menurutnya merupakan salah satu sarana yang dapat memberikan makna dalam kehidupan
“Agama, Tuhan, atau spiritual merupakan salah satu sumber makna kehidupan yang telah ada sejak ribuan tahun lalu,” ujar Eric.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa semua agama/keyakinan memiliki bagian antara yang satu dengan yang lainnya. Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan lain-lain datang dari generasi sebelumnya dan bertumbuh seiring waktu.
“Mereka semua memiliki hubungan antara satu dengan yang lain baik itu berasal dari generasi sebelumnya dan bertumbuh seiring berjalannya waktu,” tutur Eric. (KTH/JES-Humkoler UNPAR)