UNPAR.AC.ID, Bandung – Permasalahan yang terjadi di lingkungan pemukiman perkotaan kerap kali masih disepelekan. Nyatanya, lingkungan yang kumuh masih menjadi persoalan utama yang akan berdampak kepada pemenuhan hak warga negara. Setiap warga negara memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka dari itu sebagai suatu masyarakat harus memiliki kepedulian terhadap pemukiman yang sehat khususnya di lingkungan perkotaan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat atau healthy environment ini merupakan hal konstitusional sehingga setiap warga negara tanpa terkecuali dapat menuntut negara untuk memperhatikan dan menyediakan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar “Pemukiman Sehat Net Zero Dalam Perspektif Perkotaan” yang diselenggarakan pada Sabtu (27/8/2022) lalu secara hybrid di Lecture Theater Gedung Pusat Pembelajaran Arntz-Geise Universitas Katolik Parahyangan (PPAG UNPAR). Acara tersebut merupakan bentuk kerja sama Program Studi Arsitektur UNPAR dengan Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Barat, dan Ikatan Alumni Arsitektur UNPAR (IAAU).
Dosen Bidang Perumahan Kota Arsitektur UNPAR Dr. Ir. Yohanes Basuki Dwisusanto, M.Sc., IAI., yang kerap disapa Basuki mengungkapkan, para arsitek setidaknya harus memperhatikan environmental sustainability dan juga tingkat pertumbuhan informal settlements seperti kampung sebagai kewajiban profesi arsitek dalam membangun legitimasi ke depan.
Basuki juga menceritakan pembuatan gagasan transformasi Kampung Balubur menjadi kampung perkotaan dengan masyarakatnya tetap berada di tempat yang sama. Sayangnya, gagasan tersebut kalah dengan kekuatan kapital dan kabarnya masyarakat asli telah dipindahkan. Merespons peristiwa tersebut, Basuki merasa bahwa kampung masih dipandang sebelah mata dalam konteks modernisasi kota.
“Secara tidak disadari, kampung itu dipandang tidak cocok dengan modernisasi kota,” ujarnya.
Jika modernisasi kota dipandang dalam paradigma evolusi, masyarakat nantinya akan berubah menjadi masyarakat fungsional dan kampung akan tergantikan dengan suatu bentuk baru. Menurutnya, pola pikir sekarang harus memandang modernisasi kota dengan pendekatan akulturasi di mana nilai lokal dan nilai asing saling menemukan titik tengah.
“Kampung sebagai realitas fisik dapat dilihat dalam house and resource paradigm. Kampung adalah tempat bermukim yang cocok, available, dan affordable bagi masyarakat miskin atau informal, ” ucapnya.
Dia juga mengungkap 2 fungsi kampung yakni sebagai bentuk perumahan-kota (informal urban housing) dan juga sebagai salah satu cara hidup dalam kota yakni hidup berkomunitas. Maka dari itu, kampung patut dipertahankan.
“Jadi saya pikir, kampung perlu kita pertahankan,” ujarnya
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UNPAR Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LLM menjelaskan, permasalahan yang muncul di lingkup perkotaan di antaranya meliputi :
- Ketersediaan ketercukupan ruang terbuka hijau dan taman tempat bermain yang akan berdampak ke masalah sosial.
- Pemanfaatan ruang publik untuk kepentingan pribadi.
- Privatisasi layanan publik.
- Kelayakan rumah hunian dalam hal keamanan, kesehatan, dan kebersihan.
- Legalitas dan legitimasi penguasaan pemanfaatan lahan.
- Fragmentasi penguasaan – pemanfaatan ruang tinggal semakin sempit.
Dia mengatakan bahwa permasalahan tersebut harus segera diatasi karena secara teoritis, di dalam lingkungan tata ruang juga berbicara mengenai keadilan lingkungan dan tata ruang atau environmental justice. Keadilan lingkungan bukan hanya antargenerasi tapi juga lintas generasi. Konsep-konsep penting ini terdapat dalam hukum yang sangat relevan untuk teknik sipil dan arsitektur.
“Keadilan ini bukan hanya dalam 1 generasi tetapi kita harus juga berpikir untuk generasi seterusnya,” tutur Tristam.
Lebih lanjut, dia menjelaskan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan pembangunan berwawasan lingkungan di antaranya :
- Keadilan lingkungan dan keadilan sosial ekonomi dalam lingkup kota ataupun kawasan, serta antar lintas generasi.
- Peran serta hukum lingkungan-tata ruang dan hak sebagai warganegara.
- Daya dukung lingkungan versus keniscayaan berpikir tentang the limits to growth.
Tristam mengatakan, jika orang yang dapat menikmati lingkungan yang bersih dan sehat dalam dunia ekonomi kapitalis adalah orang yang mampu membayar kebersihan dan kesehatan tersebut.
“Yang tidak bisa membayar dan harus hidup di luar ekonomi formal, maka lebih nyaman, sekalipun hidup lebih mahal, di perkampungan kumuh. Kekumuhan dialami warga kaya atau miskin. Jadi kita harus punya mata yang mampu melihatnya,” tutur Tristam. (KTH/JES-Humkoler UNPAR)